Marisa itu punya empat abang.
Kehidupannya sedari lahir ke dunia dikelilingi oleh para pria.
Entah berkah atau kutukan, Marisa sulit menjadi pribadi yang diinginkannya. Feminim.
Bugh.
Sebuah bantal mendarat tepat di wajahnya yang tengah pulas tertidur. Hal tersebut membuat Marisa mengaduh kesal.
"Sekolah woy sekolah!" seru seorang lelaki berkaus hitam.
Marisa membuka kelopak matanya menampilkan netranya yang merah. "Bisa nggak sih jangan bikin emosi tiap hari?!"
Lelaki itu adalah abang ke-empat bernama Ahlan. Sepertinya sudah mengakar sejak zaman old bahwa adik dan kakak yang usianya berdekatan lebih sering berkelahi.
"Harusnya tuh kamu berterimakasih udah Abang bangunin. Lihat sekarang jam berapa," katanya menunjuk jam dinding.
Marisa justru menatap dengan tatapan nyalang. Ahlan terlonjak ketika bantal-bantal mengarah padanya. "Apa? Apa? Abang salah apa lagi?"
Salah apa lagi katanya? Hei! Marisa yang sedang tertidur saja ingat sekarang hari Minggu. Ahlan otaknya dimana sih?! Dia punya utang berapa miliar sampai Minggu dilupakan?
"Udah deh! Abang keluar sana! Aku mau lanjut tidur." Marisa beranjak dari ranjang dan mendorong tubuh Ahlan keluar kamar.
"Heh! Disuruh sekolah malah tidur!" kata Ahlan.
Disaat-saat Marisa dan Ahlan adu mulut, kakak kedua bernama Zane lewat di antara mereka dengan wajah teduhnya. "Pagi-pagi ributin apa?"
Marisa langsung membela diri. "Bang Ahlan lempar bantal ke muka aku waktu tidur!"
Ahlan ikut-ikutan membela diri. "Niat aku bener, Bang. Mau bangunin bocil suruh ke sekolah."
Marisa berdecak. "Please! Ini hari Minggu! Abang masih muda, jangan gampang pikun!"
Zane menghela napas melihat ekspresi kaget Ahlan saat melihat hari di ponselnya. Kemudian beralih pada sang adik bungsu. "Meskipun ini hari Minggu, jangan biasain bangun siang. Nanti jadi males."
Ahlan tersenyum penuh kemenangan. Marisa menatap jengkel. "Apa senyum-senyum?!"
"Dih! Bibir juga punyaku, ngatur-ngatur!" cibir Ahlan lantas berlalu menuju ruang makan.
"Jangan tidur lagi. Sekarang cuci muka terus ke ruang makan. Kak Nath lagi masak buat kalian." Marisa hanya bisa menghembuskan napas.
"Iya, Bang."
Wajah Marisa terasa lebih segar dari sebelumnya setelah cuci muka. Ia berjalan santai menghampiri para abang yang duduk mengelilingi meja makan. Ahlan sendiri sudah asyik dengan game onlinenya.
"Marisa! Coba ke sini sebentar," panggil Nathan dari balik pantry. Pakaiannya dibalut dengan apron hitam.
"Nih cobain udangnya! Enak nggak?" Nathan memberikan sebuah garpu dengan udang tumis di ujungnya.
Gadis itu mengangguk-angguk. "Enak. Kak Nath mau masak apalagi selain tumis udang?"
"Em .. Balado terong?" Marisa langsung mengernyit tak suka. Ia bisa membayangkan tekstur aneh terong di mulutnya.
"Ngga bisa yang lain?" tawar Marisa.
Ahlan menyeletuk. "Halah! Bilang aja nggak suka sayur!"
Nathan berkacak pinggang sembari menunjuk Ahlan dengan spatula. "Sekali lagi kamu jailin Marisa, siap-siap aja ngepel satu rumah."
Kini giliran Marisa yang tersenyum penuh kemenangan. Ia menjulurkan lidahnya menggoda agar Ahlan naik pitam. Bagi Marisa, Nathan adalah kakak terbaik.
Ketika Zane yang sibuk dengan laptopnya, Ahlan dengan game online nya, Marisa dan Nathan dengan masakan, datanglah sosok anak ketiga di keluarga yang ramai ini. Zio.
Kedatangannya mampu mengalihkan seluruh atensi anggota keluarga yang sedang berkumpul itu. Bagaimana tidak? Zio memiliki perangai yang dingin nan menusuk. Nathan sebagai kakak tertua saja terkadang sulit mengerti isi hati adiknya itu.
Apalagi si anak bungsu, Marisa. Jika salah sedikit saja, bisa-bisa gadis itu membeku ditempat.
Ahlan juga tak berani neko-neko juga sudah berhubungan dengan Zio.
Kecuali Zane. Pria ini tipikal kalem sekaligus bodo amat dengan sekitar. Baginya, sikap Zio biasa saja.
"Bantuin kakak bawain lauk sama nasi ke meja ya?" pinta Nathan pada si bungsu.
Dengan hati-hati, Marisa meletakkan piring di dekat Zio. Terlebih, satu-satunya kursi yang tersisa hanyalah di dekat Zio membuat Marisa mau tak mau duduk di sana.
"Aku ambilin udang nya, ya, Bang?" tawar Marisa dengan senang hati pada Zio sambil mengangkat sendok lauk.
Zio menahan tangan Marisa dan berkata, "Ngga usah, Abang bisa sendiri."
"Oh ... Okey."
Nathan dapat menangkap nada Marisa yang menyiratkan rasa kecewa. Sulit sekali menembus benteng pertahanan Zio.
Nathan berdehem. "Gimana penerbangan kamu semalam? Lancar kan?"
Dari lima bersaudara, hanya Zio yang bekerja di rantauan membuat mereka jarang bertemu sehingga menciptakan ilusi keregangan.
Dia menggantikan almarhum ayah dalam mengembangkan usaha wisata di Bali berupa resort mewah. Padahal tadinya, usaha tersebut akan diberikan pada Nathan sebagai anak sulung.
Namun, Nathan menolak. Ia nyaman bekerja sebagai koki di salah satu restaurant berbintang Jakarta. Nath kurang handal dalam hal mengkoordinasikan sebuah usaha.
Apalagi Nathan anak sulung. Ia ingin selalu hadir menemani perjalanan adik-adiknya sebagai ayah dan ibu. Tak tega melihat Marisa yang masih kecil ditinggal olehnya.
Sedangkan pekerjaan Zane adalah dokter spesialis hewan. Ia membuka klinik sendiri sehingga dengan keterampilan Zane dalam membantu menyembuhkan hewan kurang cocok untuk menggantikan ayah.
Apalagi Ahlan. Dia masih kuliah namun tingkahnya kekanak-kananakan. Sangat tidak mungkin untuk mengelola usaha sang ayah. Bisa-bisa bangkrut dalam jangka waktu dekat.
Nyatanya, hanya Zio yang mampu melakukannya. Sifat dingin nan tegas nya disegani oleh para anak buah meskipun usianya terbilang sangat muda.
"Lancar," kata Zio.
Nathan mengangguk-angguk. "Lama-lamain di sini sebelum balik ke Bali. Kamu dah lama nggak pulang soalnya."
"Iya, nih, Bang. Sampai Marisa sering ngeliat bang Zio di foto keluarga. Kangen katanya," ujar Ahlan meledek lantas menyikut pelan pinggang Marisa.
"Ih apa sih? Enggak gitu ya!" sahut Marisa tak terima pun menggeplak lengan Ahlan.
Zio menoleh sekilas pada Marisa membuat sang empu meringis canggung. Kemudian gadis itu mendelik sebal sang pelaku.
Nathan geleng-geleng kepala. Semoga ia terus diberi dada yang lapang seluas stadion sepak bola.
KAMU SEDANG MEMBACA
High Five (Selesai)
Teen FictionAda sebuah keluarga dengan lima bersaudara dengan Marisa adalah anak bungsu dan satu-satunya perempuan di sana. Memiliki empat abang dengan kepribadian berbeda-beda menciptakan momen yang berharga bagi Marisa. Nathan dengan sikap abang-able yang s...