Bab 5

1.2K 182 4
                                    

Happy reading, semoga suka.

Yang mau baca duluan, bisa ke Karyakarsa ya. Sudah update sampai bab 20.

You can also check my new story di Karyakarsa, langsung tamat ya.

You can also check my new story di Karyakarsa, langsung tamat ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Luv,

Carmen

_____________________________________________________________________

Tempatmu atau tempatku?

Aku tidak percaya bahwa aku benar-benar mengucapkannya tapi kini aku tidak bisa mundur lagi. Aku menatap wajah Craig yang bercahaya oleh senyum dan itu membuat napasku tercekat. Perubahan ekspresi wajah pria itu menakjubkan – dari pria sinis galak menjadi pria tampan lembut yang terlihat beberapa tahun lebih muda. Dia merunduk dan memberiku ciuman singkat di bibirku dan membuatku kembali pusing.

"Aku tinggal di dekat sini."

Aku mengangguk dalam diam, lalu meraih rancangan kami tanpa suara, juga tasku lalu mengikuti pria itu keluar dari ruangan dan kedua lututku terasa bergetar saat kami turun ke parkiran bawah tanah. Saat kami berdiri di depan Jeep tuaku, pria itu lalu mengulurkan tangannya.

"Apa?" tanyaku bingung.

"Kunci mobil," jawabnya."

"Bagaimana dengan mobilmu?" tanyaku heran.

"Aku biasa berjalan kaki, kecuali bila aku merasa terlalu malas untuk berjalan di hari hujan dan bersalju. Kuncimu," ujarnya lagi.

Aku mendesah kecil lalu menyerahkan kunci mobilku padanya. "Oke. Ini."

Mengesankan bagaimana pria itu bisa mengendarai Jeep temperamentalku seolah dia sudah melakukannya selama bertahun-tahun. Aku bertanya-tanya apakah pria itu memang selalu bisa dengan mudah menguasai segalanya dan mengendalikan segalanya agar selalu berjalan mulus tanpa mengeluarkan usaha yang terlalu berarti.

Darahku perlahan mendingin dan akal sehatku perlahan merangkak kembali ke pusat otakku dan aku mulai menjadi sedikit panik. Benarkah aku akan pulang bersama Sang Naga? Aku melirik pria itu dari samping, dia terlihat sangat tenang, wajah tampannya terlihat tidak menunjukkan emosi yang berarti. Aku tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikiran pria itu.

"Kau mulai berpikir yang bukan-bukan lagi, bukan?" tanya pria itu dengan nada agak sarkas, sambil menaikkan salah satu alisnya.

"Ti... tidak," jawabku cepat.

Seumur hidupku, aku tidak pernah pulang dengan seorang pria yang tidak kukenal, apalagi dengan seorang pria yang bekerja di tempat yang sama denganku, terlebih lagi Craig jauh lebih tua dariku dan aku berani bersumpah jika dia membenciku – beberapa jam yang lalu, aku bahkan berani berkata bahwa pria itu mungkin tidak akan segan-segan melemparku keluar kantor, lalu kenapa aku memutuskan untuk pulang bersama pria seperti McFarLand? Aku tidak tahu, aku tidak tahu jawabannya, mungkin saja ini hanya kegilaan sesaat. Tapi saat kami turun dan dia menyerahkan kunci kepadaku, aku masih belum mampu berubah pikiran. Dan saat mata kami bertemu, aku bisa merasakan gairah kembali menderu keras di dalam diriku. Oh, aku tidak peduli lagi, sebut saja ini kegilaan sesaat, atau aku terlalu impulif, atau aku tengah dirasuki setan hasrat, tapi aku benar-benar menginginkan pria itu hingga rasanya aku sesak napas.

Pria itu tinggal di sebuah gedung kondominium mewah di area bergengsi ini, dan cengkeramannya pada sikuku membuatku tidak memiliki banyak waktu untuk mengagumi kemewahan dan selera mahal lobi tersebut. Ada seorang pria pirang tampan yang masuk ke dalam elevator bersama kami – dia terlihat hampir sepantaran dengan Craig dan bila dilihat dari setelan mahalnya, dia jelas-jelas sukses. Tentu saja, untuk tinggal di gedung seperti ini, seseorang harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit jumlahnya.

Pria itu tersenyum menggoda padaku sebelum kemudian menatap pada Craig. "McFarLand," ujar pria itu dengan singkat, tanpa basa-basi.

"Griffin," sapa Craig balik, bahkan tanpa menatap pria itu dan hanya mempertahankan tatapannya pada pintu elevator.

"Siapa temanmu ini?" tanya pria itu kemudian.

Tangan Craig masih berada di belakang lenganku dan dia meremas lembut, aku bisa merasakan ibu jarinya mengusap kulitku tapi dia tidak mengatakan apapun. Aku sebenarnya tidak suka dengan cara pria bernama Griffin itu menatapku tapi aku juga kesal karena Craig hanya diam saja. Aku tidak tahu apakah dia hanya tidak ingin memberi penjelasan apapun pada pria pria itu atau Craig malu akan diriku.

"Aku Kaylee Dimitriu," jawabku sambil menjulurkan tangan dan pria itu menjabatnya sambil memamerkan senyum cerahnya padaku. "Aku dan Craig bekerja satu kantor."

"Aku Daniel Griffin," ucapnya sambil membiarkan tatapannya menelusuri tubuhku. Aku menahan rasa tidak nyamanku karena ditatap seperti itu dan hanya melemparkan senyum lemah. "Aku tidak tahu kalau kau punya sekretaris, McFarLand."

Alis Craig terangkat dan dia menoleh pada Griffin. "Dia bukan sekretarisku. Dia juga seorang arsitek. And she is a damn good one." Suara pria itu rendah dan berbahaya.

Pria bernama Griffin itu terlihat tak terkesan. "Oke, whatever you say, McFarLand."

Di sampingku, Craig menegang. Pintu elevator lalu membuka di lantai dua belas dan Daniel Griffin melirik lalu melemparkan senyum menggodanya padaku lagi sambil menyerahkan kartu namanya sebelum keluar.

"Kapan saja kau menginginkannya, kau bebas meneponku, Sweetheart," tambah pria itu.

Sebelum Craig sempat melakukan apapun, pintu elevator sudah kembali menutup. Maka dengan marah, pria itu hanya bisa memelototiku. "Kau tidak seharusnya berbicara pada pria itu."

"I beg your pardon? Craig, aku tidak butuh izinmu tentang siapa yang boleh dan tidak boleh kuajak bicara." Sebenarnya, aku bahkan tak berminat pada pria tadi, juga tak berniat ingin menghubungi bahkan melihatnya lagi. Tapi keposesifan Craig membuatku jengkel. Punya hak apa dia?

Craig kini menjulang di hadapanmu. Cengkeramannya pada lengan atasku mulai terasa sakit. "Aku hanya tahu bahwa aku selalu tahu apa yang terbaik," geramnya dengan suara serak.

"Kau tidak mungkin serius, Craig! Aku wanita dewasa dan aku bisa menjaga diriku sendiri," sergahku, masih merasa jengkel.

"Tidak jika kau berniat menelepon bajingan itu," tandas pria itu, matanya berkilat bahaya. Dia lalu merebut kartu nama itu dari tanganku lalu merobeknya dan melemparnya melewati bahu kekarnya.

"Thanks, Craig. Tapi asal kau tahu, aku bisa membuat keputusanku sendiri." Aku bisa merasakan emosiku kembali naik karena arogansi Sang Naga.

Pria itu semakin mendekat, menipiskan jarak di antara kami dan bibir pria itu kini berada di atasku dan wajahnya terlihat marah. Tapi itu membuat Craig tampak lebih tampan dan mengetahui bahwa aku telah membuatnya cemburu, aku merasa mendapatkan sedikit kekuasaan atas pria itu. Rupanya pria itu bisa bersikap seperti itu tatkala mengetahui ada pria lain yang menunjukkan ketertarikannya padaku. Aku tersenyum kecil dan mendongakkan kepalaku ke atas, sengaja menantang Craig. "Kau pikir dia akan sibuk malam ini? Mungkin seharusnya aku menelepon Mr. Griffin dan..."

Ekpresi di wajah pria itu memberitahuku bahwa aku sudah melangkah terlalu jauh. Wajah tampannya kini mengeras dan itu membuatnya tampak lebih mengintimidasi.

"Like the hell you will," kutuknya dan kemudian meraih belakang kepalaku dengan paksa lalu menciumku keras.

Setiap sel di dalam tubuhku terbangun oleh ganasnya ciuman Craig dan juga sentakan gairah yang menjalar cepat di dalam tubuhku. Aku mengerang keras dan menyeimbangkan diriku dengan mencengkeram lengan kuat pria itu. Craig melumatku kuat, lidahnya terasa panas saat menyusup ke dalam mulutku, napas pria itu terdengar kasar. Lalu pintu elevator berdenting terbuka dan seketika udara sejuk menyerbu masuk ke dalam ruangan kecil yang panas itu. Aku dan Craig dengan cepat memisahkan diri dan terkejut saat mendapati seorang wanita setengah baya sedang berdiri menatap kami, dengan mulut setengah membuka dan jelas-jelas tampak terkejut.

"Mrs. Hills," sapa Craig, dengan cepat mengendalikan dirinya lalu membimbingku keluar, melewati wanita tua yang masih bergeming itu. "Selamat malam."

Dan aku bisa merasakan tatapan tajam wanita itu mengikuti kami sepanjang lorong.

Hate to Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang