Kelakuan Mas Duda Gila

214 53 17
                                    

Sesampainya di rumah, gue memberikan kabar pada Mas Duda yang katanya saat ini masih melaju membelah tol Jakarta-Merak. Sebelum masuk ke kamar, Ibu yang baru saja selesai menjahit, mempertanyakan alasan gue yang baru pulang saat jarum menunjuk ke arah angka 10.

"Sejujurnya, Aulia lagi berusaha agar rencana Akbar untuk melamar Mimi nggak dibatalkan, Bu," jawab gue yang membuat ekspresi Ibu berubah. Dari biasa saja menjadi terlihat senang sekali.

"Oh, iyakah? Wah, berarti kamu habis ketemu siapa, Nak?"

Seandainya Mas Sentanu tidak berstatus duda, mungkin gue akan menceritakan semuanya secara gamblang pada Ibu. "Baru kenalan saja sih, Bu. Kalau memang cocok, ya, nanti Aulia ajak main ke sini," jawab gue yang dibalas dengan senyum lebar Ibu.

"Ibu senang kalau pada akhirnya kamu mau membuka hati seperti ini. Ya, sejujurnya, selain Budhemu yang mengatakan hal-hal buruk tentang melangkahi kakak yang belum menikah, Ibu jugalah yang melarang adikmu melamar pacarnya, kalau kamu belum ada tanda-tanda menikah."

Tentu saja gue kaget. "Kenapa Ibu larang? Itu, kan, nggak adil, Bu. Nggak adil untuk Akbar yang punya rencana baik dan nggak adil buat Aulia," protes gue sembari menggeleng-gelengkan kepala. Sungguh, gue nggak paham dengan pemikiran Ibu.

"Loh, letak ketidak adilannya di mana? Ibu melarang seperti ini justru untuk kebaikan kalian semua, terutama kamu. Sekarang kamu pikir deh, kalau  Ibu tidak melarang rencana Akbar, terus anak itu menikah, sementara kamu? Masih berkubang dalam duka? Ya, Ibu nggak mau."

Oh, astaga... kenapa Ibu bisa serumit ini? Lagi pula, siapa yang sedang berkubang di dalam duka? Aku baik-baik saja kok. Bahkan mungkin lebih baik-baik saja daripada orang yang sudah menikah tapi ternyata, pasangannya masih suka "jajan" di luar. Ck! 

"Pokoknya, Ibu terus berdoa semoga kamu segera punya pasangan. Kalau bisa malah pasangan kamu itu melamar dan menikah dengan kamu lebih dahulu dari Akbar."

Hah, apa kata Ibu tadi? Punya pasangan yang melamar dan menikah lebih cepat dari Akbar? Dapat pasangannya saja sedang diupayakan, ini lagi minta cepat dilamar dan dinikahi? CK!

"Jadi, memiliki pasangan bukanlah kebutuhan kamu sendiri? Melainkan agar rencana adikmu itu tidak dibatalkan?"

Sebuah pertanyaan yang dilontarkan Mas Duda seketika terngiang. Kalau orang yang menikah dengan dasarnya cintanya saja bisa bubar, bagaimana pula dengan orang yang menikah karena misi agar rencana adiknya tidak gagal, ya? Arrrghh! Gue pusing memikirkan yang begini-begini.

"Iya, pokoknya Ibu doakan yang terbaik saja, ya. Semoga semua berjalan lancar dan sesuai dengan keinginan kita semua," tanggap gue yang kemudian pamit masuk ke kamar untuk bersih-bersih dan tidur. Ah,  sungguh hari yang panjang dan melelahkan!

****

Saat di kamar, gue yang sudah bebersih dan siap untuk pergi ke alam mimpi, malah mendapatkan telepon dari Mas Duda. Gue kira dia akan menanyakan surat penawaran yang tadi gue berikan. Namun ternyata, Mas Duda mengajak gue sleepcall!

"Kamu sudah ngantuk ya, Ya?" tanyanya dengan suara super enak didengar oleh telinga gue. Ck! Pantas saja, sleepcall menjadi kegiatan yang sedang trend di kalangan kawula muda.

"Belum ngantuk banget sih, Mas. Mas sendiri bagaimana? Pasti capek banget, kan?" tanya gue yang dibalas dengan kekehannya.

"Saya senang makan bareng kamu," ungkapnya yang  membuat senyum gue tak terbendungkan. Untung saja, dia tidak bisa melihat wajah gue sekarang.

"Boleh nggak sih, saya berharap kalau kita bisa terus makan bersama sampai rambut kita sama-sama memutih?" lanjutnya yang membuat gue semakin tidak karuan.

"Hmm... saya juga senang makan bareng Mas," balas gue yang malah membuat Mas Duda menuntut tanggapan gue tentang harapannya.

"Hahaha kalau soal itu, ya, aku bantu mengaminkan dulu ya,  Mas."

"Lia..." Seperti Bu Shapire, Mas Duda memilih untuk memanggil gue dengan sapaan Lia, dibandingkan Aul.

"Iya, Mas?"

"Kenapa, ya, saya baru bertemu kamu sekarang? Maksudnya, kenapa kita bertemu di saat status saya sudah duda cerai. Pastinya membuat saya sulit untuk dipilih kamu."

"Memangnya kenapa dengan status duda?" tanya gue balik.

"Di masyarakat ini, ada stigma yang nggak baik tentang duda. Terlebih duda cerai. Bahkan, saat-saat awal saya menjadi duda, saya sempat tidak punya nyali untuk bertemu orang lain. Rasanya setiap tatap yang mereka lemparkan, mengatakan saya gagal. Saya gagal menjadi seorang pria sekaligus menjadi suami."

"Kalau nyatanya, aku tidak pernah mempermasalahkan status duda, bagaimana, Mas?" Entah ide dari mana, gue mengutarakan pertanyaan yang sebenarnya gue ragukan sendiri. Iyakah, gue tidak mempermasalahkan status duda? Bagaimana tanggapan orangtua gue? Apakah mereka merestuinya? Belum lagi teman-teman kantor, Bu Shapire dan juga Mas Bayu.... Apakah iya, mereka tidak akan mengolok-ngolok gue?

"Mungkin kamu tidak mempermasalahkannya, tapi... bagaimana dengan orangtua dan keluargamu? Apakah iya, mereka bisa menerima status saya?" Tuh, kan! Apa yang menjadi kekhawatiran kita sama ternyata.

Cukup lama kami sama-sama diam hingga suara embusan napas panjang terdengar dari seberang. "Maaf karena saya membuat kamu berpikir berat di malam hari seperti ini," ucapnya lirih.

"Hahah nggak apa-apa sih, Mas. Justru hal-hal seperti ini memang harus di awal. Terlebih kan, tujuan kita bukan untuk sekadar main-main."

Ucapan gue disetujui oleh Mas Duda yang kemudian mengatakan ingin melihat wajah gue. Selain tidak menggunakan make-up, pakaian yang sedang gue pakai juga tidak aman untuk dilihat pria normal yang statusnya duda itu.

"Memangnya waktu kamu pacaran sama mantan kamu, nggak pernah kirim foto sebelum tidur?"

"Nggak sih, Mas. Bahkan kami tuh jarang ngobrol di telepon, apalagi kalau sudah malam begini." Sembari berbicara, gue melirik ke arah jam dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam! Wah, gawat! Gue bisa telat bangun lagi nih!

"Oh, ya, sudah kalau nggak pernah. Semoga kalau sama aku, hal kayak gitu jadi sebuah kebiasaan, ya..." Gue mengiakannya saja sebab hal yang terpenting adalah menyudahi obrolan ini. Bukan, bukan karena gue tidak suka, tapi ini semua harus gue lakukan demi tidak datang telat lagi ke kantor.

"Oke, kalau kamu mau bobo. Selamat tidur, ya, Ya. Mimpi indah," ucap Mas Duda sebelum gue membalasnya dan langsung memutuskan sambungan telepon.

Belum ada semenit berlalu, handphone gue bergetar. Dari notifikasi pun muncul di layar, gue tahu kalau mengatakan kalau Mas Duda mengirimkan foto. Dengan cepat, gue membukanya dan di ddetik itu juga, mata  gue melotot.

Hey, demi apa pun! Siapa yang pernah memperbolehkan duda yang satu ini mengirimkan foto wajah dengan tubuh bagian atas tak tertutup apa-apa begitu? Oh, my God! Tanpa dibuka seperti itu, gue juga sudah bisa membayangkan seperti apa bentuk badannya. Ck, ini gue harus senang atau takut, sih?

Mas Duda
Good night, Lia
Mimpi yang indah yaa...

Begitu pesan singkat yang dia kirimkan setelah mengirimkan foto tersebut pada gue. Ya, mau tidak mau, karena gue tidak mematikan notifikasi sudah membaca pesan, jadilah gue membalas seadanya dengan jantung yang berdebar-debar. Tidak, tidak! Foto tidak boleh dilihat terus-terusan!

Hai gengs!
Selamat membaca lanjutan kisah Mbak Aulia!
Eh, btw, kalian tuh merestui Aulia sama Mas Duda nggak sih? Yuk, kasih komentarnya!
Happy reading ya!
.
.
.
Kak Rurs with💎

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Speed Dating (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang