Empat Belas

145 10 0
                                    

Nathan berangkat kerja dengan senyuman merekah. Sepertinya dia ingin beradu cerah dengan matahari pagi.

Ya gimana ya ...

Sekarang Nathan sudah memiliki penyemangat. Walaupun notabenya hanya seorang crush. Tapi kalau kita melakukan suatu kegiatan bersama orang yang kita suka, bukankah semakin menyenangkan?

Bikin ringan aja gitu.

Jefdan yang telah sampai lebih dulu di ruang pegawai tertawa geli melihat temannya menjadi budak cinta.

Emang suka gitu kalau jadi penonton, bisanya cuma mengejek. Nggak tau di masa depan nanti ... Siapa yang menyangka bila Jefdan akan lebih alay daripada Nathan? Iya kan?

Nathan melempar wajah Jefdan dengan bola kertas namun berhasil menghindar. "Apa lo? Ngejek? Kayak ngga pernah jatuh cinta aja!"

"Astaga ... Santai, Bang ... "

Seperti biasa. Mereka mempersiapkan segala peralatan dan bahan masakan ke tempat yang disediakan. Hingga pada akhirnya, berkumpulah mereka untuk briefing.

Sayangnya, Nathan tidak fokus mendengarkan tutur kata manajer hari ini. Dia terlalu sibuk mencari pujaan hatinya, Hanin.

Sedari tadi berusaha melirik ke segala arah, namun tak kunjung pula ia berjumpa. Jad, hari ini Hanin tidak berangkat kerja?

Sekumpulan karyawan itu mulai berpencar ke tugas masing-masing. Sebelum Nathan ke dapur, ia menghentikan langkah seseorang yang merupakan waiters.

"Permisi, maaf ganggu. Mau nanya, Hanin hari ini ngga masuk kerja kenapa ya?"

Sang empu menggelengkan kepala. "Saya juga kurang tau, Kak. Hanin ngga ada kabar hari ini."

Nathan menghela napas khawatir. "Tapi kamu tau alamat rumahnya?"

"Kita para waiters ngga ada yang tau alamat rumah Hanin. Tapi kalau nomor ponselnya, saya punya." Pria itu mengangguk cepat.

"Iya nomor teleponnya aja juga ngga papa," katanya.

Mereka berbagi informasi. Nathan lantas mengucap terimakasih padanya. Dipikir-pikir, dia juga baru tau kontak telepon Hanin. Dan semoga dia dalam keadaan baik-baik saja.

Pria itu berjalan menuju ruang khusus pegawai dimana terdapat deretan loker-loker bernomor. Ia pun meletakkan ponsel ke dalam tas sebelum fokus pada pekerjaan.

Selama memasak pun Nathan nampak lesu. Tetapi bukan berarti dia mengabaikan kualitas produknya.

Hanya saja, ia kepikiran.

Sebenarnya, usai melihat luka di tangan gadis itu, Nathan memiliki banyak teori yang bercabang di kepalanya. Berprasangka bahwa Hanin sering melakukan self injury sebagai bentuk pelampiasan masalah yang tengah dihadapi.

Sekarang sedang marak kasus begitu kan?  Apalagi Hanin tipe orang yang tertutup dan kurang berbaur dengan sekitar. Bagaimana Nathan tidak khawatir?

Ketika istirahat makan siang, Nathan duduk di bawah pohon rindang seperti biasa. Menekuk kedua lutut dengan kedua tangan menggenggam ponsel.

"Telfon ngga ya?" gumamnya.

Pasti nomor teleponnya akan asing di layar ponsel Hanin. Dan dirinya ragu Hanin akan menjawab panggilannya.

"Argh! Tinggal telfon apa susahnya sih, Nath?" Dia pun langsung menekan simbol panggilan di ujung kanan atas.

Sesuatu dugaan, Hanin sama sekali tak merespon. Telfonnya dianggurin. Apa dia ilfeel dengan Nathan karena terlalu nge gas? Bisa jadi.

"Sekali lagi deh!" ucapnya pada diri sendiri untuk memanggil Hanin yang kedua kalinya.

Permintaan panggilan Nathan tersambung kepada tujuan. Ponsel Hanin berdering di atas nakas.

Hanya saja ... Hanin tengah tertidur di atas ranjang.

Ranjang rumah sakit.

_____

Matahari telah tenggelam ke peraduannya satu jam yang lalu. Sebuah pintu ruang intensif dibuka dari arah luar oleh seorang dokter bersama perawat di belakangnya.

"Nama pasien Hanindya Karissa. Dia datang dengan pendarahan akibat luka tusuk di area perut bagian kanan," tutur perawat menjelaskan rekam medis yang dibawanya.

Perawat terus menjelaskan secara detail mengenai hal-hal medis yang dilakukan kepada Hanin. Dari balik masker, dokter itu mengangguk-angguk mengerti.

"Apa ada anggota keluarganya yang datang menjenguk?" tanya wanita tersebut.

Sang perawat menggeleng. "Hingga saat ini belum ada, Dokter."

"Lalu siapa yang mengantar pasien ke rumah sakit?"

"Warga setempat."

Dokter itu menghela napas prihatin. Netranya pun tak sengaja jatuh pada sebuah objek. Luka sayat di telapak tangan. Luka yang cukup dalam melihat bagaimana hasil penyembuhannya.

Sedetik kemudian, sebuah dering telepon menggema di atas nakas. Sontak kedua perempuan yang berdiri di samping brankar pun menoleh.

Sang dokter meraih ponsel tersebut. "Nomor asing," gumamnya.

Meski begitu, dokter tetap menerima panggilan dan menempelkan ponsel ke telinganya. Tak lama, suara bariton terdengar.

"Halo? Ini saya Nathan. Eh benar kan ya ini nomor Hanin?"

Dokter menyahut. "Benar."

Mendengar suara yang berbeda dari biasanya, Nathan mengernyit aneh. "Maaf, tapi sepertinya yang menjawab saya sekarang adalah orang lain?"

"Iya, saya Dokter Nada. Pasien Hanin saat ini sedang dirawat di rumah sakit Abiyasa. Bila memang Anda adalah anggota keluarga ataupun rekan Hanin, silahkan datang sebagai wali pasien."

Nathan yang tengah duduk santai di luar dapur pun sontak berdiri. Terkejut mendengar berita kurang menyenangkan itu.

Ngga ada kabar, tiba-tiba di rumah sakit.

"Se-sekarang gimana kondisi Hanin, Dokter?"

Dokter menatap Hanin sejenak. "Masih belum sadar. Tadi pagi dia baru saja melakukan operasi untuk menghentikan pendarahan akibat luka tusuk di perutnya."

Nathan terpaku di tempat. Dia sangat syok. "Luka tusuk di perut?" beo nya.

"Kami kurang tahu bagaimana kejadian yang menimpa Hanin. Dia hanya tiba-tiba datang bersama warga setempat dalam kondisi tidak sadarkan diri."

Pria itu bernapas tak terkendali. "Baik, Dokter. Terimakasih atas informasinya. Saya pasti akan datang ke rumah sakit."

Sambungan telepon pun terputus.

Nathan meremat ponselnya tanpa sadar. Meskipun diombang-ambing oleh keadaan, perasaannya justru semakin kuat.

Dia ingin melindungi Hanin-nya.

High Five (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang