Happy reading, semoga suka.
Yang mau baca cepat, bisa ke Karyakarsa ya. Sudah update sampai bab 25.
Luv,
Carmen
____________________________________________________________________
Pria itu bisa dibilang mendorongku masuk ke dalam kondominiumnya. Jantungku berdebar tidak karuan karena ciuman posesif Craig sementara aku melihatnya melepaskan jas dan sepatunya dan dia kemudian menungguku untuk melakukan hal yang sama.
"Sial," gumamnya lalu berjalan masuk ke dalam ruang duduk sementara aku mengikutinya dari belakang. "Sekarang seluruh gedung ini akan tahu apa yang terjadi."
Aku bisa merasakan kekesalanku kembali lagi. "Dan apa salahnya dengan itu?" tanyaku tajam. "Apa kau merasa malu karena bersamaku, Craig?"
"Tidak, Kaylee, aku tidak malu akan dirimu." Suara pria itu terdengar lelah dan dia mendesah. "Aku hanya tidak suka gosip. Dan wanita tua itu akan memberitahu semua orang. Besok pagi, hanya itu saja yang akan mereka bicarakan. Bahwa aku membawa seorang wanita bersamaku dan berciuman dengan penuh nafsu di dalam elevator sebelum membawanya untuk bermalam. Shit!"
Aku tersenyum kecil sambil berjalan mendekati pria itu. Dia kini berdiri menatap keluar jendela besar yang menghadap balkon. Lampu-lampu kota menyinari wajahnya yang tampan dan aku senang melihat struktur indah tulang-tulang yang membentuk wajah pria itu, bentuknya, kesempurnaannya, aku mengaguminya satu persatu. Dia benar-benar penuh kejutan, suka berbicara kasar, tapi juga bisa menjadi begitu penuh gairah dan ahli dan kemudian tampak selelah dan serapuh ini. Aku lalu menyentuh lengan pria itu dengan ragu, tidak tahu apa sebenarnya yang sungguh-sungguh pria itu inginkan dariku.
"Biarkan saja mereka berbicara," ucapku kemudian. "Aku rasa selama bertahun-tahun ini kau tidak pernah memberi mereka bahan gosip apapun. Jadi biarkan saja mereka sekarang sibuk membicarakanmu, siapa yang peduli, bukan?"
Aku melihat pria itu masih berdiri bergeming. Harus kuakui, aku gamang, juga ragu dan takut. Seberapa banyak yang aku tahu tentang Sang Naga? Dia seorang arsitek yang sangat hebat, itu tidak diragukan lagi - tapi di luar kehidupan profesionalnya, aku sama sekali tidak tahu apapun tentang pria itu. Aku tahu usianya jauh di atasku, tidak begitu tua, tentu saja, tapi tetap saja perbedaan umur kami terpaut cukup jauh.
Di usiaku yang kedua puluh delapan, mungkin banyak yang berpikir bahwa aku tahu banyak tentang pria tapi sejujurnya, itu salah. Aku hanya pernah punya 3 pacar sejak high school dan aku tidur dengan dua di antaranya. Dan ketiga-tiganya bahkan masih tinggal bersama ibunya – Larry, seorang barista di kafe tempatku dulu bekerja, lalu ada Andrew yang adalah seorang pemain band, dan terakhir Mike – dia memanggil dirinya seniman dan juga masih tinggal bersama ibunya di sebuah flat kecil. Tentu saja, ketiga-tiganya tidak bisa dibandingkan dengan Craig, baik dari sisi usia, kematangan, kesuksesan dan tentu saja... penampilan dan fisik mereka.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya pria itu, mengejutkanku dari pikiranku sendiri. Tubuh pria itu memancarkan kehangatan menyenangkan yang membuatku ingin terus berdiri seperti ini - sambil menatap pemandangan malam di hadapan kami. Pemandangan dari kediaman pria itu memang sungguh menakjubkan.
"Aku sedang berpikir bahwa kau adalah pria pertama yang bersamaku yang tidak tinggal bersama ibunya," ucapku sambil menatapnya lalu tersenyum geli.
Mungkin itu bukan jawaban yang disangka oleh pria itu sehingga tawanya meledak. Baru pertama kalinya aku mendengar pria itu tertawa, dengan sekeras dan selepas ini. Takjub menatap perubahan ekspresinya, aku menjadi lebih berani.
"Kau? Apa yang sedang kau pikirkan?" tanyaku pada Craig.
"Aku sedang berpikir apa yang sedang kulakukan saat kau baru lahir?" goda pria itu.
"Aku tidak tahu," jawabku sambil mengangkat bahu pelan. "Berapa usiamu saat tahun 1996?"
"Sepuluh," jawab pria itu setelah terdiam beberapa saat.
"Wow... dan aku masih mengenakan popok dan minum susu tiap dua jam sekali," cengirku.
Pria itu lalu menatapku sehingga cengiranku langsung lenyap. "Kalau kau memutuskan untuk pergi, aku tidak akan mempermasalahkannya, Kaylee."
"Kau ragu?" tanyaku, suaraku terdengar sedikit tercekat.
Pria itu menggeleng tegas. "Tidak. Aku hanya berpikir kalau kau... kalau kau ingin berpikir ulang."
Aku tidak mengiyakan juga tidak membantah tapi mengembalikan tatapanku pada pemandangan kota. Itu jauh lebih mudah daripada menatap wajah pria itu.
"Kau tahu, aku menginginkanmu di detik kau melenggang masuk ke Suarez Architects."
Aku terkejut dan kehilangan kata untuk sesaat. Aku lalu menatapnya sekilas dengan mata membelalak tak percaya. "Kupikir... kupikir kau membenciku."
Pria itu tertawa hangat, sekaligus juga mengantarkan getar ke sepanjang tulang punggungku. "Jika aku membencimu, Kaylee, aku tidak akan membawamu pulang bersamaku."
"Tapi siang ini, ketika aku berada di dalam kantormu... tentang semua hal-hal yang kita sampaikan dalam amarah?"
Dia menjulurkan tangan dan menyelipkan sejumput rambutku ke belakang telinga. Sentuhan ringan itu membuatku terkesiap pelan. "Kau masih harus banyak belajar, Kaylee."
Ada sedikit nada menantang dalam suara pria itu yang mengusik emosiku. Aku tidak pernah bertemu dengan seorang pria yang membuatku ingin bercinta dengannya lalu mencekiknya di menit berikutnya. Pria itu berkata bahwa dia menginginkanku tapi dia tidak ragu melemparkan cemoohan dan hinaan yang membuatku merasa kecil dan tidak percaya diri. Aku rasa aku memang perlu banyak belajar karena aku jelas tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi di antara kami.
"Kurasa kau akan menawari diri untuk mengajariku?" Bersama Sang Naga sepertinya aku tetap harus menjaga kewaspadaanku karena aku tidak benar-benar mengerti dan mengenal pria itu dan aku bahkan tidak tahu apa yang benar-benar dia inginkan dariku.
"Sudah kubilang, kau boleh pergi jika kau menginginkannya, aku tidak akan memaksamu melakukan apapun yang tidak kau inginkan," ujar pria itu lagi.
Kepalaku sesak dipenuhi berbagai pikiran. Jantungku juga berdebar tidak karuan dan aku bisa merasakan pria itu menjulang di atasku tapi aku tetap mempertahankan tatapanku pada pemandangan di luar. Aku menginginkan Craig, dia juga tahu akan hal itu. Tapi semua terasa berputar lepas dari kendaliku dan aku belum siap untuk itu. Aku meliriknya sekejap dan mata biru abu pria itu tidak menunjukkan ekspresi apapun. Jika bukan karena ciuman panas kami tadi, aku ragu dia benar-benar menginginkanku.
Saat aku membuka mulut, kata-kata itu keluar begitu saja tanpa bisa aku kontrol. "Aku masih punya banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan terkait proyek McNeil dan kita masih harus rapat besok pagi-pagi. Kurasa sebaiknya aku pergi."
Aku lalu berbalik dan berjalan dari ruang tamu lalu meraih jaket yang tadi kulepaskan dan mengenakan sepatuku kembali. Saat meraih tas dan gambar rancanganku, aku menoleh ragu dan menatap pria itu. Dia masih memandang keluar jendela, sendirian di dalam ruangan yang gelap itu, hanya diterangi oleh cahaya lampu kota. Jika saja dia tampak menyesal ataupun kesepian, aku mungkin akan memutuskan untuk tetap tinggal. Tapi ekspresinya tampak datar tak terpengaruh, jadi aku pergi.