Hanin telah dipindahkan ke ruang rawat inap sejak tadi pagi. Nathan pun pulang pagi-pagi buta untuk siap-siap bekerja.
Gadis itu sendiri hingga kini jarum jam menunjuk pukul delapan malam. Mobilitasnya di ruangan ini dibantu oleh perawat melalui panggilan nirkabel sehingga memudahkan Hanin untuk tak banyak bergerak.
Tak lama lagi pasti Nathan akan kembali. Hanin merasa benar-benar merepotkan orang lain. Makanya, ia ingin cepat lekas sembuh.
Ceklek.
Suara pintu knop pintu terbuka membuat Hanin menoleh. Gadis itu mengeraskan rahang.
Bukan Nathan ataupun saudara-saudaranya.
"Ngapain Ibu dateng ke sini?"
Wanita yang dipanggil ibu itu tersenyum.
"Kamu ini aneh, jenguk anak sendiri masa ngga boleh?"Hanin terkekeh pilu. "Ibu mana yang rela ngejual anaknya sebagai ganti bayar hutang? Ngebiarin anaknya hampir mati di tangan orang lain? Nggak manusiawi!"
Ibu tak menyahut apa-apa. Hanya bergeming memandang putrinya bicara dengan setitik demi setitik air mata menetes membasahi bantal tidurnya.
"Aku cape, Bu. Setiap hari kerja pulang malam untuk bayar hutang yang ga ada habisnya entah untuk apa. Ibu ngerti ngga sih sama perasaan aku?" Hanin berusaha agar suaranya tidak goyah karena air mata telah terbendung di pelupuk.
Menjadi tulang punggung keluarga sejak usia muda membuat Hanin kehilangan masa-masa indah yang seharusnya ia dapatkan. Bahkan ijazah SMA pun belum memiliki.
Apalagi setelah kematian ayah membuat ekonomi semakin terpuruk. Hanin terpaksa putus sekolah hingga sekarang.
Beruntung sekali pemilik restaurant mau berbelas kasih untuk menampungnya sebagai pekerja.
"Ibu ngga ada pilihan lain," katanya dengan intonasi datar. Hati Hanin terasa diremat kuat-kuat. Sakit sekali mendengarnya.
"Tolong ibu pergi dari sini. Aku mau sendiri," ucap Hanin.
"Ibu pulang," pamitnya lantas pergi begitu saja. Meninggalkan putri tunggalnya terlara-lara. Apakah perasaan ibu telah mati total?
Di saat yang bersamaan, Nathan datang dari arah koridor. Wajahnya mengerut ketika seorang wanita baru saja keluar dari ruangan Hanin.
Ceklek.
"Hanin, Tadi itu siapa?"
Buru-buru gadis itu menyeka setitik air mata. Sayangnya hal tersebut tertangkap jelas oleh Nathan.
"Hey ... Kamu nangis?" Nathan mendekat bersuara khawatir.
Hanin bersikap seolah biasa saja. "Hah? Siapa? Ngaco kamu! Buat apa saya nangis?"
Nathan terdiam sebentar. "Cerita keluh kesah sama temen itu ngga ada salahnya, kok, Nin. Saya ngga akan berkomentar apa-apa. Cukup menjadi telinga yang mendengar."
"Tapi kalau kamu ngga mau juga ngga apa-apa. Saya nggak maksa," katanya lembut.
"Nathan," panggilnya tiba-tiba.
"Kenapa? Butuh sesuatu?" pria itu langsung sigap.
"Bantuin saya berdiri."
"Eh? Mau kemana? Ke toilet?" Hanin menggeleng.
"Saya cape tiduran terus," katanya.
Nathan mengangguk saja. Ia meraih kedua bahu Hanin dari belakang dan membantunya menapakkan kaki di atas lantai secara perlahan.
Setelah Hanin berhasil berdiri. Nathan menghela napas. "Jujur saya takut kamu nyeri di bekas lukanya karena banyak aktivi—"
Nathan membeku ketika tubuhnya ditarik pelan oleh Hanin ke dalam sebuah dekapan. Ia sangat kaget tentu saja. Sejak kapan Hanin mau physical touch dengan orang lain?
KAMU SEDANG MEMBACA
High Five (Selesai)
Novela JuvenilAda sebuah keluarga dengan lima bersaudara dengan Marisa adalah anak bungsu dan satu-satunya perempuan di sana. Memiliki empat abang dengan kepribadian berbeda-beda menciptakan momen yang berharga bagi Marisa. Nathan dengan sikap abang-able yang s...