Happy reading, semoga suka.
Yang mau baca duluan, bisa ke Karyakarsa ya, bab 26-28 sudah diupdate.
Luv,
Carmen
_______________________________________________________________________
Malam itu, aku sama sekali tidak bisa tidur – yang pertama terjadi sejak terakhir kali aku di universitas. Kurasa sebagian karena aku terlalu lelah juga gugup untuk presentasi besok, lalu sebagiannya lagi karena aku terlalu tegang untuk tidur.
Aku mendesah lagi dan kembali memberitahu diriku sendiri, lagi dan lagi bahwa tidur dengan Sang Naga akan menjadi sebuah kesalahan besar, yang pasti akan sangat kusesali – aku terus mengulang kalimat itu sambil duduk di meja gambarku di apartemen mungilku, dengan jari-jari yang sibuk menggoreskan sketsa satu halaman demi halaman. Aku tidak ingin melewatkan satu detailpun, karena jika aku sampai melakukannya dan Craig menemukan kesalahanku itu, maka dia tidak akan segan-segan mempermalukanku di hadapan semua orang.
Aku benar-benar tidak profesional, dan begitu bodoh sehingga jatuh dalam permainan kecil pria itu. Aku tidak berbeda dari arsitek-arsitek junior di firma ini. Pria itu tidak akan segan mengunyahku lalu melepehkanku, sama seperti yang dilakukannya dengan arsitek-arsitek junior lainnya. Hanya aja kali ini, tentu saja, dia akan mendapatkan sedikit kesenangan dengan meniduriku yang mana akan menjadi keuntungannya dan kesalahan besar untukku.
Pikiranku berpacu dalam kesibukan sementara aku mandi dan berpakaian untuk bersiap-siap rapat yang akan dilanjutkan dengan pertemuan dan presentasi proposal pada Mrs. McNeil. Aku berdoa agar pria itu tidak bersikap jahat padaku, tidak akan membeberkan apapun pada George maupun Mrs. McNeil tentang apa yang terjadi pada kami kemarin malam.
Tolol, tolol, tolol!
Kata itu terus bergema dalam kepalaku sementara aku mengerjakan rutinitas pagiku, berdandan sederhana, berjuang menyembunyikan kantong mataku, mengembalikan sedikit kecerahan pada wajahku yang lelah karena kurang tidur – well, aku tidak akan membiarkan pria itu tahu bahwa aku tidak bisa tidur semalaman, terlebih jika dia sampai berpikir bahwa itu terjadi gara-gara dirinya.
Tapi aku tidak bertemu dengan pria itu sampai pertemuan dengan Mrs. McNeil dimulai.
"Biar aku saja yang memberi presentasi, Kaylee," ujar Sang Naga tanpa ekspresi saat tangan-tanganku yang bergetar mencoba menempelkan sketsa awal kami ke papan gabus di dalam ruang rapat.
Aku membuka mulutku, siap berargumen tapi George sedang menatap kami, jadi aku mengangguk pelan, tak ingin membuat pria tua itu curiga bahwa hubungan kami bermasalah. Lagipula, aku terlalu lelah untuk berdebat dengan pria itu. Di samping itu, aku juga takut kalau tiba-tiba aku mengucapkan sesuatu yang salah pada Mrs. McNeil dan kemudian mengacaukan segalanya.
Semua yang disampaikan pria itu dalam presentasi terucap lancar, dengan gaya bahasa lugas juga bahasa tubuh yang menyenangkan. Dia mampu menjawab semua pertanyaan Mrs. McNeil dengan sempurna. George sempat menambahkan beberapa opini. Sementara aku? Aku hanya duduk diam dan merasa malu selama rapat tersebut. Aku tidak peduli bila Mrs. McNeil tidak memperhatikanku setelah kami menghabiskan begitu banyak waktu saling berkomunikasi atau kenyataan bahwa pria itu mengambil kendali atas segalanya – tapi sikap dan kepribadiannya itu membuatku kesal, seolah tidak ada yang bisa menggoyahkan pria itu. Dia tidak terpengaruh, dia bersikap seperti biasa, presentasinya juga brilian. Apakah memang tidak ada satu halpun yang bisa membuat pria itu goyah dan bimbang? Membuatnya hilang kendali?
Aku tersenyum ketika aku diharapkan untuk tersenyum, mengulurkan rencana dan berkas pada Mrs. McNeil, menandatangi apa yang harus kutandatangani sambil mendengar suara dalam pria itu yang mengalun lancar. Sial! Pria itu bahkan tidak melirikku, walau dia sempat memberi kredit atas sketsa yang kubuat. Aku mulai berharap pertemuan ini cepat berakhir agar aku bisa kembali melanjutkan pekerjaanku di mejaku sendiri, jauh dari pria itu.
Untungnya, Mrs. McNeil menyetujui proposal yang kami buat, juga menyetujui semua perkiraan anggaran renovasi mahal yang kami ajukan tanpa sekalipun mengajukan pertanyaan. Dia menandatangi semua berkas kerja, memberi pujian, menambahkan ekspektasi bahwa dia tidak sabar untuk melihat restorasi bangunan pertanian miliknya itu lalu keluar dari ruang rapat.
Aku melepas desah lega, letih tapi senang. George melemparkan senyum lebarnya padaku dan aku tidak bisa tidak membalasnya.
"Kerja yang sangat bagus, Craig, Kaylee. Firma ini sangat senang dengan kemajuan yang kalian buat." George lalu berdiri dan berjalan mendekatiku lalu menepuk pundakku pelan. "Aku sudah pernah bilang, bukan? Mrs. McNeil akan menjadi klien yang sangat menguntungkan. Dan aku juga tahu kalau kalian berdua akan menjadi tim yang sangat hebat. Proyek ini akan berjalan luar biasa. Dan Mrs. McNeil akan sangat senang sekali dengan hasil akhirnya. Dia juga memiliki banyak teman penting dan berpengaruh di kota ini. Kalian berdua pasti akan segera dibanjiri dengan berbagai proyek-proyek hebat ke depannya."
Aku menggumamkan terima kasih saat George berjalan keluar dan menutup pintu di belakangnya. Craig masih berdiri diam di sudut, hanya menatapku dengan mata elang tajamnya sementara aku mulai membereskan dan mengumpulkan barang-barangku.
"Kaylee..." suaranya rendah, tapi mengandung peringatan namun aku tak mampu menatapnya.
"Semua berjalan sangat baik, bukan?' tanyaku, pura-pura ceria dan senang. Tapi entah kenapa, nadanya malah terdengar aneh. "Mrs. McNeil menyetujui semua yang kita ajukan."
"Kaylee," desis Craig.
"Jadi, kau ingin mulai mengerjakan gambar denah final kita? Aku akan menelepon tender dan mencarikan kontraktor yang bagus juga insinyur struktural. Aku rasa atap bangunan itu memerlukan lebih banyak pengerjaan dari yang kita perkirakan sebelumnya. Aku mengenal Carter Brooks, dia memiliki reputasi di bidang restorasi bangunan bersejarah, aku akan menanyakan apakah dia bisa mengambil pekerjaan ini? Aku akan menghubunginya sehabis ini dan memintanya mengirimkan surat penawaran untuk jasanya. George pasti sudah memiliki daftar perusahaan kontraktor yang biasa kita ajak bekerjasama, aku akan mengeceknya nanti." Aku terburu membereskan semua dokumen dan berkas dan ingin segera kabur dari ruang rapat ini.
"Sial, Kaylee!"
Aku terkejut dan mendongak untuk menatapnya. Pria itu tak terlihat setenang yang kupikirkan. Rupanya dia juga manusia biasa yang bisa goyah dan kesal, yang bisa bimbang dan juga ragu, pikirku sinis.
"Apa, Craig?" tanyaku lelah, lelah dengan semua permainan tak berujung ini yang memerangkap kami di dalamnya. "Kurasa kau ingin membicarakan tentang tadi malam? Kau ingin aku meminta maaf?"
"Tidak, aku tidak ingin kau meminta maaf," gerung pria itu dengan geram. "Aku sudah bilang kau boleh pergi jika kau menginginkannya. Tapi aku tidak akan keberatan jika kau bersedia memberiku sebuah penjelasan."