"Ahlan kemana sih? Masa sampe jam segini belum pulang?" dumel Nathan bersama tiga saudaranya yang telah berkumpul di garasi.
Mereka telah bersiap untuk latihan namun Ahlan membuat mereka menggerutu. Marisa berkomentar, "Bang Ahlan berangkat ke studio sendiri kali?"
"Yaudah kita langsung berangkat aja," putus Zane.
Nathan melempar kunci mobil dan dengan sigap ditangkap oleh Zio. "Kamu yang nyetir ya, kakak mau nyantai hehe."
Zio hanya manggut-manggut saja. Begitu mereka hendak masuk ke dalam mobil, sebuah deruman motor terdengar. Mereka semua menyipitkan mata.
"Itu ... Bang Ahlan sama siapa?"
"Yang pasti perempuan," sahut Nathan.
Ahlan menaikkan kaca helm sambil menyengir. "Hai guys! Hari ini aku datang ngga sendirian. Kenalin, dia pacarku."
Ratna tersenyum canggung. Ahlan benar-benar tak ahli dalam komunikasi. Bukan seperti ini yang Ratna maksud. Gadis itu berdesis pelan. "Turun dulu ngga sih? Ngga sopan tau!"
Ahlan pun menuruti. Mereka berdua menghampiri keempat anggota keluarganya.
"Wah ... Diem-diem kamu gercep juga, Lan," celetuk Nathan.
Ratna menjabat tangan mereka satu persatu. "Saya Ratna, salam kenal semuanya ... "
Ketika berjabat tangan dengan Zio, Ratna sedikit segan. Makanya ia hanya sekilas sambil tersenyum ramah.
Zane mengangguk-angguk. "Kalian ikut satu mobil aja sama kita."
"Kita naik motor, Bang. Biar nanti sekalian anter Ratna pulang ke rumahnya," tolak Ahlan yang disetujui pacarnya.
"Yaudah ayo kita berangkat," ajak Nathan.
Ratna kembali naik ke atas boncengan. Ahlan mengikuti mobil kakaknya dari belakang. "Wah abang-abang kamu ganteng semua, Yank. Aku pilih sambil merem aja ga bakal zonk!"
"Kok gitu?" Ahlan merengut.
"Kenapa? Insecure? Sama saudara sendiri juga!" Ratna sengaja membuat wajah Ahlan semakin tertekuk.
Zio menyetir dengan sangat tenang karena Marisa tidak bersanding bersama Ahlan. Kumatnya ilang kalau mereka terpisah. Nathan yang duduk di depan juga terlihat santai sentosa.
"Kok bisa sih Bang Ahlan punya pacar? Kak Ratna nerima dia dari segi apa ya?" tanya Marisa pada kakak-kakaknya.
"Belas kasihan," asal Zane.
Nathan tertawa terbahak. "Ih kalian pada jahat banget sama Ahlan. Senista itu kah?"
Marisa mengedik. "Ngikutin pepatah aja, sih. Apa yang kau tabur, itulah yang kau tuai."
Disaat-saat mereka tengah bersenda gurau menggibah Ahlan, suara dering telfon di dashboard menginterupsi Zio. Pria itu meraih benda pipih tersebut.
Ia mengerutkan alis membaca nama kontak yang tengah memanggilnya. Tak lama ia menggeser tombol hijau ke atas dan menerimanya.
"Halo?"
Sedetik kemudian, terdengar suara manja dari seberang.
"Ziooo! Aku udah sampai di bandara Soeta, nih! Kamu nggak mau jemput?"
Ciiitt!
Seluruh penumpang terbanting ke depan karena Zio yang mengerem mendadak. Nathan langsung menoleh. "Zio! Ada apa?"
"Itu suara siapa? Kamu lagi sama kakak-kakakmu ya?"
Marisa mengusap dahinya yang terbentur besi penyangga sandaran kepala kursi milik Zio. Ia meringis sakit. Bisa-bisa bekasnya jadi membiru nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
High Five (Selesai)
Teen FictionAda sebuah keluarga dengan lima bersaudara dengan Marisa adalah anak bungsu dan satu-satunya perempuan di sana. Memiliki empat abang dengan kepribadian berbeda-beda menciptakan momen yang berharga bagi Marisa. Nathan dengan sikap abang-able yang s...