"APA? BAND?!"
Malam ini, lima bersaudara itu tengah berkumpul di ruang keluarga. Nathan dan Ahlan sangat syok mendengarnya, apalagi Zane. Sedangkan Zio hanya tersedak biskuit.
"Iya. Emang kenapa?" tanya Marisa.
"Kalau kamu tanya kenapa, ya jelas jawabannya kenapa-napa," jawab Ahlan tak mengerti jalan pikiran adiknya.
Nathan mencoba menengahi. "Gini ya, kamu tau sendiri kan kalau kita berempat ngga ada yang bisa main musik. Terus masalah waktu, kakak sendiri susah buat luangin waktu karena kerja aja sampe malem."
Ahlan menghela napas. "Sebenarnya abang sendiri bisa main gitar. Cuma kan yang namanya band itu perpaduan antara beberapa alat musik buat jadi lagu."
Zane menimpali. "Latihan dalam kurun waktu satu minggu dari nol itu menurut abang kurang banget."
Zio menenggak air putih hingga tandas. "Kemungkinan abang udah pulang ke Bali."
Marisa sontak menoleh padanya. "Kok cepet banget?"
Zio tak merespon lagi karena Marisa seharusnya sudah tahu jawaban yang diinginkan. Pria itu harus mengurus bisnis wisata-nya.
"Kamu chat aja sama kakak kelas osis itu, bilang kalau kita ngga jadi tampil di acara Dies Natalis," kata Ahlan menutup pembicaraan.
Marisa menatap kosong layar televisi. Ia merasa bodoh karena telah mengambil keputusan sepihak tanpa meminta pertimbangan kakak-kakaknya demi keegoisan diri sendiri dalam mencapai wish list keluarga.
Gadis itu beranjak dari sofa menuju kamar. Meninggalkan empat saudaranya yang masih setia nongkrong di depan televisi.
Marisa menjatuhkan diri di atas ranjang. Memandang lampu yang berpijar tepat di atas matanya.
Ternyata ... Susah juga ya jadi anak terakhir?
Harus mengerti keadaan kakak-kakaknya yang memiliki rentang usia cukup jauh.
Kehidupan Marisa dengan mereka telah berbeda.
Pengen nangis ... Tapi kesalahan ini akibat perbuatan sendiri.
Setitik air meleleh di pelupuk mata Marisa. Ia dengan segera menghapusnya sambil tertawa garing. "Ih apaan sih? Baperan banget lo Marisa!"
Entahlah, kondisi hatinya sendang sensitif sekarang. Marisa memutar posisi tubuh menjadi telungkup dan menyembunyikan wajah di antara kedua tangan. Menangislah ia tanpa suara.
Rasanya dia kesal, kecewa, rindu. Pokoknya campur aduk. Hatinya sulit dimengerti.
Marisa tidak menyalahkan mereka. Dia hanya menangisi diri sendiri karena bersikap kekanak-kanakkan dan tidak memahami kondisi keluarganya.
Mungkin ... Wish list 'Band Bersama Abang' harus dicoret dari buku diary.
Zio menaiki anak tangga hendak ke kamar. Namun, ketika melihat pintu I'm home itu sedikit terbuka, ia tergerak ingin tahu.
Pria itu melihat punggung kecil tengah bergetar. Menyembunyikan suara di antara bantal. Zio pun terdiam.
Dulu, ketika Marisa masih kecil, Zio tak peduli Marisa menangis kencang. Tetapi sekarang, melihat Marisa menangis tanpa suara setelah memasuki usia SMA.
Hati kecil Zio ikut pilu.
Seketika ia teringat masa lalu.
Bunda meninggal saat Marisa dilahirkan ke dunia. Bayi mungil itu harus tumbuh tanpa kasih sayang ibu.
Kemudian, ayah meninggal ketika Marisa masih duduk di bangku SMP. Lagi-lagi, gadis itu harus merelakan orang tua di usia yang sedang butuh-butuhnya pendampingan.
Sekarang ... Marisa tinggal bersama empat kakak laki-laki yang sibuk semua.
Jika orang-orang yang bisa Marisa andalkan hanyalah keluarga yang tersisa, siapa lagi jika bukan Nathan, Zane, Zio dan Ahlan?
Diam-diam Zio tahu, banyak rencana yang Marisa buat namun gagal terealisasi dengan satu alasan. Waktu.
Sedetik kemudian, Zio berbalik arah. Kembali menuju kepada tiga saudaranya. Pria itu berdehem cukup keras sehingga membuat mereka menaruh perhatian.
"Aku mau bicara sebentar," katanya.
Zio menghela napas. "Aku tau, kita semua terkendala waktu. Tapi setelah dipikir-pikir, mau sampai kapan? Sampai kita hidup masing-masing?"
Ketiganya terdiam.
Sang empu menatap satu persatu. "Tahun depan dia udah lulus. Jadi ... Bisa kan kita wujudin mimpi sederhana Marisa di masa SMA?"
KAMU SEDANG MEMBACA
High Five (Selesai)
Fiksi RemajaAda sebuah keluarga dengan lima bersaudara dengan Marisa adalah anak bungsu dan satu-satunya perempuan di sana. Memiliki empat abang dengan kepribadian berbeda-beda menciptakan momen yang berharga bagi Marisa. Nathan dengan sikap abang-able yang s...