Minta Balikan ❎ Minta Balikin✅

208 45 0
                                    

Di masa persiapan segala keperluan training di Aceh, gue disibukkan dengan aktivitas menelepon sana sini. Tentu saja yang gue hubungi adalah para calon pengajar teori dan instruktur untuk sesi praktik. Apalagi kegiatan ini akan berlangsung selama satu bulan. Berarti, sekurang-kurangnya akan ada empat orang yang harus dikunci jadwalnya.

“Mas Yusuf, Pak Idil jangan dibawa ke proyek Surabaya, dong,” pinta gue setelah memutuskan sambungan telepon dengan salah satu instruktur andalan kantor ini.

“Kalau nggak beliau, siapa lagi yang gue bawa, Ul?”

Gue berpikir sejenak. “Pak Dirman?” Mas Yusuf menggelengkan kepala dengan cepat dan berkali-kali. “Kenapa, Mas?”

“Pak Dirman suka minta fee tambahan-tambahan gitu.” Gue tercengang. Terlebih, jika dibandingkan dengan instruktur lainnya, jelas-jelas Pak Dirman ini bukan termasuk golongan dewa.

“Terus aku ajak siapa dong?” Bersamaan dengan gue bertanya, Mbak Mega masuk dan berjalan menuju meja yang terletak di pojok ruangan ini.

“Lo mau ngajak siapa ke mana, Ul?” tanyanya sambil mendaratkan pantatnya di kursinya.

“Aku lagi nyari instruktur untuk yang ke Aceh, Mbak.”

“Wuiih, jadinya yang pegang proyek itu lo?” Gue menganggukkan kepala. “Dalam rangka menimba harta dan mendulang emas atau melarikan diri, lo, Ul?”

“Ya, buat nimbun kekayaan dong, Mbak. Lagian aku harus melarikan raga dari siapa?” Tiba-tiba saja tenggorokan gue kering. Pasti senior gue ini mau bahas Mas Bayu lagi deh.

“Ya, lari dari laki modal burung perkutut doang.” Tuh, kan!

“Mega mulut lo kebiasaan deh!” protes Mas Arief yang baru saja selesai menerima telepon dari seseorang.
Sementara mereka berdua beradu pendapat seperti biasa, gue kembali membuka-buka data base pengajar. Siapa, ya? Kenapa nyari instruktur pengelasan mendadak susah begini?

“Yang namanya Pak Hakim ini masih aktif jadi instruktur nggak sih, Mas Yusuf?” tanya gue sembari mencari seperti apa sosok yang bernama Hakim ini.

“Wah, sudah nggak, Ul. Sejak istrinya meninggal lima tahun lalu, beliau langsung pindah ke Kalimantan.”

“Sayang banget, ya,” komentar gue dan di detik selanjutnya, sosok Bu Shapire keluar dari ruangannya.

“Lia,” panggilnya.

“Iya, Bu Shapire?” tanggap gue.

“Siang ini, kamu temani saya bertemu dengan calon klien, ya.” Bu Shapire mengatakan kalau calon klien kami kali ini adalah sebuah perusahaan fabricator yang berada di Karawang.

Begitu gue mengiakannya, “Tolong kamu siapkan dua proposal penawaran. Satu untuk yang training welder saja dan yang satunya lagi plus dengan sertifikasi. Skemanya yang nasional saja, ya, Lia.”

“Siap, Bu!” jawab gue yang kemudian menyiapkan apa yang diminta oleh beliau.

“Kalau ini gol, berarti yang pegang Mas Yusuf, kan, ya?’ tanya gue setelah Bu Shapire kembali ke ruangannya.

“Yaah, mau bagaimana lagi…” Dari diksi dan nada suaranya, gue yakin kalau Mas Yusuf tidak tertarik bersinggungan dengan calon proyek ini.  

“Kalau nugasnya di Karawang, bisa jalan bareng sama anak-anak engineer, Mas Yus.” Kali ini Mas Dayatlah yang angkat suara. Rivalnya Mas Arief dalam berebut klepon dan bolu kukus ini memang lebih sering bekerja bareng dengan tim engineering. Soalnya tak jarang, setelah melakukan public training, peserta kami meminta jasa konsultasi pada divisi engineering. 

Speed Dating (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang