Tigabelas

34 8 84
                                    

Hana

"Selamat pagiiiii!"

Seorang pemuda menyengir lebar saat melihat gue sampai di depan gang rumah. Pagi ini dia kelihatan semangat sekali. Rambutnya bahkan masih basah karena habis dikeramas. Dia memakai jaket navy yang tebal sambil mengendarai motor matic warna hitamnya.

Gue hampir protes kenapa dia jemput gue tapi kemudian gue ingat kalau kemarin gue yang mengijinkannya. Iya, gue yang mengijinkannya untuk mengejar gue. Salah satu keputusan gila gue dalam hidup. Sumpah, bukan berati gue ngasih lampu hijau ya, tapi dia yang mohon mohon. Bukan salah gue kalau endingnya gue tetep nolak dia.

Dia memasangkan helm di kepala gue, dan lagi lagi gue nggak bisa protes.

"Lo kecil banget ya ternyata," gumamnya saat menyadari kepala gue tenggelam dalam helm miliknya. Emang helmnya aja yang gede! "Kenapa nggak sekalian lebih kecil lagi aja biar bisa gue bawa terus di kantong," lanjutnya lalu cengengesan sendiri.

"Lo kenapa diem? Sariawan kah?"

"Ye gue udah nahan nahan biar nggak ngehujat lo ya!" balas gue cepat.

Dia cuman ketawa. Berikutnya malah melepas jaketnya, berniat memasangkannya di tubuh gue.

"Eh, lo aja yang pake kan lo yang di depan," ucap gue menolak, tapi dia nggak mau denger. Dia tetep narik gue lalu memasangkan jaketnya di tubuh gue.

"Dingin."

Gue hanya mengedikkan bahu. Yaudah kalau dia nggak mau pakai. Gue menaiki boncengannya.

"Berangkat!" serunya mengikuti ucapan khas Kang Tisna di sinetron Tukang Ojek Pengkolan.

Kalau boleh jujur sebenarnya kemarin gue mengijinkannya mengejar gue adalah karena gue buru buru untuk kembali ke kelas. Coba aja kalau misal nggak gue ijinin udah deh kami debat terus berkepanjangan. Tapi pagi itu ada ulangan mantan dan gue harus cepat kembali ke kelas, makanya gue asal saja mengijinkannya.

Jalan menuju kelas gue memang harus melewati lapangan sekolah, menuju barat sampai mentok lalu ada bangunan paling mewah di sekolahan. Itu jajaran kelas akselerasi. Kemarin saat gue melewati lapangan gue menangkap sepatu hitam dengan tanda merek berupa contreng putih. Hanya satu buah yang gue yakin adalah pasangan dari sepatu sebelah kirinya yang tadi gue lihat di depan UKS. Gue meraih sepatu itu, kalau gue ingat sih ini tempat kelas gue berbaris tadi pagi. Tapi tadi gue juga lihat yang di UKS tuh cuman ada Saka dan dia emang cuman pakai sendal. Ini punya dia kah? Gue menoleh menatap pintu UKS yang masih tertutup. Pasti Saka bolos kelas dan memilih stay di sana. Gue kembali ke depan UKS diam diam hanya untuk meletakan sepatu itu di samping pasangannya.

Bukannya gue kegeeran, tapi apa karena dia gendong gue jadi sampai lupa sepatunya ketinggalan di lapangan ya? Sampai lupa juga lukanya belum diobatin gitu? Saka belakangan ini selalu kurang ajar, dia bikin gue jadi selalu kepikiran. Lagian dia tuh kenapa sih, selalu aneh aneh. Gue masih tetap memikirkannya sampai gue kembali ke kelas.

Siangnya Lisa cerita betapa tegangnya wajah Saka pas gue pingsan. Dia juga sempet marahin mbak mbak PMR karena nggak tanggap pas gue pingsan. Tuh cowok! Kenapa sih dia selalu kayak beneran gitu dan bikin gue tertegun. Gue yang tadinya cuman main main buat ngijinin dia ngejar gue kan jadi luluh. Diam diam gue buka blokiran gue di Whatsappnya. Sak, lo boleh mencoba sekarang. Karena mungkin lo terlanjur bisa menyentuh hati gue yang gue tutup rapat rapat. Sebagai balas budi, gue dengan tulus mendukung lo supaya mampu, mampu masuk ke dalam sana.

"Pegangan dong!" Saka menyadarkan gue dari lamunan.

Gue nggak mengelak, menyimit seragam di pinggangnya. Lagian Saka juga menjalankan motornya pelan banget kok. Ini mah orang lari juga bisa ngejar kita kali saking pelannya dia nyetir.

Seribu Harapan HanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang