Keempat saudara itu datang bersamaan dengan dua kendaraan yang berbeda. Zane yang tengah menunggu di depan lobi studio pun menurunkan kedua tangannya yang terlipat di depan dada.
"Ayo masuk," ajak Zio berjalan memimpin.
Dia berjalan menuju meja resepsionis. "Permisi, saya Zio yang sudah reservasi ruang studio 4."
Petugas kasir tersebut mengutak-atik layar komputer. "Atas nama Zio Aldebaran dengan grup band bernama 'Angka 5 Angka Cinta'?"
Sontak empat manusia dia belakangnya menahan tawa. Kuping Zio turut memerah malu. Sialan. Mereka malah mengejeknya di hadapan orang lain.
"Iya, benar," jawabnya.
"Ini pass card nya, Kak." Perempuan berseragam hitam itu memberikan sebuah kartu masuk ruangan.
Zio mengangguk. "Makasih."
Nathan tak tahan berkomentar. "Ngga ada nama lain yang bagus apa selain Angka 5 Angka Cinta?"
"Aku asal aja." Zio berusaha memalingkan wajah.
"Aku merasa berharga sih karena ide nama grup chat itu akhirnya kepakai juga. Thanks, Bang," sahut Ahlan sang pencetus utama.
Sampailah mereka di depan pintu nomor empat. Zio menempelkan pass card pada sensor knop pintu. Setelah terbuka, ia pun mencari saklar lampu kemudian ruangan berpijar terang.
"Woahh ... "
Ahlan terkagum-kagum bagaimana isi studio musik ini. Begitu lengkap mulai dari gitar listrik, gitar akustik, bass, drum, keyboard, pengeras suara, serta alat-alat lain yang menunjang latihan yang tentunya dari merk-merk terkenal.
"Aku keep gitar listrik!" seru Ahlan.
Ketika lelaki itu hendak berlari mendekati sekumpulan alat musik tersebut, tangan Nathan menghalanginya. "Eitss! Nanti dulu."
"Tunggu apa lagi, Kak? Bukannya makin cepet latihan makin bagus?" rengeknya tak sabaran.
"Siapa bilang kamu dapat posisi gitaris?"
Ahlan terbengong dahulu. Kemudian, dapat diperkirakan bagaimana reaksinya. "Loh ... Aku kan bisa main gitar, cocok dong?"
Nathan mengambil selangkah lebih maju dibanding adik-adiknya yang berdiri dalam satu saf. Ia bersikap layaknya komandan para prajurit.
"Kakak yang bakal bagi posisi kalian," ucapnya membuat Ahlan ketar-ketir.
Zio dan Zane sih santai-santai saja karena pada dasarnya mereka akan berlatih mulai dari nol. Sedangkan Marisa lebih santai karena hanya bermain suara.
Nathan menunjuk anak bunsu. "Untuk Marisa, of course Vokalis."
Jarinya bergeser pada Zane. "Kamu pegang drum."
Kemudian, beralih pada Zio. "Kamu sebagai bassis."
Nathan sengaja memelankan gerakannya menuju Ahlan. "Dan kamu ... Pemegang keyboard."
Itu artinya, Nathan yang akan menjadi gitaris. Sang empu sontak protes. "Kak! Jangan gini lah ... Aku pengen banget main gitar terus aku juga lebih nguasain. Ngga adil kalau aku di posisi keyboard."
"Justru lebih adil. Kita semua jadi latihan dari awal." Si sulung berucap santai.
Ahlan merengek. "Kak!"
Nathan menempelkan telunjuk di bibirnya sendiri. "Sstt! Udah nurut aja sama Kakak."
Zane, Zio dan Nathan lebih dulu berjalan ke arah alat musik masing-masing meninggalkan Ahlan dan Marisa yang masih stay di tempat.
Gadis itu memandang prihatin orang di sampingnya. "Kalau niat awal udah jelek emang suka gini Bang hasilnya ... "
Ahlan geleng-geleng kepala sambil menghela napas pasrah. "Aku punya dosa apa sih sama kalian? Perasaan kok kayak terdzolimi terus. Yah ... Derita orang ganteng ya kan?"
Marisa meringis ilfeel memandang Ahlan pergi melewatinya. "Ada ya orang begitu?"
Masing-masing dari mereka telah stand by dengan ponsel yang menampilkan tutorial kunci-kunci alat musik. Sedangkan Marisa bersandar pada sofa empuk di sudut ruangan.
Kerutan di dahi Zane nampak jelas memperhatikan cara bermain dari layar ponselnya. Ia berusaha memukul drum sesuai ketukan agar menghasilkan alunan ritmis yang nyaman di dengar.
Lebih-lebih Nathan. Dia nampak kesulitan berpindah posisi tangan dari satu tempat ke tempat lain pada batang gitar. Terakhir kali memegang gitar sewaktu pantas seni SMA.
Sepertinya ... Ahlan mulai menerima posisinya sebagai keyboardist dengan ikhlas. Ia terlihat mudah beradaptasi dengan alat musik yang baru dia gunakan. Mungkin karena sudah terbiasa berlatih bersama teman membuatnya tak terlalu awam.
Suara Marisa menginterupsi seisi ruangan. "Ngomong-ngomong kita mau bawain lagu apa?"
_____
Kelima saudara itu keluar dari lobi gedung studio musik. Helaan napas lelah terdengar samar dari bibir mereka. Sangat-sangat menguras energi untuk hari ini.
"Pengen nyerah tapi ngga tega sama Marisa," batin Nathan.
"Seminggu beneran cukup ngga sih?" batin Zane.
"Sabar-sabar, Ahlan ... Lo bisa lewatin semua ini dengan cepat," batin Ahlan.
"Les privat kayaknya ide yang bagus," batin Zio dibungkus dengan wajah tanpa ekspresi.
Marisa diam-diam melirik satu persatu wajah mereka. Bahunya menjadi lesu seraya membatin. "Mereka kayaknya tertekan banget. Apa gue batalin aja ya perfomancenya?"
Gadis itu berdehem. "Maaf ya, karena keegoisan aku, kalian jadi stress. Kalau keberatan ... Aku bisa kok bilang ke pengurus osis buat ba—"
Zane langsung menoleh. "Ngga sama sekali, Marisa. Justru dari sini, kita bisa belajar hal yang belum kita kuasai. Menurut abang, ini bagus."
Ahlan mengangguk setuju. "Nah! Betul itu! Walaupun abang dijadiin posisi keyboardist bukan berarti abang nyerah gitu aja."
Zio menimpali. "Percaya sama proses kita."
Marisa masih merasa bersalah. Semua ini akibat ulahnya. Kakak-kakaknya sudah sibuk, ditambah lagi dengan beban perfomance.
Nathan yang peka pun merangkul bahu si bungsu. "Udahlah jangan dipikirin .... Kita pasti bisa, kok. Emang kamu nggak mau jadi bintang SMA? Kesempatan ngga akan datang dua kali. Kita harus menghargai momen itu."
Saat sedang momen-momen sedih campur haru ini, si somplak Ahlan kembali menghancurkan suasana.
Perutnya berbunyi meminta jatah.
Ahlan menyengir. "Sorry guys ... Perut aku ngga bisa dikompromi."
Nathan tertawa geli. "Yaudah kita mau makan apa sekarang?"
"Oh iya, aku bawa pizza di mobil. Masih utuh juga," ujar Zane.
Sontak hal tersebut memancing keempat pasang mata tertuju padanya. Zane mengerjapkan kelopak mata merasa bingung dipandangi begitu. "Apa? Kenapa?"
Marisa mengerutkan dahi. "Sejak kapan Bang Zane suka pizza?"
"Hmm makin curiga nih!" — Ahlan.
Zane menghela napas. "Dikasih sama client. Ngga usah mikir aneh-aneh. Lagian jarang beli bukan berarti ngga suka."
"Iya deh iya percaya," sahut Nathan sambil tertawa.
Alhasil mereka semua duduk manis di mobil Zane hanya untuk memakan potongan pizza ukuran besar. Ahlan dan Marisa saling berebut untuk mendapat dua porsi.
"Ini abang laper banget sumpah! Ngalah sekali-kali ya?" Ahlan memohon.
"Tapi kan aku yang dapet duluan." Marisa tak mau kalah.
Nathan berdecak. "Ribet banget perasaan! Siniin pizzanya buat Kakak aja biar adil."
"Kak Nath!" kompak keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
High Five (Selesai)
Novela JuvenilAda sebuah keluarga dengan lima bersaudara dengan Marisa adalah anak bungsu dan satu-satunya perempuan di sana. Memiliki empat abang dengan kepribadian berbeda-beda menciptakan momen yang berharga bagi Marisa. Nathan dengan sikap abang-able yang s...