Hana
"Lis gue nggak enak badan deh, apa nggak usah ikut biologi ya?" Gue merebahkan kepala di meja. Memandang Lisa yang memegang dahi gue untuk mengecek suhu.
"Buset panas banget, ke UKS aja yuk!"
Istirahat masih satu jam lagi, nanggung banget sebenernya kalau mau ke UKS. Ini aja kita lagi nunggu pergantian guru aja karena ganti mapel.
"Gue kemarin kehujanan sama Saka, jadi gini deh."
"Saka udah tau belum sih kalau lo tuh nggak bisa capek capek."
"Ah dia mah gue jelasin palingan nggak mudeng," ucap gue sebal. Mengingat kemarin saat ditanya cara ngerjain integral saja dia nggak ngerti.
"Ya bilang aja emang lo ada masalah imun, capek dikit meriang, kena cuaca dingin dikit meriang, salah jajan meriang."
"Dia bilang gue cacingan," jawab gue jujur, Lisa mendecak heran.
"Dia kemarin confess lagi tau Lis," gue memang selalu menceritakan segalanya ke Lisa.
"Gue tanya beneran deh Han, do you like him?"
"I dont want to."
"But you do?"
"I do."
Hari dimana dia sampai lupa sepatunya ketinggalan di lapangan demi gendong gue, hari itu Saka udah menang. Gue mencoba mengelak perasaan yang datang tiap harinya. Gue nggak ingin orang itu adalah Saka. Tapi mau gimana pun gue nggak bisa ngelak sama perasaan gue sendiri. Sampai kemarin waktu dia kembali menanyakan perasaan gue dengan serius, gue hampir saja mengiyakan.
Lisa mengusap rambut gue pelan. "Terima aja nggak ada salahnya Han, kasih dia kesempatan."
"Lo selalu dipihak Saka."
"Nggak, gue selalu dipihak lo. Makanya gue bilang terima aja. Dia mungkin pas awal kelihatan main main, tapi makin kesini gue ngerasa dia beneran sama lo."
"Lis gue udah bilang gue nggak bisa."
"Kenapa sih Han, jalanin aja loh."
"Kasihan dia, gue mending dari awal bilang gue nggak bisa sama dia, daripada kita bareng terus dia sedih karena gue yang bisa tiba tiba mati."
"Nggak boleh ngomong gitu ya Han!"
"Gue mau kebelakang dulu deh ya bentar." Gue bangkit berdiri. Gue nggak menyangka gue bisa sepusing ini cuman karena kehujanan dikit, kepala gue juga berat banget tapi disisi lain tubuh gue terasa ringan sampai rasanya gue kayak melayang.
Gue berhenti berjalan saat bunyi nging kembali terdengar di telinga gue. Ah gini mah gue udah hapal. Nggak sampai dua detik semuanya sudah gelap.
***
Gue bangun dari tidur cuman untuk mendapati Mamah dan Lisa sudah ada di samping ranjang UKS gue. Sebenernya nggak cuman kali ini aja sih mamah sampai ke sekolah buat jemput gue karena sakit, sebelumnya juga sering. Gue menatap jam dinding di UKS, sudah menunjukkan pukul 10 pagi.
Jujur saat membuka mata tadi gue sedikit berharap Saka hadir. Tapi dia belum muncul sejak kejadian kemarin. Memang dia gue larang ganggu gue di sekolah sih, tapi kadang tetep aja dia sengaja lewat depan kelas cuman buat senyam senyum nggak jelas atau ngedipin sebelah mata. Tapi hari ini pemuda itu belum muncul sama sekali. Apa dia sakit juga ya karena kehujanan?
"Mamah udah izinin ke wali kelas, kamu langsung pulang aja hari ini kita ke dokter," ucap Mamah sambil membantu gue untuk duduk.
Perjalanan menuju ruang spesialis penyakit dalam memang nggak pernah jadi asing bagi gue. Namanya Dokter Nurul, dokter langganan gue kalau periksa ke rumah sakit. Sebenernya dari kecil udah sering banget sih ke dokter penyakit dalam dengan permasalahan yang masih sama, defisiensi imun primer. Kata dokter gue pas kecil, sel darah putih dalam tubuh gue jauh lebih sedikit dari milik orang pada umumnya. Akibatnya imun gue jadi lemah.
Makanya mamah malah super protektif ke gue daripada adek gue. Padahal kalau dipikir lagi gue udah gede gini, 17 tahun tapi masih banyak larangannya. Jangan jajan sembaranganlah, jangan tidur malem malem lah, jangan kedinginan, jangan kepanasan, jangan kebanyakan aktivitaslah, bahkan dulu gue olahraga aja nggak dibolehin. Pasalnya gue memang udah beberapa kali berada pada posisi hampir mati. Seringnya sih karena tertular flu atau penyakit ringan dari orang sekitar. Karena imun gue lemah makanya bisa jadi parah sampai masuk ICU.
Mamah jelas panik banget. Dia selalu khawatir tiap gue sakit dikit. Padahal menurut gue, kalau emang udah takdirnya gue mati mah mati aja. Sebaliknya, kalau gue ditakdirkan masih hidup, mau gue jajan sembarangan pun gue akan baik baik aja.
Gue sudah berdamai dengan kondisi gue. Gue selalu melakukan semua hal yang gue mau. Gue juga selalu hidup tanpa penyesalan karena gue nggak pernah tahu kapan gue tiba tiba akan dipanggil Tuhan. Gue merasa gue sudah menjalankan hidup dengan baik. Toh, penyakit gue kan emang nggak bisa sembuh. Ini memang suatu keadaan yang memaksa gue untuk menerima, kalau tubuh gue imunnya lemah, dan gue bisa mati kapan aja sekalipun cuman karena flu atau demam.
"Kemarin kehujanan dok," ucap gue sambil menyengir. Dokter Nurul sontak menggelengkan kepala heran.
"Lain kali kalau hujan tunggu terang ya, saya resepkan obat kayak biasa nanti kalau dua hari belum membaik langsung rawat inap aja ya kayak biasa," jelas Dokter Nurul ramah. Udah hafal dia sama kelakuan gue. Kemarin pas kecebur kolam sama Saka juga beliau yang nanganin. Malah marahin gue karena bandel. Padahal salah Saka yang iseng.
Saat perjalanan pulang gue berulangkali melihat ponsel gue, menunggu notif yang biasanya muncul dengan sering.
Namun hari ini nggak ada yang muncul sama sekali.
Bener kali ya? Setelah tiga bulan dia ngilang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Seribu Harapan Hana
Teen FictionHana, gadis berumur 17 tahun selalu menjalani hidupnya dengan damai sampai tiba-tiba Saka datang di hidupnya. Saka Wahyu, laki-laki kelas pojok yang terakhir kali dipanggil BK karena kasus pelanggaran berat tiba-tiba memaksa untuk menjadi pacarnya. ...