Delapan

191 14 1
                                    

Pulang sekolah, anggota OSIS kembali berkumpul untuk membahas acara Dies Natalis yang hendak dilaksanakan minggu depan selama dua hari.

"Izin melaporkan ya bahwa rundown sementara sudah jadi tinggal nanti di konsultasiin lagi. Sesuai rencana, Hari Selasa pagi ada acara pembukaan yang diisi sama kepala sekolah. Setelah itu langsung diisi sama kompetisi dance dan olahraga basket secara bersamaan. Basket berlangsung dari hari Selasa sampe Rabu siang."

"Open gate dimulai dari jam dua sampai jam tiga sore dan terbuka untuk umum."

"Hari pertama diperkirakan selesai jam lima sore sedangkan hari kedua paling lambat jam sembilan malam," ujar ketua divisi pra-kegiatan melanjutkan.

Perempuan itu berkata lagi, "Nah ... Masalahnya di hari kedua, setelah open gate kita kekurangan kontribusi siswa untuk isi kegiatan sebelum acara puncak. Di sini ada kelonggaran waktu sekitar tiga puluh menit."

"Kira-kira gimana menurut kalian?" tanyanya.

"Tiga puluh menit lumayan banget itu," komentar seorang laki-laki berkacamata.

Wily berdehem sejenak. "Dari masing-masing kelas kalian ngga ada yang mau isi acara kah? Entah itu solo vocal, cipta puisi, band atau lainnya?"

"Kita udah nawarin berulang kali, Kak. Tapi ngga ada yang mau," sahut sang adik kelas.

Wily menghela napas. "Kalau saran saya untuk sementara, kita dari pengurus osis, nampilin persembahan untuk mereka. Drama musical misalnya?"

Seseorang mengangkat tangan, "Izin menyanggah, Kak. Kayaknya waktunya nggak cukup. Belum lagi pasti kita butuh banyak properti, penulisan naskah dan edit dubbing."

Wily mengangguk membenarkan. Sarannya tadi cukup beresiko karena masing-masing divisi akan sangat sibuk. "Untuk masalah itu biar saya akan tanyakan sama temen kelas. Pasti ada yang mau. Sekarang lanjut ke divisi lain."

Divisi keuangan pun mulai menjelaskan rincian pengeluaran dan pemasukan. "Rencana Anggaran biaya sudah disetujui kesiswaan dan kepala sekolah. Dana sewa panggung sepaket sama sound system juga sudah saya berikan ke pihak yang menyewakan."

Semuanya melaporkan progres masing-masing divisi dalam perkumpulan tersebut agar jika terjadi kendala dapat diatasi sedini mungkin.

Wily meraih tas nya lantas keluar ruang osis. Dia mengunci ruangan tersebut karena dia juga yang terakhir pulang.

Ia berjalan menuju parkiran motor. Setelah deru mesin terdengar, Wily menjalan kendaraannya melewati lapangan sekolah ke gerbang.

Di sana, lagi-lagi ia menjumpai Marisa. Namun, ia tak sendiri, melainkan bersama temannya di gazebo.

"Udah sore banget belum pada pulang?" Wily membuka kaca helm mendekat dengan motornya.

"Kita nunggu jemputan, Kak," jawab Syafa.

Wily mengangguk-angguk. "Yaudah saya tungguin sampe kalian dijemput."

Di organisasi osis, ia terbiasa menemani anggota perempuan ketika ada yang belum dijemput. Padahal, dulu Wily tak suka menunggui orang lain. Bisa karena terbiasa.

"Duh ... Jadi repotin, Kak. Tapi ngga papa kok, kita udah biasa nunggu sendiri di sekolah," kata Marisa mengingat tabiat Ahlan seperti apa.

"Ngga papa. Saya juga nyantai kok."

Sejenak Wily teringat akan pembahasan pengurus osis. "Eh, saya ada tawaran buat kalian. Mau ngisi acara Dies Natalis?"

Syafa langsung menyilangkan kedua tangan sambil menggeleng mutlak. "Saya ngga bisa perfomance depan panggung, Kak."

Gadis itu melirik temannya. "Tapi Marisa bisa nih! Marisa pinter nyanyi tau!"

Marisa menggeleng tak setuju. "Enggak weh!"

"Gue sering denger lo nyanyi pas nemenin lo ke toilet," kata Syafa.

"Ya itu kan di toilet! Beda lagi lah!"

Kemudian Syafa menarik bahu Marisa mendekat lantas berbisik apa Wily pun tak bisa mendengar. Tapi setelah itu, ekspresi Marisa nampak mempertimbangkan tawarannya.

"Jadi gimana?" ulang Wily.

"Mmm ... Kalau saya ngisi acara bareng sama orang luar sekolah boleh ngga sih, Kak?" tanya gadis itu dengan nada ragu.

"Boleh boleh aja, ngga papa. Tapi ya itu ... Kita ngga bisa kasih feed back karena kamu tampil dalam bagian kontribusi siswa."

Marisa tersenyum senang. "Iya ngga papa, Kak. Saya dapet kesempatan aja udah seneng banget!"

Wily tersenyum tipis. "Okey fix ya?"
Marisa dan mengangguk antuasias.

"So ...  kamu mau tampil apa?" tanyanya.

____

"Bang, bisa jemput Marisa nggak ya? Motorku mogok lagi. Niatnya mau aku bawa ke bengkel," ujar Ahlan melalui telepon genggamnya sambil berusaha menyalakan mesin motor dengan pedal.

"Hm."

Kemudian telepon diputus sepihak. Siapa lagi jika bukan ulah Zio? Ahlan hanya bisa menghembuskan napas. "Sabar ... Sabar ... "

Kini, Ahlan harus menyiapkan tenaga untuk mendorong motor entah berapa kilo meter sampai menjumpai bengkel. "Dasar motor butut!"

Usai mengunci rumah, Zio mengendarai motor meninggalkan halaman rumah. Sebenarnya, selama ia di Jakarta, ia terus memantau perkembangan resor-nya melalui ponsel. Tak mungkin Zio membiarkannya begitu saja.

Semakin mendekati sekolah Marisa, titik titik air hujan mulai turun ke bumi. Memasuki halaman sekolah, ia melihat Marisa tengah meringkuk dinaungi gazebo bersama seorang laki-laki yang tak lain dan tak bukan ialah Wily.

"Loh? Bang Ahlan kemana?" tanya Marisa setelah mengetahui siapa yang menjemput.

"Motornya mogok," ucapnya sambil membuka jok motor mengambil mantel.

Marisa berdecak. "Lagian punya motor jarang diservice!"

"Kalau gitu, gue pulang ya?" ucap Wily menyadarkan Marisa.

"Eh? Iya, Kak. Makasih banget udah ditungguin." Gadis itu baru menemukan seorang teman seperti Wily. Mau berkorban waktu.

"Sama-sama." Wily menatap pada Zio, "Saya duluan, Bang."

Zio mengangguk. "Terimakasih dan hati-hati."

Usai melihat Wily menerjang hujan, kini giliran mereka yang harus pulang. Zio merapatkan bibir sejenak. "Nih pakai!"

Marisa menerimanya. "Terus Bang Zio mana?"

"Kamu aja yang pakai," suruhnya.

"Jangan, Kak. Lagian ini mantel model kelelawar, kok. Bisa dipake barengan. Aku bagian buntutnya hehe," kekehnya.

Alhasil Zio menuruti keinginan Marisa. Ia naik lebih dulu disusul si bungsu dengan berlindung dari balik mantel yang tersampir cukup panjang ke belakang.

"Udah, Bang," ujar Marisa terdengar samar karena dihantam oleh air hujan.

Selang sepersekian detik, Marisa merasakan air hujan menjatuhi tubuhnya dari balik mantel.

Karena merasa dingin, dengan mudahnya ia memeluk punggung Zio dan menyandarkan kepalanya. Membuat sang empu sedikit terkejut.

Marisa tersenyum gembira. "Makasih ya hujan, karena kamu, aku punya alasan buat meluk abang Zio yang dinginnya mirip olaf."

High Five (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang