Lima belas

141 9 0
                                    

Langkah Nathan melambat ketika semakin dekat dengan brankar, tempat dimana Hanin terbaring lemah tak sadarkan diri. Benar-benar pulang dari restaurant, ja langsung kemari.

"Hanin ... " lirihnya.

Netranya tertuju pada perut gadis itu yang naik-turun secara teratur. Disitulah area luka tusuk yang dokter Nada maksud.

Nathan sedikit menunduk. "Maaf karena dateng terlambat."

Padahal pria itu sama sekali tak ada kaitannya dengan kehidupan Hanin di balik layar. Tapi hatinya terasa sakit melihat orang yang ia suka terbaring seperti ini.

Nathan duduk di sebuah kursi tunggu. Memandang wajah Hanin lamat-lamat.
"Sebenarnya seberat apa masalah yang sedang kamu hadapi? Sampe-sampe orang lain pun ngga ada yang tau."

Tak lama, ponsel dari balik sakunya berdering. Tertera nama Zane di sana. Ia pun segera menerimanya.

"Halo? Kak Nath masih lama sampenya? Kita semua udah kumpul di studio."

Dari sini, Nathan dapat mendengar betapa berisiknya perpaduan suara Ahlan dan Marisa beserta petikan gitar listrik yang sangat keras.

"Tolong diem sebentar. Abang lagi bicara sama kak Nath," seru Zane menginterupsi mereka yang kemudian langsung dipatuhi.

"Halo, Kak? Denger kan suaraku?"

Nathan mengangguk. "Iya denger."

Pria itu menghembuskan napas menatap langit-langit ruangan. "Malam ini, kakak ngga bisa dateng latihan."

Ia berbicara tanpa tahu bahwa adik-adiknya kini telah duduk melingkar dan meminta Zane untuk menekan simbol speaker.

"Kenapa?" tanya Zane.

"Temen kerja ada yang dirawat di rumah sakit."

Marisa dan Ahlan saling melempar pandang. "Temen perempuan yang dikejar-kejar kak Nath malam itu bukan sih?"

Ahlan menjentikkan jari. "Nah! Akhirnya kita punya pikiran yang sama."

Sedangkan Zane hanya mengernyit. Tak paham siapa yang tengah mereka bicarakan.

Nathan terkekeh mendengarnya. "Heh! Kalian semua lagi nguping ya? Ketauan kan!"

Sontak gadis itu menutup mulut keceplosan. Kemudian, ia mulai membuka suara secara terang-terangan. "Temen kak Nath sakit apa?"

"Kata dokter, dia dirawat di rumah sakit karena luka tusuk di perut. Udah di operasi juga. Sayangnya ... Dari awal kakak di sini, ngga ada satupun anggota keluarganya yang dateng."

Nathan menghela napas. "Entahlah, kakak juga ngga ngerti masalahnya. Tapi maaf banget ya, hari ini kakak libur latihan dulu."

"Iya, Kak. Ngga papa. Kita maklumin juga. Ngomong-ngomong ... Temen kakak dirawat di rumah sakit apa?" sahut Zane.

"Eh? Kalian mau ke sini? Trus latihannya gimana?" Nathan membenarkan posisi duduknya.

Ahlan menyahut. "Percuma kalau kita latihan tapi member nya ngga lengkap. Lagian masih ada hari lain, kok."

Marisa berkomentar. "Tumben bener."

"Salah mulu heran." lelaki itu melengos.

"Yaudah kalau gitu. Namanya Rumah Sakit Abiyasa di ruang intensif 2. Bilang aja sama perawat yang jaga," ujar pria itu memberi tahu.

"Oke, Kita tutup telfonnya, Kak."

Tut.

Nathan menatap kembali Hanin yang masih setia tertidur. Ia tersenyum tipis. "Saya harap kamu cepat sadar dan menceritakan semua keluh kesah yang kamu sembunyikan. Saya tunggu ya?"

____

Kali ini, mereka berempat bepergian dengan mobil Zane. Tentu saja sang pemilik yang mengendarai. Zio duduk di bangku depan bagian kiri di samping Zane. Sedangkan Ahlan dan Marisa ditempatkan di barisan kedua.

Lelaki termuda memajukan wajah ke celah dua kursi di depannya. "Kita bawa tangan kosong nih?"

"Orang di rumah sakit biasanya dibawain apa sih? Bouqet bunga?" ujar Marisa mengingat temannya pernah dibawakan bunga beserta kartu ucapan lekas sembuh.

Ahlan berdecih. "Kasian, lagi sakit-sakit malah disuruh makan bunga."

Zio menyahut. "Mungkin parcel buah?"

Zane mengangguk setuju. "Itu boleh. Bisa buat hidangan para tamunya juga."

"Siapa? Kita?" Ahlan menunjuk dirinya sendiri.

Semuanya hanya diam. Lebih tepatnya malas menjawab. Kurang kerjaan.

Mobil menepi di halaman parkir toko buah. Keempat orang tersebut keluar secara bersamaan dari pintu yang berbeda. Walaupun malam-malam begini, pembeli masih bersliweran di dalamnya.

Masuk-masuk udah disapa sama security. Zane langsung menghampiri pramuniaga dan menjelaskan keinginnya.

"Mas nya mau beli parcel yang sudah jadi atau mau pilih buah sendiri?" tawar pramuniaga.

"Pilih sendiri," putus Zane agar dapat memilih buah-buahan yang lebih segar.

Dia pun diberi sebuah keranjang tenteng untuk memilih buah secara mandiri. Karena pada dasarnya Ahlan dan Marisa suka jalan-jalan, mereka langsung berpencar hanya untuk melihat-lihat.

Seluruh buah di sini kualitasnya premium. Harganya jelas ikut-ikutan.

Zio meletakkan apel ke keranjang Zane. "Isinya mau apa aja?"

"Apel, pir, anggur, strawberry?" ucap Zane beruntun yang kemudian hanya diangguki oleh Zio dan pergi begitu saja. Padahal pria itu sedang meminta saran.

Gini nih kalau dua-duanya irit ngomong. Berasa hilang kontak.

Marisa tengah melihat-lihat rak buah lemon. Kuning segar yang memanjakan mata. Padahal cuma ngeliatin, tapi asem nya sampe mulut.

Dia menoleh melihat Zio tak jauh darinya. "Abang!"

"Kita beli lemon yuk? Buat di rumah." Marisa tersenyum sambil menunjuk-nunjuk buah di sampingnya.

"Jangan terlalu banyak," ucapnya memperingati.

"Okey!"

Ahlan tengah terpaku pada boneka beruang putih bersyal merah dengan ukuran kecil yang terpajanh di rak. Ia pun membatin. "Kalau gue beliin, Ratna pasti langsung klepek-klepek."

"Mba!" panggilnya pada pramuniaga yang lewat.

"Ada yang bisa saya bantu?"

"Ini harga boneka nya berapa?" tunjuknya.

"Ohh ... Kalau buat dapetin boneka, harus beli satu paket sama anggur hijau import, Mas."

"Ngga bisa pisah ya?" tanya nya lesu.

"Sebenarnya bisa, tapi harga boneka nya jadi lebih mahal."

Ahlan mengpresiasi dunia marketing dengan embel-embel beli ini gratis itu. Meraba saku sendiri yang rata seperti aspal membuatnya menghela napas.

"Yaudah deh, Mba. Ngga jadi. Maaf ya ..."

Pramuniaga tersenyum tipis. "Iya, Mas, ngga papa. Udah biasa."

Ahlan meringis canggung.

High Five (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang