Hujan memproklamirkan keberadaannya mulai Senin lalu di Bandung. Aku tak begitu senang bila disandingkan dengan hujan. Hawanya menusuk lebih dari yang sanggup aku tanggung. Di sela-sela dinginnya hujan, pandanganku akan mengabur, dan dipaksa untuk bekerja lebih berat supaya mampu memindai semua yang terletak di hadapanku. Lagi-lagi, hal paling kubenci dari hujan adalah perpisahan yang membawa diriku menjadi linglung hampir setahun belakangan.
Seingatku, kami bertemu saat hujan di Bandung telah reda pada bulan Januari tahun lalu. Atas saranku, kami memilih untuk bertemu di kafe dekat toko bunga milik Bunda, di Jalan Pasirluyu. Penampilannya sederhana, memakai kaos oblong yang bahannya tampak nyaman dikenakan, celana panjang cargo, dan hanya membawa tas kecil yang disampirkan pada bahu kirinya. Dia tak bisa membuka topik pembicaraan sehingga lebih banyak aku yang mencari.
"Bandung suka bikin rindu, ya?" Aku mengalihkan pandang kepada sejoli yang tengah menikmati dinginnya Bandung malam ini dengan kopi hitam hangat.
"Kenapa menurutmu begitu?"
Senyumku menyembul seketika, membayangkan betapa melegakannya bulir-bulir kopi yang melesat turun dari kerongkongan hari ini. "Aku dulu lahir di Jakarta dan pendidikan dasar juga tuntas di sana. Kadang-kadang Papa mengajak kami pulang ke Bandung, ke tanah kelahirannya. Meskipun sanak saudara sudah tak ada di sini, Papa masih suka bernostalgia di semua sudut tempat yang memberinya kesan menarik. Papa suka nongkrong sembari mengamati ramainya Braga, atau potong rambut di langganannya waktu kecil, atau makan peuyem di musim liburan. Sekarang aku merasa makin mirip Papa. Bila pergi sebentar dari Bandung sudah dibendung rindu ingin segera pulang. Kamu pernah merasakannya, nggak?"
"Saya lahir waktu Bandung dilanda banjir tahun 1998. Papa saat itu mengutuk hujan yang menjadi sebab Sungai Citarum menguap. Lalu tercetuslah ide untuk menamaiku Hujan supaya ingat bahwa hujan di Bandung akan selalu lekat dengan peristiwa kelahiranku. Saya rindu Bandung karena Papa. Satu-satunya hal yang membawaku kembali ke Bandung adalah Papa. Dan selalu tempat pertama yang kukunjungi ketika datang ke Bandung adalah liang lahat Papa." Lelaki itu menghela napas. Ia mengambil secarik kertas untuk menulis sesuatu, lalu menyerahkannya kepadaku. "Bila ada kesempatan untuk pertemuan yang kedua, saya ingin ajak kamu ke suatu tempat di sudut-sudut Dago, yaitu warnet favorit saya. Saya ingin membagi kisah yang selalu saya bungkus dengan kenangan manis kepada orang yang tepat."
"Bukankah ini terlalu awal, Hujan?"
"Tidak ada yang terlalu segera apabila memang sudah jadi takdir," ucapnya penuh kepercayaan diri. "Di situ sudah tertera alamatnya. Aku hanya memberimu informasi supaya kelak kalau lupa, kamu bisa ingat dari secarik kertas ini."
Aku menerima kertas yang disalurkan oleh Hujan. Tulisannya rapi, ditulis latin, dan ukurannya ideal untuk dibaca. Jalan Ir. H. Juanda No. 117, cukup ke utara menyusuri gang belakang SMAN 19 Bandung. Kertas itu kutekuk menjadi dua lalu kusimpan di dalam saku kemejaku.
"Oke, terima kasih sudah mau berbagi. Boleh aku kontak kamu kapan saja?"
"Tentu. Kita sudah bertukar kontak, seingatku?"
Anggukanku menjadi antusias. Setidaknya melalui pertemuan ini, bisa kuambil kesimpulan bahwa Hujan merupakan orang yang ramah dan enak diajak berbincang. "Sudah, Hujan. Kapan lagi kiranya kita bisa berjumpa bila boleh kutahu dari saranmu?"
"Saya selalu ada di Bandung. Datanglah untuk berjumpa denganku, maka sepanjang napasku masih berbisik di antara keramaian Bandung––saya akan datang."
Pendek kata, kami berpisah. Aku tak bisa terlena dengan suasana Bandung karena sudah ada pekerjaan yang menanti kepulanganku. Kami sempat lanjut mengitari Bandung, sedapatnya motor Hujan membawa, sebab setelah itu aku harus mengejar kereta. Hujan kuminta untuk mengantar ke Stasiun Bandung. Untuk keberangkatan pada pukul setengah sembilan, hanya kereta eksekutif dari Parahyangan yang sedia. Sudahlah cukup menguras kantong, tetapi tak bisa dipersoalkan karena memang kepepet.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tak Selamanya Abadi
Kısa Hikaye[Kumpulan Cerpen] Manusia tidak bisa hidup tanpa cinta. Di setiap kali ia melangkah, maka akan ada cinta yang ia berikan kepada seseorang atau sesuatu. Ada saatnya, cinta itu pergi sesaat dari kehidupan manusia karena telah tuntas tugasnya. Di saat...