Tujuh

204 11 0
                                    

"Hari Bapak ada rapat di kesiswaan membahas tentang kegiatan Dies Natalis. Silahkan kalian kerjakan tugas yang telah saya berikan, dikumpulkan saat pulang sekolah di meja saya."

Pak guru berkata lagi, "Kalau mau mengerjakan di perpustakaan tidak masalah. Yang terpenting jangan berisik dan jangan keluar kelas tanpa kepentingan."

Pria itu mewanti-wanti satu hal ini. "Dan ... Jangan ke kantin sebelum bel istirahat. Paham ya semuanya?"

"Paham, Pak!" kompak mereka.

Namanya juga siswa SMA kelas sebelas. Sedang di fase bandel-bandelnya. Selepas guru Biologi tersebut keluar ruangan, beberapa anak laki-laki pecinta voli keluar kelas usai mengganti seragam mereka menjadi jersey.

"Yakali jamkos nggak voli?" kata sosok laki-laki berambut ikal sambil memutar-mutar bola di tangannya.

Marisa mengguncang tubuh Syafa pelan. "Syaf, bangun!"

Sang empu mengeluh. "Kenapa sih? Ada apa?"

"Ke perpus yuk? Sekarang banyak novel baru tau! Sekalian ngerjain tugas," ajak Marisa.

"Lo aja sana. Gue ngantuk banget ... Males baca juga," ucap Syafa kembali menutup kelopak mata.

Marisa mendecak. "Ih elo mah! Beneran nih ngga mau? Wifi disana kenceng loh!"

Syafa membuka kelopak mata lagi. Kini ia menaruh atensi pada Marisa sepenuhnya meski matanya sedikit memerah. Kemudian, ia berdiri tiba-tiba. "Gas! Gue mau lanjutin series Hospital Playlist!"

Marisa terkekeh lantas membawa buku tugas Biologi beserta ponsel, sedangkan Syafa hanya membawa ponsel dan earphone agar dapat mendengar drama dengan leluasa.

Perpustakaan ada di lantai dua yang mengharuskan mereka menaiki anak tangga. Dari koridor perpus ini, mereka dapat melihat kelas lain yang tengah olahraga di lapangan basket dengan jelas.

Ceklek.

Betapa terkejutnya Syafa ketika perpus tengah dipenuhi kakak kelas yang sedang mengerjakan tugas didampingi guru Bahasa.

"Rame banget, Sa," katanya.

Marisa ikut mengintip sedikit. "Ngga papa, kita mojok di lantai aja deket rak paling ujung."

Akhirnya mereka berdua memilih masuk setelah mengisi daftar hadir pengunjung di dekat pintu. "Dari kelas mana, Mba?"

Marisa menoleh pada penjaga perpus. "Kelas 11 MIPA 4, Bu."

"Pelajarannya siapa?"

"Pak Hartanto. Tapi lagi jam kosong karena beliau lagi rapat di kesiswaan. Udah dikasih tugas juga kok, Bu. Ini kita mau ngerjain," ucap Syafa kemudian mengangkat buku Marisa ke udara.

Wanita itu mengangguk-angguk. "Yasudah ... Tapi jangan berisik ya?"

Setelah berhasil mendudukkan diri di dekat rak, Syafa menghela napas lega. "Fyuhh ... Untung Bu perpus ga tanya-tanya lagi."

Marisa menyapu tangan sembari memilih-milih buku fiksi yang akan ia baca. "Yang penting Pak Hartanto ngizinin kita ke sini."

Syafa menyambungkan koneksi earphone dari ponsel kemudian menyumpalnya di kedua lubang telinga. Dia bersandar pada dinding dan bersiap masuk ke dunia fiksi ala Syafa.

Marisa pun berhasil menemukan novel karya penulis terkenal bernama Tere Liye dengan judul buku Hujan. Jika dibaca dari blurb di belakang sampul, Marisa cukup penasaran.

Ia pun turut duduk di samping Syafa.

Mengabaikan tugas Biologi yang katanya akan dikerjakan.

Empat puluh lima menit pertama, bel pergantian pelajaran berbunyi. Sedangkan mata pelajaran Biologi masih tersisa empat puluh lima menit lagi. Marisa dan Syafa pun santai-santai saja.

Pintu perpustakaan dibuka dari luar. Menampilkan Wily yang membawa sepaket buku pelajaran bahasa Indonesia.

"Sudah selesai rapatnya?" tanya guru sang pengampu.

Wily mengangguk. "Sudah, Bu."

"Karena ini tugas individu, kamu bisa memilih salah satu buku fiksi kemudian dicatat unsur-unsur intrinsiknya sesuai format yang ada di buku mapel halaman 102."

"Baik, Bu. Terimakasih." Wily membungkuk sopan sebelum berlalu.

Lelaki itu meletakkan buku di atas meja bersama teman kelasnya, kemudian berjalan mendekati rak-rak buku. Keningnya mengerut ketika mendapati dua pasang kaki berlapis kaus kaki menyembul dari samping rak.

Wily mengedik tak peduli. Mungkin sedang jam kosong, pikirnya.

"Siang, Kak!" sapa Marisa ramah dari balik buku novel.

Wily berbalik badan lantas menunduk. "Eh? Marisa?"

"Lagi jam kos?" tanyanya.

Marisa mengangguk. "Pejarannya Pak Hartanto. Lagi rapat tadi. Kak Wily sendiri kok baru keliatan?"

Wily mengambil sebuah novel. "Tadi saya juga habis dari kesiswaan. Pengurus osis ikut rapat."

Marisa membulatkan bibir. Ia menatap Wily ketika lelaki itu berkata sambil tersenyum, "Saya sama kelas dulu ya? Ada tugas dari Bu Sarah."

"Oh iya, Kak. Silahkan."

Sepeninggal Wily, Syafa menyeletuk, "Apa tuh? Calon pacar?"

Marisa mendelik. "Bukannya lo dari tadi sibuk liat drama ya?"

Syafa menghela napas. "Lo kira gue sebuta dan setuli itu? Orang kalian ngomong di deket gue ya jelas gue denger."

"Padahal cuma nyapa, udah dikira calon pacar. Aneh lo, Syaf." Marisa geleng-geleng kepala.

Gadis itu melepas earphone nya. "Sesuai yang gue pelajari dari drama, laki-laki ngga akan banyak bicara kalau bukan sama perempuan yang dia suka. Mana lempar senyum manis lagi!"

"Siapa?"

"Ya Kak Wily lah!"

Marisa menatap aneh. "Lah? Bukannya cara dia bicara emang ramah kaya gitu?"

Syafa menggeleng. "Ih lo pasti nggak merhatiin dia ya? Kalau kak Wily ngomong sama temen tuh ya biasa aja ekspresinya. Paling senyum cuma buat guru. Sisanya hanya Tuhan dan Kak Wily yang tau."

"Busett! Berasa dapet siraman rohani," kekeh Marisa.

Setelah menyahut seperti itu, Syafa dengan gencar menceramahi Marisa.

"Mba-mba yang di pojok. Tolong jangan berisik ya!" keduanya sontak menyembulkan kepala sambil meringis.

"Iya, Bu. Maaf!"

Syafa kembali berbicara dengan nada berbisik sampai-sampai melupakan drama Korea yang berjalan sendiri tanpa paused.

High Five (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang