Sebelas

50 26 222
                                    

Saka

Gue kayaknya kualat karena habis ngatain Erin semalam. Luka Erin tuh udah mulai kering, kakinya yang terkilir juga udah sembuh dari lama. Tapi gue seneng aja ngeledekin dia sampai nangis. Gue bilang nggak usah gegayaan naik motor lagi.

Lalu siapa yang menyangka gue akan nyium aspal pagi harinya. Sumpah ini salah si Fidi, dia yang nyetir. Kami emang selalu berangkat sekolah mepet waktu padahal hari ini Senin dan ada upacara. Bayangin jarak 8km harus ditempuh lima menit. Iya, sisa lima menit lagi sampai jam masuk. Tentu saja Fidi pakai kekuatan super buat mengebut.

Nyebelinnya di bumi ini nggak cuman kita yang nyetir motor. Ada ibu ibu, dia udah sein kiri tapi malah belok kanan anying! Jantung gue hampir copot padahal gue hanya membonceng. Fidi banting setir ke kiri, dan tentu dengan kecepatan motor kita terhempaslah kita berdua ke aspal di bagian kiri jalan dengan naas.

Gue meringis. Punggung kaki gue tergores aspal lumayan lebar, dari bagian samping jari sampai kebelakang. Tadi dari rumah gue nggak memakai sepatu dengan benar karena buru buru, jadilah sepatu itu terbang dan punggung kaki gue terluka. Siku gue juga luka sedikit. Untung aja muka gue yang berharga ini nggak luka sama sekali.

Gue berdiri, masih nyeker sambil lihat keadaan Fidi. Dia ikutan meringis. Fidi juga syukurnya nggak begitu parah. Dia cuman luka di dagu, siku, tangan bagian bawah, dan kaki kanannya terkilir. Gue juga menemukan sepatu gue di dekatnya.

"Oy belum mati kan?" tanya gue dan Fidi mengangguk.

"Aman tapi kayaknya gue nggak bisa nyetir, ini kaki gue kekilir deh."

Akhirnya kami tetap lanjut ke sekolah dengan gue yang menyetir.  Tentu saja kami telat. Untungnya akrab sama pak satpam karena sering telat. Kami diijinkan masuk, terus karena upacara yang sudah dimulai daritadi jadi kami berbaris di barisan paling ujung. Barisan kelas anak akselerasi, kelasnya Hana.

Fidi dengan tampang penuh luka gitu langsung dikerubungi anak PMR untuk diobati. Sementara gue karena cuman luka siku dan punggung kaki jadi nunggu giliran aja sambil ngikutin upacara.

Mata gue menyipit melihat seseorang terlihat mundur dari barisan depan. Lah, Hana! Wajahnya yang pucat itu sempat menatap gue beberapa detik sebelum ia tumbang. Cewek itu pingsan.

Gue dengan panik maju menggapainya, menepuk nepuk pipinya sebentar. Teman temannya juga mulai mengerubungi panik. Apalagi Lisa, dia udah duduk sambil mengecek suhu Hana.

"Eh ini gimana?" panik Lisa.

"Woy PMR!" teriak gue pada anak PMR yang masih sibuk mengobati Fidi.

Akhirnya salah satu dari mereka maju. "Kak bawa UKS aja, bentar kami siapin tandu."

"Nggak usah, gue aja yang angkat. Arahin!" ucap gue culas sambil berusaha mengangkat Hana.

Tubuh Hana terlampau ringan dan pucat. Gue tau cewek ini memang kurus dan pendek, tapi gue nggak nyangka dia seringan ini. Dia sebenernya makan apa nggak sih? Gue terus melangkah cepat ke UKS sesuai arahan PMR sementara Lisa masih terus membuntuti di belakang.

"Ibu UKS nya belum berangkat, sebentar ya kak saya bikinin teh anget," ucap PMR tadi.

"Eh, terus gue harus ngapain?"

PMR  menyerahkan minyak kayu putih ke gue. "Ini usapin di leher, dada, jidat, sama ditaruh di hidung ya kak biar dihirup."

"Hah dada?" Gue syok.

"Gue aja, lo ambil teh angetnya sana!" ucap Lisa sebelum merebut cepat minyak kayu putih dari tangan gue.

Gue menurut saja. Sekembalinya gue dari ambil teh anget, Hana masih belum siuman. Lisa terlihat masih menempelkan minyak kayu putih di dekat hidung Hana.

Seribu Harapan HanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang