Malam ini, Hanin dibolehkan pulang. Sebenarnya sudah diperbolehkan sejak tadi pagi, namun Nathan kekeuh ingin mengantar gadis itu pulang.
Stamina Hanin telah pulih hanya tersisa perawatan luka jahitannya saja. Dia dilarang membawa barang-barang berat dan dilarang bekerja terlalu keras. Kemungkinan dia akan izin lagi untuk berangkat kerja ke restaurant.
Nathan masuk ruang rawat inap sembari mendorong kursi roda. Hanin memutar bola mata malas. "Nathan, saya bukan lumpuh."
Pria itu mengedik seolah tak peduli. "Kata Dokter jangan terlalu cape."
"Jalan dari sini ke lobi tuh sampe dua jam ya?" tanya Hanin retoris dijawab gelengan Nathan.
"Lima jam," asalnya.
Hanin menghela napas. Perasaan awal kenal dengan Nathan ngga gini-gini amat. Atau emang dasarnya pria itu tukang maksa? Oh iya, sewaktu luka sayatan di tangannya saja Nathan memaksa mengoleskan obat.
Gadis yang telah berganti pakaian biasa pun duduk di atas kursi roda. Nathan menggendong ransel miliknya yang berisi barang-barang Hanin. Sedikit sih karena Hanin tidak banyak bawa barang sisanya milik Nathan.
"Pasang sabuk pengaman, Kapten!" kata Nathan membuat Hanin mendengus geli. Apaan coba? Dia kira Hanin masih anak-anak?
Mereka melewati lorong koridor yang masih bersliweran akan keluarga pasien. "Malam ini terakhir kamu latihan?"
"Em!" Nathan mengangguk.
"Bawain lagu apa?"
Pria itu tersenyum menggoda. "Wah apa nih? Kepo ya?"
"Orang cuma tanya. Kalau ngga mau kasih tau juga ngga papa."
Nathan tersenyum simpul. "Clue nya adalah lagu yang bakal dibawain punya vibes anak muda banget."
Hanin geleng-geleng kepala. Clue yang terlalu general. Zaman sekarang banyak sekali lagu-lagu anak muda yang pasti tak jauh-jauh dari kisah asmara.
Kursi roda telah berputar hingga mendekati batas lantai terakhir. Nathan berkata, "Saya siapin mobilnya dulu. Masih di parkiran soalnya."
Gadis itu duduk anteng menunggu hingga mobil milik Nathan berhenti di depannya. Pikirannya melayang ke satu hal.
Ibunda Hanin setelah datang hari itu tak pernah berkunjung lagi. Apa yang sedang dilakukannya sekarang? Di rumah atau bepergian entah kemana? Bagaimana jika nanti Ibu dan Nathan saling bertemu?
"Hey! Melamun aja!" Nathan bersuara setelah menurunkan kaca mobil. Hanin mengerjapkan mata.
Hanin beranjak dari kursi dan membuka pintu mobil. Lagi-lagi kegiatannya diinterupsi oleh pria itu. "Saya bukan supir go car loh! Duduk depan!"
Mereka duduk saling bersebelahan lantas mobil pun melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan halaman rumah sakit.
Nathan mengutak atik dashboard agar Hanin tak terlalu terkena udara dingin Air Conditioner. "Saya boleh bicara tentang Ibu kamu?"
"Silahkan," kata Hanin meski sedikit terkejut.
"Maaf lancang, tetapi apa yang dilakukan ibu kamu dan rentenir itu udah termasuk tindakan kriminal bahkan melanggar Hak Asasi Manusia. Saya tanya, kamu mau tetap biarin aja?" Nathan melirik Hanin sekilas yang terdiam.
"Saya nggak bermaksud untuk merusak hubungan orang tua dengan anaknya. Tapi ini udah melanggar batas," lanjutnya.
Ucapan Nathan digantung oleh gadis itu sampai roda mobil berhenti putar dan berhenti tepat di depan rumah sederhana yang besarnya juga tak seberapa.
Mereka turun sedangkan Nathan mengambil ransel di bangku belakang. Ia pun meminjamkannya pada Hanin. Gadis itu menerimanya dan menggendong di belakang bahu.
Hanin mendongak menatap manik mata Nathan yang teduh. "Kamu ngga perlu ngelakuin apa-apa. Aku udah sangat berterimakasih banget dengan kehadiran kamu."
"Masalah ibu ... Biar aku sendiri yang ngurus. Kalau suatu saat nanti aku udah nyerah, aku bisa kan datang lagi ke kamu?" ucap Hanin pelan.
Nathan menyunggingkan senyum tulus seraya mengangguk. "Kapanpun itu, datang aja."
Hanin tersenyum tipis. "Makasih."
Alasan mengapa Hanin tetap ingin mempertahankan ibunya adalah tak ada lagi anggota keluarga yang ada disisinya selain wanita itu.
Lelah memang, tapi Hanin meyakini diri sendiri bahwa ia harus mampu.
Nathan berniat menunggu Hanin hingga perempuan itu benar-benar masuk ke dalam rumah. Namun, ketika baru beberapa langkah menjauh, suara Nathan memanggil namanya.
"Hanin."
"Iya?" Gadis itu menaikkan satu alisnya.
Nathan membasahi bibir yang terasa kering. "Kayanya ... saya udah berusaha berulang kali menekan bel hati kamu, apa masih belum terdengar?"
Hanin membisu.
Meskipun perasaannya terbuat dari batu, dia tidak bodoh.
Hanya saja ... Ia ragu.
Bukan meragukan Nathan, melainkan dirinya sendiri.
Hanin ragu tak bisa membalas perasaan pria itu dengan setara.
KAMU SEDANG MEMBACA
High Five (Selesai)
Fiksi RemajaAda sebuah keluarga dengan lima bersaudara dengan Marisa adalah anak bungsu dan satu-satunya perempuan di sana. Memiliki empat abang dengan kepribadian berbeda-beda menciptakan momen yang berharga bagi Marisa. Nathan dengan sikap abang-able yang s...