Menjelang Pulang dan Cerita Mas Dahlan

175 47 20
                                    

Seharusnya satu bulan itu terasa lama. Namun yang terjadi, malah sebaliknya. Tanpa terasa, waktu tinggal gue di sini hanya tersisa tiga hari lagi. Bukannya senang karena akan kembali ke ibu kota, rasa berat untuk pergi dari sini justru semakin menggelayuti gue.

Memang di Ceumbrieng ini gue tidak menemukan jalan yang dilapis aspal, tidak bisa makan tempe mendoan dan minum segelas kunyit asam bersoda, sinyal timbul tenggelam, bahkan air dan listrik bisa padam sewaktu-waktu. Namun, gue menemukan apa yang gue cari selama ini. Apa itu? Ketenangan batin.

Jika dibandingkan dengan saat mendapati Mas Bayu bercelup-celup ria, kondisi perasaan gue hari ini sudah jauh lebih baik. Gue sudah bisa menerima kejadian itu sebagai bagian dari takdir gue. Walaupun saat ditanya apakah gue sudah memaafkan Mas Bayu, gue belum bisa mengiakannya. Terlebih, laki-laki itu memang tidak pernah memintanya.

Kalau kata Mbak Rur, memaafkan orang yang berkhianat pada kita bukanlah perkara mudah. “Memaafkan itu proses yang membutuhkan waktu, tapi kecepatannya tergantung kedewasaan dan keberpasrahan kita pada Allah.” Gue setuju banget sih sama kata-katanya. So, let Allah and time help me to heal.

“Apa yang bakal kamu lakukan pertama kali pas sampai di Jakarta, Li?” Mbak Rur yang baru saja sampai di meja makan, bertanya pada gue.

“Beli tempe mendoan sih, Mbak. Hahaha…” Mbak Rur tertawa kencang.

“Kalau Mbak Rur mau ngapain begitu sesampainya di Jakarta?” tanya gue balik sambil mengambil piring dan mengisinya dengan nasi setelah Mbak Rur selesai melakukannya.

“Aku mau berkuda nih,” jawabnya yang membuat gue melongo.

“Oh, Mbak Rur bisa berkuda?” Perempuan itu mengangguk dengan cepat. “Biasanya berkuda di mana, Mbak?” Berkuda itu olahraga yang ingin gue lakukan sejak dahulu kala, tapi tidak juga dilakukan karena dilarang oleh Mas Bayu.

“Dulu aku di Sentul, tapi sudah setengah tahun ini aku pindah di Cibubur. Kenapa, Li? Kamu suka berkuda juga? Atau baru mau coba berkuda?”

“Baru banget mau coba, Mbak. Kayaknya seru.”

“Bukan cuma seru, tapi buatku, berkuda itu kebutuhan jiwa. Kenapa? Karena dengan berkuda, aku jadi tahu kalau ketenangan itu menciptakan seimbangan. Kuda tuh tahu loh Li, kalau yang menungganginya nggak tenang.” Mbak Rur menceritakan di suatu saat, dirinya sedang banyak pikiran dan gelisah banget. “…tapi waktu itu, aku tetap maksain buat berkuda gitu. Alhasil, ya, aku jatuh.” Mendengar ceritanya, keinginan gue untuk mulai berkuda pun menguat. Bahkan gue langsung meminta nomor admin dari sekolah berkuda yang berada tak jauh dari rumah. Setidaknya gue yang kini berstatus jomblo ini harus punya kegiatan baru yang positif di akhir pekan, bukan?

Usai sarapan, gue dan Mbak Rur dijemput oleh mobil operasional klien. Yang special adalah kami dijemput langsung oleh Manager Mill. Kalau boleh jujur, sebenarnya saat berada di luar kota seperti ini, gue cuti dari kemandirian. Mau berangkat dan pulang pasti dijemput dan diantar. Coba kalau di Jakarta. Gue yang merupakan anker (anak kereta), tentu saja akrab dengan adegan dorong-dorongan penumpang yang harus transit di Manggarai. Mau pindah ke mode transportasi nyaman pun gue dihadang sama yang namanya kemacetan.

Pernah di suatu sore, saat Mas Bayu tidak bisa menjemput, gue memilih untuk pulang naik taksi online. Bukannya cepat sampai di rumah yang terjadi malah gue diam tak bergerak di tol dalam kota selama dua jam! Bagaimana mau awet muda kalau Jakarta macetnya seketerlaluan itu! Ck!

Kembali ke saat ini, sesampainya di workshop, Mbak Rur langsung memulai sesi praktik, sementara gue sibuk membuat laporan yang setiap hari harus dikirim ke pusat. Bukan hanya laporan atas progress peserta pelatihan, tapi juga kelayakan workshop untuk dijadikan TUK (Tempat Uji Kompetensi) oleh LSP-Las. Esok hari, asesor dari lembaga sertifikasi di bawah naungan BNSP itu akan datang. Kalau sudah begini, maka koordinasiku sudah antar divisi. Divisi Training yang dipimpin oleh Bu Shapire dan divisinya Pak Yudi. Divisi sertifikasi.

Kamu sudah pastikan semua peralatan dan perlengkapan di sana sesuai dengan standar?” tanya Mas Dahlan, staf sertifikasi nasional, melalui sambungan telepon.

“Sudah, Mas.”

Besok skema yang dipakai nggak berubah, kan? Tetap welder plate posisi tiga G dengan proses pengelasan yang diambil SMAW?”

“Ya, Mas.”

Oke, well noted.”

“Eh, iya, Mas, yang bakal sertifikasi siapa?”

Kemarin sore gue telepon Mbak Yuna, katanya sih yang diturunin Pak Kemal.”

“Wah, duh! Pak Kemal banget, Mas?”

“Iya, makanya lo ngelatihnya yang bener. Master asesor itu hobinya nggak ngelulusin asesi tuh.” Menelan ludahlah gue. Emang kadang, ujian dari Yang Maha Kuasa tuh datang dalam bentuk yang macam-macam, ya. Salah satu variannya, ya, ini. Bertemu dengan asesor perfeksionis, high quality dan terkenal saklek ampun-ampunan.

“Doain sertifikasinya lancar, ya, Mas.”

Aamiin. Semoga sukses di sana. Jangan lupa, bawa oleh-oleh buat sekantor, Ul. Lama banget lo di sana. Sampai gue lupa ada karyawati namanya Aulia di sini.” Mas Dahlan dengan jokes recehnya adalah satu kesatuan yang sulit dipisahkan. Pria beranak satu itu memang dijuluki komedian gagal. Mukanya sangar, leluconnya juga nggak pernah mengocok perut.

“Tapi kantor damai tanpa gue nggak, Mas?”

“Bagaimana mau damai, kalau mantan lo masih gentayangan di kantor? Di Rabu pekan lalu,  dia datang terus diusir sama Bu Shapire dan Bu Sarah.”

“Serius, Mas?” Hah? Kok gue baru tahu soal ini?

“Seribu rius, Ul. Emangnya Bu Shapire atau anak-anak training nggak ada yang cerita sama lo?” Gue sontak menggeleng.

“Eh, nggak ada yang cerita sih, Mas,” tanggap gue setelah sadar kalau dia tidak bisa melihat gerakan gue.
“Mungkin nggak mau ganggu konsentrasi yang lagi di luar kota, ya.” Mas Dahlan kemudian bercerita kalau berdasarkan berita yang beredar, Mas Bayu datang ke kantor dan memaksa untuk bertemu gue. Karena dilarang oleh satpam, dia merangsek masuk. Bertepatan dengan itu, Bu Sarah dan Bu Shapire datang. Keduanya melihat dan sontak saja mengusir pria tersebut.

Bahkan Bu Sarah mengancam akan mengadukan tindakan Mas Bayu ke BigBossnya. For your information, Big Bossnya Mas Bayu itu temen main golf mertuanya Bu Sarah.”

“Soal BigBossnya Mas Bayu yang temenan sama Papanya Pak Tama sih gue sudah tahu, Mas.” Sejujurnya setelah ini, gue sudah tidak fokus dengan apa yang disampaikan oleh Mas Dahlan. Sebab pertanyaan mulai bermunculan di benak gue. Kenapa Mas Bayu masih datang-datang lagi ke kantor? Bukankah dia sudah menikah dan hidup bahagia dengan perempuan itu? Apalagi yang dia mau? Apakah dia tidak membiarkan gue untuk hidup tenang? Kalau iya, kenapa? Apa salah gue?

Satu kata untuk Mas Bayu?
Me : Ganggu!
Kalian apa Gengs?
.
.
.
Kak Rurs with💎

Speed Dating (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang