Happy reading, semoga suka.
Yang mau baca duluan, bab 11 sudah update. Mengandung adegan 21+ ya
Luv,
Carmen
________________________________________________________________________
Kurang dari tiga minggu kemudian dan meja kerjaku sudah dipenuhi dengan foto, sketsa dan kertas catatan, sampai-sampai tidak ada ruang untuk meletakkan cangkir kopiku. Walaupun hari pertamaku menerima proyek ini tidak berjalan semulus yang kuinginkan tapi aku mendapati bahwa aku menikmati mengerjakan proyek ini. Nyonya McNeil membeli sebuah rumah pertanian Victoria tua dan bermaksud untuk memperbaiki dan merestorasi tempat itu ke bentuk semula. Aku sudah berbicara beberapa kali dengannya lewat telepon dan meskipun berkesan judes serta cerewet, tapi aku mendapati diriku menyukainya – terlebih kami kami sama-sama setuju bahwa melindungi arsitektur aset-aset historis adalah salah satu hal yang krusial.
Nyonya McNeil telah memberiku lampu hijau bahwa selama itu berkaitan dengan hal restorasi dan mengembalikan keaslian bangunan, aku tidak perlu ragu dengan biaya yang harus dikeluarkan. Dan aku menahan kesiapku saat mendengar kalimat ajaib tersebut. Ini adalah salah satu proyek impian semua arsitek di mana proyek yang mereka kerjakan memiliki anggaran tidak terbatas.
Tidak bisa ditepis bahwa rumah itu memang membutuhkan banyak pengerjaan yang signifikan dan mahal. Tempat itu sudah kosong selama hampir dua dekade dan kesan pertama dari bangunan itu adalah kerusakannya yang lumayan. Aku mengunjungi tempat itu di satu pagi untuk mengeksplor dan mendapati diriku terkesan. Tentu saja, tempat itu membutuhkan banyak sekali pengerjaan serius tapi tulang-tulang arsitekturnya sangatlah bagus dan mengesankan.
Kayu asli bangunan itu masih utuh, mulai dari lis langit-langitnya hingga tangga yang begitu indah hingga membuatku takjub. Di bawah lapisan linoleum buruk yang terkelupas dan karpet berjamur terdapat lantai kayu keras yang hanya perlu dipoles ulang. Kertas dindingnya rusak parah di berbagai tempat, namun struktur dindingnya kokoh dan sempurna. Struktruk bangunan itu sangat kokoh dan menakjubkan untuk sebuah rumah yang dibangun pada tahun 1800an. Aku mengambil banyak foto untuk dibawa kembali ke kantor dan bahkan membuat salinannya untuk Sang Naga, yang sama sekali tidak memberikan komentar apapun atas usahaku tersebut.
Kami belum pernah mengadakan rapat proyek selain pertemuan singkat yang pertama itu, walaupun aku kadang-kadang datang ke kantor pria itu untuk mengambil catatan di yellow sticky-notes yang berisikan instruksi yang ditulis oleh Craig dan menempelkannya di meja gambarku. Tapi dengan selesainya daftar tugas terakhir ini, aku tidak yakin apalagi yang ingin dilakukan Sang Naga selanjutnya.
Aku lalu mengambil inisiatif untuk membuat file berisi daftar semua tuntutan dan keinginan Nyonya McNeil dan lalu memulai beberapa sketsa dasar, tidak bisa dibilang sebagai rencana definitif, tapi sesuatu yang bisa menyiapkanku jika Craig mulai membahas tentang hal tersebut. Aku sedang serius mengerjakan sketsa itu, fokus pada eksterior vergeboard serambi rumah itu, ketika sebuah bayangan menjulang di atasku.
Mendongak, aku melihat Craig dan otomatis memberinya seulas senyum. Tapi sayang, wajah pria itu cemberut dan senyumku langsung lenyap seketika. Dia tampak tidak senang, sepertinya padaku.
"Apa itu?" tanyanya, dahinya berkerut pada gambar yang belum sepenuhnya selesai itu.
Nada permusuhan di dalam suaranya membuatku terkejut. Aku menunjuk pada foto referensi yang ditempel di meja gambarku. "Nyonya McNeil tertarik untuk melihat sketsa awal kita sebelum kita mulai melakukan pengerjaan rancangan bangunan. Jadi aku berpikir untuk menyiapkan beberapa sketsa untuk ditunjukkan padanya."
"Sketsa awal kita?" Kalimat pria itu jelas mengandung sarkasme.
Aku melemparkan ekspresi cemberut pada pria itu. "Baik, ideku." Aku bangga dengan pekerjaanku dan tidak akan meminta maaf untuk itu.
Pria itu mengambil sketsaku dan alisnya terangkat. Saat dia mempelajari sketsa tersebut, aku juga mempelajarinya.
Craig McFarLand sepertinya berusia antara pertengahan tiga puluhan dan akhir tiga puluhan, dia tinggi, kedua bahunya lebar dan wajahnya tercukur bersih dengan rambut hitam pendek yang rapi. Dia benar-benar tampan tapi ekspresinya yang tak ramah membuatnya terlihat sangat mengintimidasi dan menakutkan. Aku mencoba membayangkan bagaimana bentuk wajahnya jika dia tersenyum tapi usahaku gagal. Aku juga tidak pernah melihatnya bersikap ramah kepada karyawan lain dan aku juga bertanya-tanya apakah dia sudah menikah, apakah dia sudah memiliki anak. Tapi saat aku melirik cepat jarinya, aku tidak melihat cincin di sana. Tapi tidak mengejutkan, karena Craig adalah pria yang sangat sulit dihadapi sehingga mungkin hanya wanita yang hilang akal yang bersedia menikah dengannya.
Dia kemudian melempar sketsaku tanpa memberikan komentar apapun. Aku bernapas lega. Tidak ada kritik dari pria itu bisa diartikan sebagai pujian sebenarnya.
"Kantorku, sekarang."
Pria itu lalu berjalan menjauh dan aku mendesah berat, tidak benar-benar ingin meninggalkan sketsaku yang belum selesai tapi pria itu menoleh dan memberiku semacam tatapan mengancam. Dan seperti biasa, kepala-kepala menoleh penasaran, menatap kami penuh rasa ingin tahu.
"Baik," geramku lalu melempar pensilku. Lagipula leherku mulai terasa kelu, jadi mungkin ada baiknya aku berhenti sebentar dan menjauh dari meja gambarku walaupun prospek untuk pergi ke kantor Sang Naga sama sekali tidak menarik bagiku.