Happy reading, semoga suka.
Full detail chapter bisa kalian dapatkan di Karyakarsa ya. Cerita ini juga sudah tamat di Playstore dan Karyakarsa.
Juga ada update story baru di Karyakarsa, silakan mampir kalau suka tema serupa. Kisah sang taipan dengan sang wanita panggilan. Cerita ini lebih mengarah ke roman erotis ya, jadi sesuaikan selera masing-masing saja. Belum sempat diposting di wattpad, maybe nanti ya kalau sudah agak senggang.
Luv,
Carmen
_______________________________________________________________________________
Kali ini, kami berhasil masuk ke kondominium pria itu tanpa insiden apapun, tanpa bertemu siapapun di lobi, di elevator maupun di lorong. Tak lama aku sudah duduk di atas bangku tinggi di kitchen island pria itu sambil menontonnya menyiapkan makan malam kami. Aku memang tidak mengatakannya tapi bagiku, tidak ada pria yang lebih seksi daripada pria yang nyaman berada di dapur dan melihat pria itu beraksi di dapur membuat kupu-kupu di dalam perutku seolah beterbangan.
"Merah atau putih?' tanya pria itu, menerobos ke dalam lamunanku dan menarikku keluar dari pikiranku sendiri.
"Uh... merah?" jawabku sedikit tergagap dan walaupun mata pria itu menatapku curiga, dia tidak mengatakan apapun dan hanya menuangkanku segelas anggur merah.
Aku menyesap seteguk dan tersenyum. Anggur itu memiliki warna merah ungu yang gelap dan pekat dan terasa nyaman di perutku. Sempurna.
"Itu anggur pinot noir," ujar pria itu sambil membelakangiku dan membuka kulkasnya. "Anggur itu biasanya diminum oleh orang-orang dewasa."
"Oh, please." Aku tertawa kecil mendengar sindiran itu. Pria itu berbalik kembali menatapku dan matanya berkilat meledek. "Kau butuh bantuanku atau tidak?"
Pria itu memotong bawang dengan keahlian dan efisiensi yang jauh lebih baik daripadaku. "Tidak. Aku suka memasak. You just sit there and look pretty and stay out of the way."
Aku tidak bisa menahan tawaku mendengarnya.
Makan malam kami sempurna - makan malam terenak yang pernah kunikmati dalam beberapa tahun terakhir ini. Pria itu memanggang ikan salmon dan menyajikannya dengan saus lemon dan rasanya begitu lezat sehingga aku nyaris saja mengerang. Pria itu juga menyajikan kentang panggang dengan bawang putih dan rosemary juga asparagus yang diolesi minyak olive dan dipanggang bersama-sama dengan ikan. Aku makan dengan lahap dan sama sekali tidak malu akan hal itu. Kami tidak banyak bicara tapi memang sepertinya tidak ada banyak yang bisa dibicarakan.
"Aku akan membereskan piring kotornya," tawarku sambil menghabiskan gelas kedua anggurku. Anggur merah itu telah mengirimkan kehangatan yang menyebar ke seluruh tubuhku, membuatku merasa rileks dan membuatku sadar bahwa aku sangat lelah.
"Tidak perlu," ujar pria itu sambil mendorong piring-piring kosong kami agar menjauh. "Ini bisa menunggu. Makanan bisa rusak, tapi piring-piring tidak."
Aku tertawa menanggapi. "Pragmatis sekali."
Pria itu mengangkat bahu dan tanpa sengaja tubuh kami bersentuhan. "Aku suka memasak tapi aku tidak suka membereskannya setelah itu."
"Aku tidak keberatan membersihkan dan merapikan kembali peralatan masak dan peralatan makan, tapi aku tidak pintar memasak," akuku.
Aku mencoba membayangkan kembali apa yang ada di dalam kulkasku – mungkin setengah kotak susu yang tersisa kemarin, sebungkus jamur yang sudah lama belum kumasak, beberapa kaleng soda dan sepertinya masih ada sisa keju.
Ini adalah Jumat malam dan aku sudah berhasil menyelesaikan banyak pekerjaan minggu ini. Aku merasa kenyang dan juga meminum anggur merah yang nikmat, aku puas, aku bahagia. Lalu kesadaran itu menghantamku. Aku bukan saja bahagia, tapi aku bahagia karena duduk di samping Craig. Holyshit!
"Kaylee?"
Suara pria itu menyeruak masuk ke dalam benakku. "Kau baik-baik saja?"
Aku menatap Craig, menarik kembali fokusku padanya. "Ya, kenapa?"
"Kau tampak... cemas tadi," ucap pria itu, terdengar nyaris peduli. Aku lalu memberinya senyum tipis.
"Aku sedang memikirkan tentang apa yang kau katakan kemarin di ruang rapat."
Alis pria itu langsung terangkat naik, penuh tanda tanya. "Aku mengatakan banyak hal padamu, Kaylee. Mungkin lebih dari yang seharusnya kukatakan."
Senyumku belum memudar. "Kau berkata padaku bahwa aku tahu apa yang kau inginkan dan bahwa kau tidak akan mengganguku lagi terkait masalah... pribadi kita."
"Dan?"
Jika pria itu khawatir dengan arah pembicaraan kami, maka dia tidak menunjukkannya.
"Jadi, kau membiarkan aku yang menentukannya, bukan?"
Pria itu mengangguk, lalu menyesap anggurnya lagi. "Jadi... mengapa kau membahas ini, Kaylee?" tanyanya kemudian.
Aku menatap pria itu dan mencoba mencari petunjuk di sana tapi ekspresi pria itu tidak mewakilkan apapun. Sial! Aku menarik napas dalam, lalu mencondongkan tubuh dan mencium pria itu.
Craig terasa seperti anggur dan bawang dan aku merasa aku sedang memegang kendali selama dua detik, sebelum pria itu mengambilalih dan menciumku balik dengan segenap gairah dan keahlian yang membuatku tergila-gila. Lidah-lidah kami saling bertarung, mencoba saling menguasai sementara tangan pria itu bergerak ke tengkukku dan menahanku. Aku mencengkeram lengan atasnya, berusaha mempertahankan keseimbanganku sebelum kemudian pria itu memutuskan ciuman kami.
"Kaylee," kesiap Craig di tengah napasnya yang memburu dan demikian juga aku.
"Apakah ada tempat yang lebih nyaman dari sini?" tanyaku kemudian, terdengar lebih berani dari yang kurasakan.
Mata pria itu berkilat. Dia lalu meraih tanganku dan membantuku turun. Lututku terasa meleleh tapi aku mengikutinya kembali ke ruang tamu. Kami berdiri di depan jendela lebar pria itu yang menghamparkan pemandangan kota yang sama seperti bermalam-malam yang lalu tapi kali ini aku merasa lebih percaya diri. Aku menginginkan Craig dan aku tidak akan lagi mencoba menyangkal perasaan tersebut.
Aku melingkarkan kedua lenganku di sekeliling leher pria itu dan berjinjit agar bisa mencium sudut bibirnya. Aku menekankan diriku padanya, terkejut ketika mendapati bahwa tubuh pria itu terasa begitu kuat. Dan ereksinya yang sekeras batu menekanku dan aku tidak bisa menyembunyikan senyum puasku.
"Kaylee," erang pria itu, menunduk untuk menatapku dengan mata biru abunya yang menggelap. "Aku tidak akan sanggup kalau kau pergi lagi seperti kemarin."
"Aku tidak bermaksud melakukannya," jawabku mantap.
"Bagus," gerungnya lalu mengusapkan tangannya pada sepanjang tulang punggungku hingga mencapai bokongku. Sentuhan pria itu mengantarkan getar statis yang menyengatku. "Jika aku tidak segera memilikimu, aku pasti akan meledak, Kaylee."