Happy reading, semoga suka.
Yang mau baca cepat, bisa ke Karyakarsa. Bab 17-19 sudah update, part2 itu mengandung adegan 21+ ya.
Luv,
Carmen
____________________________________________________________________________
"Kau baik-baik saja?"
Aku agak gelagapan dengan pertanyaan pria itu. Tapi walau nada suara pria itu tegang, tapi mata biru abu dinginnya seolah menampakkan perhatian – tapi sepertinya itu hanya khayalanku belaka.
"Y... ya," gumamku lembut, menghindari tatapan pria itu, takut dia melihat ke dalam mataku dan mendapati alasan yang sebenarnya. "Aku hanya lelah."
"Oh, pantas saja," ucap pria itu. "You have workd yourself too hard for this project, and it's for nothing actually."
Aku membuka mulut untuk membela diri tapi tatapan pria itu membuatku terdiam.
"Dengar, Kaylee, aku sudah bertemu dengan ratusan klien seperti Mrs. McNeil, she is bitch. Mereka selalu menuntut ini dan itu, membuatmu jungkir balik menuruti keinginan mereka jika kau membiarkannya, tapi pada akhirnya, dia akan menyetujui apapun proposal yang kita ajukan. Mereka semua sama saja. Jangan biarkan klienmu mengontrolmu seperti itu, Kaylee."
"Karena mereka tidak mengerti tentang arsitektur?"
"Bukan begitu. Sebenarnya aku tidak peduli mereka mengerti atau tidak, aku hanya tidak suka kita pontang-panting menuruti keinginan klien yang terkadang terlalu berlebihan dan tidak masuk akal sementara setelahnya, mereka hanya akan berkata bahwa mereka menyerahkan segalanya pada kita. Percayalah, mereka semua akan berkata seperti itu pada akhirnya. Tapi setidaknya untuk proyek kali ini, Mrs. McNeil melakukan hal yang benar, aku tidak suka mereka menghancurkan bangunan bersejarah untuk membangun lebih banyak pusat perbelanjaan, hiburan dan bahkan bangunan modern. So, I respect her, but still don't let her control you. Kita boleh mendengarkan pendapat mereka, tapi jangan sampai membiarkan mereka mengatur kita. Kita adalah arsiteknya, mereka yang membutuhkan keahlian kita dan bukan sebaliknya."
Aku mengerti perkataan pria itu. Terlebih, aku juga sependapat dengan perkataannya barusan, aku lebih suka merestorasi bangunan bersejarah daripada menghancurkannya. Entah kenapa, aku merasa bahwa aku yang terlalu berlebihan, pria itu sepertinya tidak seburuk yang kusangkakan.
"Um, Craig... mengenai siang ini..." Aku tidak tahu apa yang akan kukatakan, aku juga tidak tahu apakah aku sepenuhnya bersalah, tapi jika aku tidak mencoba mencairkan suasana dan meluruskan pertikaian kecil kami ini, maka kelak, ketika kami harus menghabiskan banyak waktu bersama untuk pengerjaan proyek ini, hal tersebut bisa saja selalu menjadi batu sandungan kami.
"Jangan mengecewakanku dengan meminta maaf sekarang," ucap pria itu mengejutkanku, dengan kilat geli di kedua matanya. "Aku sudah mulai berpikir bahwa kau cukup punya nyali, Kaylee. Jangan membuatku berubah pikiran."
Mengejutkan diriku sendiri, aku tertawa. "Aku tidak bermaksud meminta maaf. Tapi aku tahu aku sedikit keterlaluan karena..." Ya ampun, aku sudah memerah karena malu.
Pria itu menunduk dan menatapku, dada kuatnya kini menekan bahuku dan aku bisa merasakan panas tubuh pria itu. Dia lalu menyeringai. Dan aku tahu kalau dia mengerti apa yang ingin kusampaikan dan reaksinya memberitahuku bahwa dia tidak akan semudah itu melupakannya. Mata biru abunya lalu turun menatap bibirku dan aku harus berjuang untuk tidak tersenyum.
Lalu dengan pelan, mata pria itu bergerak kembali ke mataku dan aku bisa melihat kilat menantang di kedua mata pria itu, yang membuatku berdesir sekaligus juga tertantang. Pria itu rupanya tahu bahwa dia bisa mempengaruhiku dan satu-satunya hal yang menghibur, aku kini juga tahu bahwa ketertarikan itu tidak hanya berasal dariku. Sang Naga McFarLand rupanya juga tidak kebal padaku.
Oh Lord... tapi bukankah ini hanya memperburuk segalanya?
"Craig... kurasa... um... kurasa kita harus membicarakan tentang..."
"Oh, diamlah, Kaylee," gerung pria itu kemudian dan tepat ketika aku ingin kembali membuka mulut, pria itu menutup jarak di antara kami dan menekankan bibirnya di bibirku, dengan keras.
Sejenak otakku kosong karena ciuman mendadak itu. Setelahnya, otakku baru bisa memproses. Ciuman pria itu sangat ahli dan intens dan aku mulai memberontak pelan untuk melepaskan kontak tiba-tiba itu namun tangan Craig menahan belakang leherku. Aku terkesiap terkejut dan lidah Craig dengan cepat menyusup masuk, menggodaku hingga aku menyerah, pusing oleh gairah yang mendadak membanjiriku. Dan aku mulai membalasnya.
Untuk sejenak, mencium pria itu terasa menjadi satu-satunya hal penting di dunia ini bagiku. Napas kasar kami menjadi pengiring latar dan aku bisa merasakan aroma teh pada mulut pria itu, menambah sensasi nikmat dari ciuman kami.
Ya Tuhan, apa yang sedang kulakukan? Ini adalah Sang Naga! Benakku menjerit lagi dan lagi, memprotes dan mendesak agar aku mendorong pria itu dan menjauh. Tapi tubuhku dengan mudah mengkhianatiku, rasa lapar dan tamak menguasaiku, dengan rakus menerima apa yang sedang ditawarkan oleh pria itu.
Bahkan aku menginginkan lebih...
Ciuman pria itu dominan dan tanpa ampun, aku tidak pernah merasakan pengalaman seperti itu sebelumnya dan rasa itu mengaduk isi perutku dan menyebarkan getar ke seluruh tubuhku. Aku bisa merasakan ciuman Craig menjadi lebih menuntut, lebih keras dan membuatku mabuk oleh gairah. Hanya ada satu yang terpikirkan olehku.
Aku lalu memutuskan ciuman itu dengan paksa, menatap mata pria itu yang kembali berusaha fokus dan sejenak pria itu tampak bimbang sebelum ekspresi itu menghilang.
"Craig, aku..."
"Kaylee," potong pria itu dengan suara dalamnya. "Untuk sekali ini saja, jangan katakan apapun."
Aku lalu menaikkan tanganku untuk mengelus pelipis pria itu sementara dia bergeming. Aku lalu tersenyum ke dalam matanya. "Tempatmu atau tempatku?"