Setelah Tiga Tahun Berlalu

203 57 22
                                    

Kesibukan nyatanya selalu berhasil membuat waktu terasa berjalan dengan sangat cepat. Sepertinya baru kemarin gue melihat Mas Bayu berselingkuh, tapi ternyata, bumi sudah selesai mengitari matahari sebanyak tiga kali sejak kejadian itu. Di antara sekian banyak perubahan yang terjadi, hal yang paling membuat gue bahagia adalah adik gue sudah wisuda dan bekerja, Sabrina dan Syahri sudah menikah dengan pasangan mereka masing-masing, Bu Shapire sudah memiliki seorang putra dan Mas Dayat pun telah memiliki anak pertama setelah berhasil mempersunting sang cinta pertama yang selalu diperjuangkannya itu.

Sepertinya, semua orang kecuali gue telah bahagia. Bahkan berdasarkan info yang kudapatkan dari Sabrina, pria yang mengkhianatiku itu sudah beranak dua. Masih bekerja menjadi sales, tapi dia sudah sugih! Punya rumah tingkat dua dan kendaraan roda empat. Nyatanya, dipecat dari kantor terdahulu justru membuatnya bisa bergabung dengan brand asal benua Eropa. Karma itu benar-benar ada atau hanya mitos, sih?

“Mau pada makan siang apa nih?” Tiba-tiba saja suara Mas Yusuf terdengar, membuat gue menyudahi sesi merenungi nasib.

“Mas Yusuf mau traktir kita-kita, ya?” tanggap gue dengan penuh semangat.

“Ya, nggaklah! Apalagi yang baru dapat bonus, kan, lo, Ul,” jawabnya yang membuat gue mencebik kesal. Iya, sih, gue baru dapat bonus, tapi kalau bisa makan gratis, siapa yang mau menolak?

“Si paling hobi numpukin harta benda mah nggak akan mau berbagi,” sahut Mbak Mega yang membuat gue menggeleng-gelengkan kepala.

“Aulia mah mending kena tilang daripada traktir kita-kita.” Kali ini Mas Dayat bersuara. Kalau soal ngeledekin gue, Mbak Mega dan Mas Dayat kompak, ya? Ck! Dasar!

“Oke-oke, aku subsidi dua ratus lima puluh ribu deh, sisanya bayar masing-masing, ya?”

“Nah, mantap! Semoga Aulia kesayangan kami semua segera mendapatkan jodoh dunia akhiratnya, ya! Amin!” seru Mbak Mega yang sedetik kemudian langsung menyibukkan diri dengan aplikasi pemesan makanan.

Sementara mereka sibuk memilih menu makan siang, gue memilih untuk kembali mengerjakan sebuah laporan yang harus selesai sebelum jam dua siang.

“Lo mau pesan apa, Ul?” tanya Mbak Mega.

“Samain sama yang Mbak pesan saja.”

“Lo yakin? Gue pesan nasi bebek loh.” Semenjak putus dari Mas Bayu, nasi bebek adalah salah satu makanan yang gue hindari. Prinsip gue saat ini adalah gue mau kenyang tanpa harus teringat dengannya maupun cerita tentang kami.

“Oh, kalau begitu, aku pesan nasi padang saja, Mbak. Pakai lauk ayam gulai dan telur dadar.”

“Well noted, Darling.” Bersamaan dengan jawaban Mbak Mega, ponsel gue berdering dan nama Pak Sena tertera di sana.

Tanpa menunggu, gue menjawab panggilan tersebut. “Kami ada permintaan in-house training lagi nih, Mbak,” ucapnya yang tentu saja membuat senyum gue mengembang bebas.

Dalam tiga tahun belakangan ini, kantor Pak Sena sudah meminta pelatihan sebanyak enam kali. Kalau setiap proyek gue mendapatkan success fee sebesar 5% dari nilai proyek yang biasanya bernilai ratusan juta, sudah terbayang, kan, berapa banyak pundi-pundi yang masuk ke rekening anak gadis ini?

Saat gue tanyakan perihal detail permintaan, Pak Sena mengatakan semuanya akan diurus oleh Pak Hanif yang sedang dalam perjalanan menuju kantor gue. “Nanti Mbak Aulia langsung bahas semuanya dengan Hanif, ya.”

“Baik, Pak Sena,” tanggap gue sambil mengerutkan dahi. Haruskah Pak Hanif ke sini? Terlebih, hal yang akan dibahas adalah pelatihan yang bukan untuk pertama kalinya gitu, loh. Aneh!

Speed Dating (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang