Empatbelas

41 12 118
                                    

Saka

Pulang sekolah gini Fidi menemani gue latihan di Kolam Borobudur. Habis pemanasan, gue masih belum pengen latihan jadi hanya duduk di tepi kolam bareng Fidi.

"Fid menurut lo, perasaan gue valid nggak ke Hana?"

"Valid gimana?"

"Ya, gue masih ngerasa aneh karena tiba tiba naksir dia. Padahal Hana nggak ngelakuin apa pun yang baik ke gue, dia cuman galak dan marahin gue tiap hari."

Fidi malah ketawa kencang. "Emang lo pantes sih digituin."

"Gue nanya serius ya anying!"

Fidi mainin kakinya di air kolam sambil menarik napas panjang. "Satu waktu emang, seseorang bisa memenangkan hati lo tanpa melakukan apa pun. Dia hanya jadi dirinya, lalu lo jatuh cinta."

"Filsuf banget lu keren."

"Gue baca di twitter."

"Tolol!"

"Serius, Hana cuman jadi dirinya lalu lo naksir dia. Valid, Sak perasaan lo. Alasan lo naksir dia sesederhana karena dia Hana aja."

"Jadi gue beneran naksir kan?"

"Iya."

"Apa gue penasaran aja kali ya? Gue coba pacarin dia sebulan dulu kali ya trial, kalau bosen gue putusin."

"Lo masih brengsek aja ya ternyata," maki Fidi, dia menendang kaki gue sembarangan.

"Gue kangen pacaran deh Fid, lo mau nggak?" gue menatap dia memelas sambil mendekatkan wajah.

"Apa anying!" Dia mendorong gue jauh jauh, gue kali ini yang tertawa lepas. Diantara semuanya emang Fidi yang paling enak buat dikerjain.

Kadang berteman sama Fidi membuat gue sadar kalau dia nih naif banget. Bukan yang sok baik gitu, tapi emang beneran hidupnya tuh kayak nggak kesentuh cobaan hidup. Jadinya dia kebentuk jadi orang yang beneran baik.

"Kalau akhirnya gue mainin cewek lagi, lo nggak bakal kecewa kan?" tanya gue mencoba dramatis.

"Ngapain juga gue ngurusin lo."

Gue mendecih, kirain bakal dinasihatin. Gue lalu memulai latihan dengan Fidi yang memegang stopwatch. Perlombaan tingkat nasional sebenernya diundur untuk waktu yang belum bisa dipastikan. Mungkin tiga sampai empat bulan lagi atau bahkan lebih.

Gue jadi bisa santai sedikit. Nanti abis latihan gue bakal ngapelin Hana. Kita janjian makan di warung mpek mpek deket gang Hana. Kata Hana kalau di sana dia nggak apa jajan, soalnya emang satu satunya warung yang diizinin nyokapnya. Masih sodaranya soalnya.

"Hai calon pacar!" gue menyapanya dengan ceria saat dia sampai di depan gang rumahnya.

Ini gue kelihatan nggak lakik banget deh jemput cewek depan gang, padahal emang rikuesan Hana.

Hari ini Hana pakai baju oren bergaris garis putih, yang kemudian dia rangkap dengan celana kodoknya. Nggak ketinggalan bando kuning ngejrengnya. Dengan badan kecil dan kostum begitu dia jadi mirip minion. Satu satunya minion yang mau gue pacarin.

"Ayo gue tunjukin jalannya," ucap Hana setelah naik ke boncengan si Bangkot.

Ternyata warung mpek mpeknya persis di depan gang Hana, cuman nyebrang aja. Saking sepinya gue sampai nggak menyadari ada warung di sini. Bentuknya sederhana banget, dibuat dari kayu kayuan, atapnya juga cuman asbes. Kayak warung nggak permanen gitu deh.

"Oy Mbak Windi!" Hana dengan ceria sudah masuk dan menyapa sang penjual.

Kalau boleh gue mengira ngira, penjaga warung ini adalah mbak mbak berusia dua puluhan. Perawakannya berisi dan punya wajah ceria. Mbak Windi yang dipanggil Hana itu tengah memakai celemek saat kami datang.

Seribu Harapan HanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang