Enam belas

122 10 0
                                    

Empat bersaudara itu berjalan melewati lorong koridor rumah sakit yang cukup sepi. Maklum, mereka datang malam-malam. Tadi pun sempat di beritahu satpam bahwa jam jenguk hanya tersisa lima belas menit.

Netra Marisa menangkap gerakan orang setengah berlari. "Itu kak Nath!"

"Kenapa lari gitu ya?" gumamnya.

"Mungkin terjadi sesuatu sama temennya," ujar Zane membuat wajah mereka semua tegang.

Belum ada dua detik, mereka turut mempercepat langkah mengikuti Nathan bersama seorang dokter di sampingnya. Sampai tibalah mereka di depan ruang intensif Hanin.

Zane, Zio, Ahlan dan Marisa berjejer menatap kondisi di dalam ruangan melalui kaca transparan. Nampak Nathan hanya berdiri di sudut ruangan membiarkan dokter memeriksa.

Namun, sepertinya ini tidak seperti yang dipikirkan.

Melihat senyum Nathan artinya adalah kabar baik bukan?

Dokter Nada mengecek denyut jantung Hanin melalui stetoskop. Ia tersenyum ketika Hanin sepenuhnya membuka kelopak mata.

"Syukurlah, kamu sudah sadar."

Hanin merasakan pusing di kepalanya. Namun, ketika manik matanya tak sengaja bergulir ke arah lain, bibirnya memanggil nama seseorang.

"Nathan?"

Pria itu tersenyum sambil melambaikan tangan kecil. "Hai!"

Dokter Nada terkekeh. "Dia yang sedari tadi mendampingi kamu di sini."

Hanin merasa tak percaya bahwa rekan kerjanya itu datang kemari. Dari mana Nathan tahu tentang keberadaannya?

Wanita itu berkata, "Besok pagi, kamu bisa dipindahkan ke ruang rawat inap. Untuk sekarang istirahatlah dulu. Saya permisi."

Dokter yang semula membelakangi pintu ruangan pun berbalik badan terkejut memegangi dada. "Ya Tuhan!"

Bagaimana tidak? Empat wajah asing bertengger dari balik kaca di waktu malam seperti ini.

Hal tersebut sontak menginterupsi Hanin maupun Nathan. Pria itu menaikkan kedua alisnya membaca suasana kemudian tertawa kecil.

"Maaf ngagetin, Dok. Mereka semua adik saya," katanya.

Dokter Nada hanya mengangguk-angguk masih dengan sisa-sisa ekspresi terkejut. "Ada-ada aja tingkah mereka," gumamnya.

Wanita itu pun teringat. "Oh iya, karena Hanin belum di pindah ke ruang rawat inap, penjenguk yang boleh masuk maksimal hanya dua. Lagipula, dia baru siuman. Harus istirahat."

Nathan mengangguk patuh. "Iya, Dokter. Terimakasih."

Marisa yang berada di dekat pintu pun melempar senyum kepada Nada yang baru saja melewatinya. Mau tidak mau Nada harus membalas.

Si sulung ikut keluar untuk menemui adik-adiknya. Ia menerima parcel dari Ahlan. "Makasih buat buah tangannya."

"Kak, kita boleh masuk?" tanya Marisa.

"Boleh, tapi maksimal cuma dua orang."

Zane menatap ke arah brankar sekilas. "Kita ngga usah masuk. Besok ke sini lagi. Kasian dia baru sadar harus diajak ngobrol."

"Okey ... Terus kakak mau tetep di sini atau ikut pulang?" Marisa mengangguk setuju dengan ucapan Zane.

"Kayaknya tetep di sini. Minimal harus ada satu orang yang nungguin. Takut Hanin butuh sesuatu tapi ngga ada orang di sampingnya." Keempat lainnya pun mengerti.

Lantas, Zane mewakili semuanya berpamitan pulang kepada si sulung.

Lagi-lagi, Ahlan menggoda saudara tertuanya. Tapi kali ini dengan bisikan, "Jangan macem-macem loh sama kak Hanin! Calon kakak ipar nih!"

Nathan mendelik. "Kamu kira Kakak se-bejat itu?"

Ahlan mengedik. "We are just human."

Nathan menganga tercengang melihat mereka semakin menjauh. Dulu waktu Ahlan di kandungan, bunda makan apa sih? Sampe wujud anaknya begini?

Ia membawa parcel buah memasuki ruang intensif. Hanin membuka kelopak matanya kembali. "Kamu ngapain di sini? Kenapa ngga ikut pulang?"

"Jadi, saya diusir nih?" Pria itu meletakkan parcel di atas nakas.

Masih dengan suara lemas, ia menyahut. "Iya."

Senyuman pria itu menjadi kecut. "Saya di sini sebagai sukarelawan yang membantu sesama manusia. Memang kenapa? Salah ya?"

"Orang sakit itu nyusah—"

Sebelum Hanin menyelesaikan tutur katanya, Nathan lebih dulu menempelkan jari telunjuk di depan bibir sang empu. "Jangan bicara lagi. Sekarang waktunya istirahat."

Hanin membasahi bibirnya yang kering. "Terus kamu mau tidur di mana?"

Nathan menoleh kanan-kiri tapi tak menjumpai apa-apa selain kursi tunggu dan jaket yang tersampir. "Saya tidur di lantai pakai alas jaket."

"Tapi kan—"

"Ternyata kamu cerewet juga ya?" potong pria itu membuat Hanin terdiam lagi.

Nathan membentangkan jaket ke atas lantai. Kemudian, merebahkan dirinya berbantal kedua tangan sendiri. "Santai aja. Laki-laki itu harus kreatif."

"Apa hubungannya?" gumam Hanin.

Tanpa sadar keduanya tak memejamkan mata. Tak dipungkiri lantai ruangan ber AC ini bagaikan balok es. Tapi Nathan masih bisa mengendalikannya.

"Kenapa belum tidur?" tanya Nathan melihat pergerakan jemari gadis itu.

"Ngga bisa."

Seketika Nathan teringat akan beberapa waktu yang lalu. Alasan mengapa Hanin berada di tempat ini. Namun, ia juga tak mau buru-buru.

Nathan ingin menjadi orang yang dipercaya  Hanin dengan sendirinya.

"Bisa ngga bisa pun harus tidur," ucap Nathan mencoba memejamkan mata.

Diam-diam Hanin menolehkan kepalanya. Memandang Nathan yang meringkuk kedinginan. Ia jadi merasa bersalah.

Lagi-lagi ... Ia menjadi beban orang lain.

Tangan yang tidak berselang infus meraba perut bagian kanannya. Hanin mengerutkan kening menahan rasa nyeri meski hanya sekedar sentuhan.

Hanin memandang lampu langit-langit ruangan. Dia selalu berbicara pada hatinya,

'Gue ngga boleh lemah.'

High Five (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang