Dua puluh sembilan

139 12 0
                                    

Ahlan bersandar pada pintu kamar si bungsu dengan Zane di sampingnya. Wajah lelaki itu nampak lelah. Tatapannya hampa melihat sang adik tertidur dengan wajah sembab.

Setelah kejadian di atap tadi sore, Marisa jatuh pingsan. Mungkin karena terlalu syok.

Zio yang berada di hadapannya pun langsung mengangkat tubuh Marisa dan membawanya untuk dibaringkan di kamar. Awalnya Nathan lah yang hendak mengambil alih Marisa, takut-takut Zio berbuat sesuatu di luar pemikirannya.

Namun, ketika melihat wajah serius nan khawatir Zio, ia rasa perlu mengurungkannya sejenak.

"Aku ngga habis pikir sama bang Zio. Bisa-bisanya dia terjerumus sama penyakit terkutuk itu," ujar Ahlan.

"Semua pasti ada penyebabnya. Cuma Zio ngga mau kasih tau kenapa," jawab Zane.

Kedua pria itu pun berlalu dari ambang pintu kamar Marisa. Membiarkan sang empu menikmati tidurnya tanpa gangguan.

Matahari telah tenggelam ke dalam lautan bila dari sudut pandang pantai. Marisa melenguh pusing yang tiba-tiba mendera kepala. Ia membuka kelopak mata perlahan.

Tangannya meraba kain basah yang menempel di keningnya serta selimut tebal yang menutupi dirinya. Marisa sedikit mengingat kejadian tadi. Ia sempat telah sadar dari pingsannya namun dengan kondisi tubuh lemah.

Samar-samar Marisa mengingat bagaimana Zio dengan telaten mengurusnya yang mengalami demam. Rutin mengganti kain basah agar suhu tubuhnya turun.

Meski dengan wajah babak belur, Zio lebih memilih melupakan rasa sakitnya.

Gadis itu mengedarkan pandangan. Tak ada secuil pun barang milik Pattricia di sini. Ia lantas menyingkap selimut kemudian beranjak dari ranjang menghampiri kamar Zio.

Nihil.

Semua barang-barangnya pun berkurang drastis. Persis ketika Zio tak ada di rumah.

Tunggu sebentar.

Jangan bilang mereka-

"Marisa, kamu udah mendingan?" Zane datang menempelkan telapak tangan di kening adiknya.

"Masih hangat," gumamnya.

Marisa tak fokus dengan apa yang diucapkan Zane. Pikirannya hanya tertuju pada dua orang itu. "Dimana kak Patt sama bang Zio?"

"Kamu harus minum obat dan istirahat lagi. Tunggu di sini biar abang ambilin." Zane tak menjawab pertanyaannya.

"Abang, jawab aku. Mereka berdua dimana?"

Zane terdiam sejenak. Ia menghembuskan napas panjang. "Pattricia sama Zio udah di bandara sekarang, diantar sama kak Nath. Mereka mau terbang ke Bali."

Marisa membelalak. "Mereka pulang ngga bilang-bilang?"

"Udah ya, Sa. Kamu ngga usah mikirin mereka lagi. Kak Nath pasti udah bicara empat mata sama Zio."

Gadis itu menggeleng. "Bang, anterin aku ke bandara ya?"

"Enggak bisa. Kak Nath udah kasih pesan ke abang buat suruh kamu istirahat."

Marisa menatap Zane penuh harap. "Kali ini aja, Bang. Aku mohon anterin aku ke bandara. Sebentar aja, kok. Aku harus selesein semuanya hari ini."

"Please ... "

Bila Zane ada di posisi Marisa, ia pun akan melakukan hal yang sama. Hidup dalam ambang tak jelas itu sulit. Apalagi ini menyangkut keluarga. Tak mungkin juga antara Zio dan Marisa terus memiliki jarak.

"Yaudah, siap-siap sekarang."

Marisa tersenyum tulus. "Makasih, Bang."

Gadis itu kembali ke kamarnya untuk membenahkan diri yang cukup berantakan. Ia mengerutkan alis ketika melihat rentetan pesan suara dari nomor tak dikenal.

High Five (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang