Dua puluh empat

116 11 0
                                    

"Three point!"

Sorakan supporter yang duduk di tepi lapangan basket menggema, termasuk Marisa dan Syafa. Hari ini, kelas Wily ada jadwal pertandingan.

Mereka berdua sengaja ingin menonton tetapi tak punya nyali satu barisan dengan kakak kelas. Alhasil menyendiri, namun kehebohannya tetap bisa seimbang.

Wily bertos ria bersama rekan satu tim nya. Tertawa bahagia karena score yang diraih begitu telak. Ini pasti tim dokumentasi lagi senyum-senyum berasa fotoin idol manggung.

Marisa menikmati es krim di tangannya. Semakin siang matahari semakin terik, makanya mereka berdua sudah siap potongan kardus sebagai naungan kepala.

Babak dua tersisa lima menit. Kondisi lapangan semakin memanas karena tim lawan merasa kesal tak pernah berhasil shoot satupun. Tim sorak-sorak kelas juga saling adu.

Priiiittt

"WOOOOOO!!"

Rekan tim Wily dengan jersey bertuliskan Mahatma itu melakukan selebrasi berlarian di lapangan sambil mengibarkan spanduk kelas dengan bangganya.

Wily hanya geleng-geleng kepala sambil meminum air. Syafa memandang bulir-bulir keringat yang menetes dari para cogan dengan mata tak berkedip.

Marisa tersenyum ramah sambil melambaikan tangan kecil ketika obsidiannya tak sengaja bertemu pandang dengan si ketua osis. Wily membalas sama dengannya.

Sudah waktunya bergantian tempat agar kelas lain dapat menempati lapangan basket dengan leluasa. Wily berjalan beriringan dengan kedua gadis satu tingkat lebih rendah.

"Kamu udah siap tampil nanti sore?"

"Udah dong! Tiap hari latihan."

Wily berkata, "Eh nanti kalau kamu sama abang-abang mu itu udah sampai sekolah, kontak saya ya? Biar saya koordinasikan sama tim humas buat ngarahin kalian ke ruang transit."

"Pake transit segala , Kak?" Marisa merasa mereka bukanlah tamu spesial.

"Biar panitia tau kesiapan pesertanya," jawab Wily masuk akal.

Di penghujung koridor mereka bertiga harus berpisah. Wily juga perlu mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. "Syafa, Marisa, saya balik kelas dulu ya. See you di open gate!"

"Iya, Kak! Jumpa lagi!" sahut Syafa.

Marisa menoleh ke arah Syafa. "Sekarang temenin gue ke butik yuk?"

Sang empu mendelik. "Kenapa ngga dari kemaren? Mepet banget! Ogah gue!"

"Yang tampil juga gue, kenapa lo yang mikir? Udah tinggal nurut aja. Gue butuh saran," putus Marisa tak ingin diganggu gugat.

"Ye," jawab Syafa seadanya bernada dongkol.

____

"Marisa, udah selesai belum?" teriak Ahlan dari lantai satu.

"Sebentar lagi!"

Para pria telah bersiap dengan pakaian terbaik mereka masing-masing. Warnanya cukup beragam, kalem dan nampak adem dilihat.

"Cewe kalau dandan lama banget," ujar Ahlan geleng-geleng kepala.

Pattricia sedari tadi telah bergabung bersama yang lainnya. Ia diajak oleh Zane untuk ikut. Lagipula ini adalah rumah orang, gadis itu merasa sangat aneh bila ditinggal sendiri.

Marisa menjepit aksesoris rambut yang hiasi oleh tiruan kristal-kristal kecil sehingga akan sedikit berkilau bila terkena sinar mentari. Gadis itu tersenyum menatap pantulan diri sendiri.

"Cantik!" pujinya.

Begitu ia berjalan menuruni anak tangga, lima pasang mata tertuju padanya. Penampilan Marisa nampak feminim berbalut dress putih selutut lengan panjang dipadukan dengan kets berwarna senada. Surainya dibiarkan tergerai bergelombang.

She looks absolutely stunning today!

Sebagai sesama perempuan, Pattricia akui bahwa Marisa begitu cantik, bahkan dari sejak awal mereka bertemu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sebagai sesama perempuan, Pattricia akui bahwa Marisa begitu cantik, bahkan dari sejak awal mereka bertemu. Gadis itu tak perlu banyak polesan untuk menjadi memukau.

"Aduh-aduh! Kamu punya gebetan di sekolah ya? Paripurna banget," goda Ahlan.

"Emang kalian doang? Aku juga bisa kali!" Marisa tertekeh mengejek.

Mengejek diri sendiri.

Apaan tuh gebetan? Ada yang suka padanya saja, Marisa sudah sangat bersyukur.

Nathan tersenyum simpul. "Tapi memang bener, hari ini kamu kelihatan beda dari biasanya."

"Ihh Kak! Malu tau!" Marisa menutup kedua wajahnya yang merona. Jujur saja dia jarang sekali dipuji. Ini terlalu kupu-kupu untuknya.

Sontak mereka terkekeh melihat reaksi si adik paling kecil. Zane menyahut. "Ngga papa, menjadi cantik itu hak setiap perempuan."

Marisa berusaha menghalau rasa malu nya dengan sedikit merendahkan tubuh sambil memegang kedua sisi dressnya bak putri kerajaan. "Terimakasih, Pangeran Zane! Anda menyelamatkan saya yang terpojok."

Setelah bertingkah ala-ala princess itu, Marisa kembali normal. "Nanti kak Juwi sama kak Ratna nyusul kan?"

"Iya," jawab Ahlan.

Marisa menghela napas lesu. "Sayang banget kak Hanin ngga bisa ikut euphoria bareng kita."

"Dia masih dalam masa pemulihan. Kakak udah kasih saran ke Hanin buat nonton secara live di instagram SMA kamu," kata Nathan.

"Berarti ini udah siap semua kan? Kalau iya, kita langsung berangkat ke sekolah. Takut ada macet di jalan," titah Zane yang disetujui oleh lainnya.

Satu persatu berjalan keluar rumah dengan Marisa dan Zio yang terakhir. Gadis itu menoleh pada Zio di belakangnya. "Aku liat-liat, sejak kejadian mati listrik itu, abang jadi semakin pendiem. Kenapa? Ada sesuatu? Aku ada salah ngomong?"

Sang empu menatap lurus ke depan. "Ngga ada apa-apa. Ayo jalan! Ditunggu yang lain."

Bukannya patuh, Marisa malah menghentikan langkah membuat Zio mau tak mau menunduk memandang adik bungsunya.

"Bohong," katanya langsung.

Zio terdiam lantas menaikkan satu alisnya. "Kenapa bisa bilang begitu?"

"Mata abang yang bicara semuanya," jawab Marisa memandang lekat sambil menunjuk matanya sendiri.

Gadis itu membulatkan tekad mengumpulkan keberanian. "Jujur aja, dari awal kepulangan abang ke Jakarta, aku ngerasa aneh. Sebenarnya bang Zio ada masalah apa sama aku?"

Nafas Zio tercekat mendengarnya. Selama ini Marisa menyadari keganjilan itu?

Belum sempat Zio membuka suara, seseorang menginterupsi dari kejauhan.

"Kita ngga punya waktu lagi. Ayo cepat!"

Itu Pattricia.

Marisa menoleh tersadar. "Oh iya, Kak!" Gadis itu langsung berlari menghampiri mobil.

Pattricia memandang datar Zio yang masih terpaku di tempatnya. Perempuan Canada itu berjalan mendekat ke arahnya.

"Ini alasan kedatanganku, Zio. Mencegah semuanya terjadi sebelum berantakan. Karena kamu ... Benar-benar bodoh. Lebih dari yang aku kira."



High Five (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang