Masih Dipantau

187 51 24
                                    


Saat jam pulang kantor tiba, gue bergegas menuju ke tempat yang telah disepakati dengan Mas Duda. Bukan ke sebuah fancy restaurant, melainkan ke sebuah warung mie ayam yang terletak tak jauh dari stasiun Cikini. Kata Mas Duda, mie ayam di sana enak. Yah, baiklah... Mari kita bandingkan dengan Mie Keriting Mas Pujo kebanggaan warga Benhil.

Alih-alih menggunakan ojol, gue memilih menggunakan kereta. Alasannya? Cepat, murah, dan stasiun tujuan gue tidaklah banyak peminatnya. Artinya, gue tidak perlu berdesak-desakan seperti biasanya.

Setelah menghabiskan waktu 20 menit, gue akhirnya tiba dan langsung duduk berhadapan dengan Mas Duda di warung mie ayam yang warna dindingnya didominasi warna putih dan hijau. Kalau dilihat dari ornamen yang tergantung di dinding-dinding, gue bisa menebak kalau pemilik tempat ini pasti keturunan Chinese. Biasanya memang enak, eh tapi...

"Di sini sudah bersertifikat halal, kok." Mas Duda yang seakan bisa membaca pikiran gue, berkata sambil menunjuk ke sebuah papan yang berada di pojok ruangan. Dari papan itu, gue bisa melihat bukti dari ucapannya.

"Hahaha Mas tahu saja apa yang sedang aku pikirkan," tanggap gue yang dibalas dia dengan senyuman yang membuat rasa dari teh hangat yang gue pesan kalah manisnya!

Sembari  menunggu pesanan kami disajikan, "Siapa yang merekomendasikan mie ayam ini ke Mas?" Tanpa ragu, gue memulai pembicaraan.

"Mama saya," jawabnya yang kemudian menjelaskan bahwa pertama kali ke sini saat diirinya masih berseragam SD.

"Oh, iya, Mas?" Mas Duda mengangguk dengan mantap. Tanpa diminta dia kemudian menceritakan hal-hal nostalgic bersama keluarganya.

Dari ceritanya,  Mas Sentanu hanya memiliki seorang kakak laki-laki. Dibandingkan dirinya, sang kakak jauh lebih beruntung soal asmara. "Mas saya itu nikah muda dan syukurnya, sampai sekarang rumah tangganya baik-baik saja. Bagian terbaiknya, sebelum mereka berpacaran, keduanya adalah musuh sejak sekolah dasar."

"Woaaah... menurutku, musuh jadi cinta itu memang kisah percintaan paling seru, sih!" Mas Duda mengangguk-anggukan kepala.

"Berarti Mas Sentanu punya berapa keponakan?" tanya gue yang entah kenapa jadi ingin tahu lebih banyak tentang keluargannya.

"Ada empat, hahahaha"

"Banyak juga, yaa..." Gue ikut tertawa dan pesanan kami pun tiba.

Saat mencicipi kuah yang disajikan terpisah, lidah gue termanjakan oleh rasa gurih yang gue yakini bukan berasal dari micin ini. "Bagaimana? Enak rasanya?" Gue hanya bisa mengangguk sambil mengacungkan jempol ke arah Mas Duda.

"Kamu kalau makan mie ayam, suka yang kering atau semua kuahnya dituang?" tanyanya sambil menuangkan semua kuah yang ada lalu mengambil empat sendok sambal. Suka pedas juga nih orang!

"Aku sama kayak Mas gitu. Harus ada kuahnya," jawab gue lalu melakukan hal yang sama, tapi hanya menuangkan satu sendok sambal saja.

"Kalau makan bubur, diaduk atau nggak?" tanyanya sambil mengelap sumpit dengan tissue.

"Aduk! Kalau Mas?"

"Coba kamu tebak!"

Dengan dahi yang sedikit berkerut bingung, "Kalau dilihat dari bagaimana Mas ngaduk-ngaduk mie ayam, kayaknya sih kalau makan bubur, diaduk total. Benar nggak Mas?"

Tanpa disangka, tawanya berderai merdu. Sopan sekali masuk ke gendang telinga gue! "Kamu pengamat yang baik ternyata," komentarnya yang hanya gue balas dengan senyum karena mie ayam ini sudah memanggil-manggil geng orkes di lambung gue!

Satu hal yang gue suka saat  makan bareng dengan Mas Sentanu. Kita makan dalam keheningan. Berbicaranya, ya, setelah selesai makan. Sumpah demi apa pun, menemukan seseorang yang memiliki kesamaan adab itu menyenangkan!

Speed Dating (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang