Happy reading, semoga suka.
...
Ketika aku terbangun pagi itu, aku mendapati diriku sendirian. Sinar matahari yang sangat pucat dan lembut menyeruak masuk dari celah-celah tirai, menandakan bahwa hari masih sangat pagi.
Aku mendesah, berguling dan menempati bantal kosong di sebelahku. Craig membangunkanku sekali di tengah malam untuk bercinta lagi, lagi-lagi membuktikan bahwa dia sangat, sangat baik di atas ranjang. Percintaan kami pelan dan lembut juga penuh keintiman. Pria itu benar ketika dia berkata bahwa dia akan membuat segalanya lebih baik di kali kedua dan Craig tidak mengada-ada, denyut pedih di antara kedua kakiku sudah membuktikannya.
Dan sekarang pria itu tidak ada di sana, aku bertanya-tanya ke mana dia pergi dan mengapa? Untuk menghindari momen canggung ketika kami terbangun bersama? Untuk menghindari kalimat-kalimat klise yang saling diucapkan oleh dua orang asing setelah menghabiskan malam bersama? Sial! Tak pelak aku mulai merasa kesal.
Aku menyelinap turun dari tempat tidur pria itu dan menemukan jubah kamarnya yang tersampir di kursi lalu mengenakannya untuk menutupi tubuh telanjangku. Kamar pria itu dingin dan aku merasakan tubuhku gemetar tapi jubah itu cukup hangat dan terutama, aroma Craig yang memabukkan itu mengelilingiku. Semua itu membuatku merasa nyaman.
Aku lalu menyelipkan kakiku pada sepasang sandal yang kebesaran dan dengan ragu-ragu keluar dari kamar pria itu lalu menuju ke ruang tamu Craig – tapi pria itu juga tidak ada di sana, tidak juga ada di dapur tapi aku mendengar suara asing seperti hentakan kaki dari lorong yang agak jauh. Penasaran, aku langsung berjalan ke arah suara itu berasal untuk mengeceknya.
Aku berhenti saat tiba di lorong yang menuju ruang makan dan dari pantulan cermin di lorong tersebut, aku melihat refleksi pria itu. Dia mengenakan kaos dan celana pendek, kulitnya berkilat karena keringat dan rambut hitamnya menempel di dahi. Dia sedang berlari di atas mesin treadmill, ekpresi wajahnya tampak intens dan agresif, menambah sisi ketampanannya yang selalu membuatku berdebar. Aku menatapnya selama beberapa lama sebelum diam-diam berbalik pergi, tak ingin mengganggu waktu pribadi pria itu.
Aku lalu pergi ke dapur, mencoba membuat diriku sendiri nyaman berada di sini, menyibukkan diri dengan mesin pembuat kopi sementara berusaha membuat suara sepelan mungkin. Ada mangkuk besar berisi buah di atas counter dan aku mengambil sebiji apel sementara menunggu kopi buatanku jadi. Piring kotor kami semalam sudah hilang dan aku jadi bertanya-tanya, apa pria itu tidur atau bahkan tidak tidur sama sekali sepanjang malam? Atau dia memang selalu bangun saat subuh, sementara aku selalu tidur sampai siang setiap akhir pekan.
Setelah kopiku jadi, aku membawanya keluar balkon. Udara di luar dingin dan segar dan aku menggulung diriku di kursi pria itu dan dengan kehangatan dari jubah pria itu, aku merasa nyaman dan cukup hangat. Terbungkus dalam kenyamanan dan dengan secangkir kopi harum di tangan, aku menatap matahari terbit semakin tinggi, tak lagi malu-malu dengan sinarnya.
Kepuasan memenuhiku dan aku tidak tahu apakah itu karena pemandangan luar biasa yang tersuguh di hadapanku atau karena secangkir kopi nikmat yang sedang kuminum atau karena seks luar biasaku tadi malam. Seks dengan Sang Naga, Craig McFarLand – di siang hari seperti ini, rasanya kenyataan itu nyaris tidak dapat kupercayai. Tadi malam, pria itu begitu berbeda – dia baik, humoris, lembut dan kekasih yang sangat perhatian serta ahli. Tapi bagaimana dengan sekarang?
Aku menggelengkan kepalaku. Aku tidak akan berpikir berlebihan mengenani ini semua, mengkhawatirkan apa yang akan atau tidak akan terjadi. Aku juga tidak akan mencemaskan bagaimana nanti sikap kami di kantor. Pria itu adalah seorang profesional, begitu juga aku. Tidak akan ada yang berubah. Kami pasti tidak akan mencampuradukkan pekerjaan dengan kesenangan pribadi.