dua puluh delapan

145 10 3
                                    

Nathan duduk bersandar pada sofa sambil menonton televisi. Meski begitu, pikirannya justru melayang-layang ke arah pembicaraannya dengan Marisa semalam.

Sebagai anggota keluarga tertua, ia tak bisa membiarkan ketidak nyamanan hadir di antara mereka. Ngomong-ngomong, sedari tadi batang hidung Zio belum nampak.

"Gue harus omongin masalah ini secepatnya sama Zio," batin Nathan berbicara lantas beranjak dari sofa menaiki anak tangga.

Begitu sampai di kamar temaram itu, Nathan tak menemukan pemiliknya. Ranjang Zio juga nampak rapi.

"Dia kemana?"

Menengok kamar Marisa yang ditempati Pattricia pun begitu. Kosong.

Manik mata cokelat gelap nya tertuju pada satu objek. Sebuah tangga menuju atap terdapat cahaya ke-orenan akibat pancaran mentari sore yang menandakan pintu rooftop sedikit terbuka. Artinya ... Ada orang di sana.

Nathan berjalan menaiki anak tangga tersebut lantas membuka pintu perlahan. Dari sini, ia samar-samar mendengar percakapan.

"Urusan kamu di Jakarta udah selesai. Ayo kita pulang ke Bali, Zio. Terlalu lama di sini ngga baik untuk kesehatan mental kamu."

Kemudian, terdengar suara Zio menyahut dengan nada lelah. "Itu sama aja melarikan diri, kan?"

"Inget perkataan dokter, pergi sebentar bukan berarti melarikan diri. Kamu cuma perlu kesiapan untuk menghadapi semuanya setelah sembuh secara sempurna."

Suara Zio sedikit bergetar. "Saya ... Saya takut semua orang tau rahasia ini. Pasti mereka ngga akan pernah maafin saya."

Nathan segera berjalan mendekat. "Rahasia apa?"

Pattrica dan Zio sontak mematung. Pria itu berguman lirih. "Kak Nath ... "

Nathan seolah tak peduli dengan ekspresi mereka. Ia sudah dibuat bingung berkali-kali sampai semalam pun sulit tidur. "Rahasia apa yang kakak ngga tau?"

Keterdiaman mereka menyulut emosi Nathan. "Jawab, Zio! Kamu punya mulut kan?"

Pattricia meneguk ludahnya susah payah. Ia maju selangkah. "Biar aku jelasin, Kak."

Zio menoleh pada gadis itu dengan tatapan pasrah. Mungkin, inilah hari terakhirnya mampu berdiri di hadapan si sulung sebelum wajahnya hancur. Nyatanya dia hanya seorang pengecut.

"Zio ... Dia ... Sakit, Kak."

Nathan mengerjap khawatir. "Sakit apa? Stadium berapa?"

Pattricia menggeleng lemah. "Bukan sakit fisik."

"Tolong kalian bicara yang jelas langsung ke intinya. Jujur kakak bingung sama ucapan kalian yang terlalu muter-muter. Sebenarnya ada apa, sih?" Nathan berusaha bersabar.

Pattricia menatap Zio sejenak. Hatinya ikut tergores melihat pria itu tak berdaya. "Zio mengidap kelainan sister complex."

"Apa?!"

Jantung Nathan bagai dihantam oleh jutaan beton. Netranya membelalak bergulir menatap Zio tak percaya.

Tanpa diduga-duga oleh Pattricia, Nathan bergerak maju.

BUGH!

Si sulung meninju wajah Zio tanpa ampun.

Matanya yang merah menatap nyalang pada adiknya. Nathan mengguncang tubuh Zio kencang. "DARI SEKIAN BANYAKNYA PEREMPUAN DI DUNIA INI, KENAPA HARUS MARISA?! OTAK KAMU DIMANA?!"

BUGH!

Tubuh Zio terpelanting ke belakang karena dia tak memberi balasan apa-apa. Membiarkan Nathan melakukan semua itu padanya. Melampiaskan amarahnya.

Nathan mencengkram pakaian adiknya. "Asal kamu tau ya, semalam Marisa cerita tentang semua sikap aneh kamu selama ini. Setelah terbongkar kayak gini, kakak jadi ngerasa gagal ngelindungin Marisa. Kakak ngerasa gagal jadi kepala keluarga!"

"Bang Zio!" teriak sosok gadis dari belakang yang tak lain dan tak bukan adalah Marisa.

Kabut amarah Nathan hilang sementara. Ia menjauhkan tangan dari tubuh Zio dan berjalan mundur

Gadis itu membantu Zio berdiri. Air matanya menetes. Hatinya pilu. Hatinya terluka melihat kakaknya berdarah-darah di sudut bibirnya.

"Kak Nath kenapa pukulin bang Zio? Kalian ada masalah apa?" Dia yang sedari tadi di kamar merasa ada suara gaduh di atap pun datang. Tak diduga, rupanya ia akan melihat saudaranya sendiri berkelahi.

"Kak Nath," panggil Marisa meminta jawaban.

Nathan mengalihkan wajah. Tidak sanggup menjelaskan kebenaran kotor yang baru saja diketahuinya. "Minta Zio jelasin semuanya."

Anak ketiga dari lima bersaudara itu merasa jantungnya diremat kuat. Tak sanggup memandang wajah polos Marisa yang menatapnya penuh harap.

"Maaf ... " satu kata keluar dari bibir Zio.

"Kenapa minta maaf, hm? Abang ada salah apa?" tanyanya lembut.

Zio menunduk dalam. Punggungnya bergetar. Marisa terpaku, ini pertama kalinya melihat sang kakak dua ratus pintu kulkas menangis.

"Maaf karena abang punya perasaan lebih dari seorang kakak laki-laki sama kamu."

Marisa terdiam seribu bahasa.

Apa dia baru saja mendengar fakta?

Atau ini hanya halusinasi belaka?

Jadi ini alasan dibalik tingkah dingin Zio padanya? Tak pernah mau banyak bicara agar dapat menghindarinya? Inikah maksud tatapan kecewa, sedih dan marah Zio? Tatapan yang ditujukan pada dirinya sendiri yang telah merusak pertalian darah.

Sang anak bungsu memandang dengan tatapan kecewa. "Tapi sejak kapan? Sejak kapan, Bang?"

Tak ada jawaban.

Marisa memukul dada Zio berulang kali. Matanya tak dapat membendung air bening lagi. "Abang tau? Aku selalu nungguin abang pulang ke Jakarta. Selalu cari perhatian sama bang Zio. Tau kenapa? Karena dari semua saudara, cuma bang Zio yang sulit aku pahamin."

Ahlan dan Zane yang semula panik menghampiri atap pun hanya diam memperhatikan mereka. Berusaha membaca apa yang telah terjadi.

"Bang Zio tuh mirip teka-teki yang harus aku pecahin. Tapi ternyata ... Ini jawabannya?" Marisa tak percaya.

Gadis itu menjatuhkan diri dan menelungkupkan wajah. Menangis sejadi-jadinya di antara lima orang yang mengelilinginya.

Marisa sangat kecewa.

Dulu, ia selalu bertanya-tanya, mengapa Zio selalu bersikap dingin padanya. Padahal secara tak langsung, Zio lah kakak yang paling ia sayangi, yang paling ia rindu bila mereka terpisah di antara dua pulau yang berbeda.

Zio merendahkan tubuhnya. Memegang kedua bahu sang adik. "Abang minta maaf. Abang janji, semua perasaan kotor itu akan selesai hari ini."

"Maaf ... "

Di bawah kubah jingga yang terbentang hingga ke segala penjuru dunia, ada satu takdir Tuhan yang melankolis terjadi di dalamnya.



High Five (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang