Happy Reading!
Bantu Vote dan komen ya! gratis kok***
Di sudut perpustakaan yang tenang, seorang gadis asyik tenggelam dalam lembaran-lembaran buku tebal di hadapannya. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela besar di sampingnya memberikan sentuhan hangat pada rambutnya yang terurai. Sesekali, dia mengangkat pandangannya, memperhatikan sekelilingnya yang hening sebelum kembali fokus pada kata-kata yang mengalir di halaman buku. Suara lembut desiran halaman yang dibalik menjadi satu-satunya saksi bisu dari petualangan pikirannya.
Di tengah kesunyian perpustakaan, langkah-langkah pelan terdengar mendekat. Seorang wanita tua berpakaian layaknya pelayan muncul dari balik rak-rak buku, membawa aura kehadiran yang tak terelakkan. Dengan langkah hati-hati, ia mendekati gadis yang tengah asyik membaca. Gadis itu mengangkat pandangannya, sedikit terganggu oleh kehadiran tak terduga tersebut. Wanita tua itu tersenyum samar, memberikan salam singkat yang merusak keheningan dan ketenangan yang sebelumnya menguasai ruang perpustakaan.
"Salam, Duchess. Di ruang tamu terdapat seorang Lady yang mencari Anda," ujar wanita tua tersebut. Gadis yang tengah membaca buku itu mengangkat kepalanya, sejenak terdiam, sebelum menutup bukunya dengan perlahan. Tatapan matanya berubah dari keasyikan membaca menjadi kewaspadaan. Sambil menghela napas pelan, dia berdiri dan mengangguk kecil pada wanita tua itu, bersiap untuk menghadapi tamu yang menunggunya.
Di ruang tamu yang elegan, seorang gadis duduk dengan gelisah, jemarinya meremas-remas tepi gaunnya. Ketika pintu terbuka dan sosok yang ia cari muncul, matanya langsung berbinar. Tanpa ragu, ia bangkit dari duduknya dan berlari menghampiri, lengan-lengannya terbuka lebar. Sang gadis langsung berhamburan memeluknya, seakan menemukan kembali bagian yang hilang dari dirinya. Pelukan itu penuh dengan kehangatan dan kelegaan, mempertemukan kembali dua jiwa yang telah lama merindukan kebersamaan.
"Kenapa kau tidak pernah mengunjungi aku dan Ayah? Kami sangat merindukanmu, tau!" seru gadis itu dengan nada yang penuh emosi.
"Hahaha, maafkan aku, Serena. Lain kali aku akan mengunjungimu," jawabnya dengan tawa ringan, meredakan ketegangan yang terbentuk dari rindu yang terpendam.
Rhea menggenggam tangan Serena, membimbingnya melewati pintu yang mengarah ke luar. Bersama-sama, mereka berjalan melintasi taman yang dipenuhi bunga yang mekar dan rimbunnya dedaunan.
Serena menarik lengan Rhea, menunjuk ke arah sosok yang tampak familiar duduk di bangku taman. "Bukankah itu Duke Arthur, Rhea? Ah, Bianca! Aku belum terbiasa dengan nama aslimu," kata Serena dengan nada terkejut dan sedikit gugup. Rhea, tersenyum ringan sambil mengikuti arah pandang Serena, tetapi matanya cepat tertuju pada arah yang ditunjuk Serena.
Memang, di sana, di bangku taman yang teduh, duduk Duke Arthur, ditemani seorang wanita yang tampak akrab dengannya. Mereka terlihat sedang berbagi cerita, tertawa lepas tanpa beban.
Rhea merasa seperti ada pukulan lembut di hatinya; dia mengenal salah satu dari mereka, lebih dari sekadar kenalan. Rasa penasaran dan sedikit kecemburuan bercampur dalam hatinya.
Ternyata Arthur sudah pulang, ya? Namun, mengapa dia tidak menghampiri, atau menggangguku seperti biasanya?
Jadi, Arthur sudah mengetahui jika Evelyn adalah sahabat kecilnya, ya? Tapi, mengapa aku merasa hatiku sedikit tak rela melihatnya tertawa dengan wanita lain.
Pikiran-pikiran itu terus berkecamuk
dalam benak Rhea."Tunggu sebentar, Serena," ucap Rhea, suaranya agak goyah. "Aku melihat seseorang yang belum kulihat sudah lama."
Serena, menyadari perubahan suasana, memandang Rhea dengan ekspresi khawatir. "Apakah kamu baik-baik saja? Kamu terlihat seperti melihat hantu," tanyanya, mencoba menarik perhatian Rhea kembali.
"Ah, tidak, aku baik-baik saja. Ayo lanjutkan. Teh di gazebo menunggu," ucap Rhea, berusaha mengalihkan perhatian dan menutupi kegelisahannya. Mereka melanjutkan langkah menuju gazebo.
Mereka akhirnya sampai di gazebo, duduk sambil menikmati cangkir teh yang telah disiapkan, dengan Rhea yang berusaha melupakan apa yang ia lihat tadi.
"Atuy, terimakasih sudah mengajakku untuk minum teh bersamamu," ujar Evelyn dengan antusiasme yang tinggi.
Dengan posisi Rhea yang berada tidak jauh dari tempat Arthur duduk, dia tentu saja mendengar ucapan Evelyn.
Rhea mencibir Evelyn dalam hati. Apa?! Atuy? Apakah itu adalah nama panggilan dari Evelyn untuk Arthur? Sok imut sekali!
"Sama-sama, El," balas Arthur dengan senyum manisnya.
Rhea melebarkan matanya, pria itu tersenyum sangat manis saat bersama Evelyn! Cih! Dasar suami akhlakless.
"Tidak bisa dibiarkan!" seru Rhea seraya memukul meja. Gadis itu berdiri berniat melabrak Evelyn, tapi tangannya sudah lebih dulu ditahan oleh Serena.
"Bianca, jangan," ujar Serena dengan suara yang lembut.
"Lepasin nggak? Gue mau basmi bibit-bibit pelakor!" Rhea menutup mulutnya, dirinya keceplosan menggunakan bahasa gaul dari era modern.
Serena terlihat kebingungan, mendengar bahasa asing yang dilontarkan Rhea. "Apa yang kau katakan, Bianca? Apakah itu bahasa dari benua lain?" tanyanya.
"Lupakan." Rhea kembali duduk lalu menyeruput tehnya hingga habis.
Rhea mengepalkan tangannya dengan kuat, hingga buku jarinya memutih. Ingat satu hal! Dirinya tidak cemburu, melihat Arthur dengan wanita lain ya!
Bersambung...
20 Mei 2024
Gimana tanggapan kalian soal bab ini?
Menurut readers, cerita ini mending end di bab berapa?
15?
20?
25?
30?
atau berapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Melintasi Garis Waktu (On Going)
FantasyFOLLOW TERLEBIH DAHULU SEBELUM MEMBACA! Rhea Dhaneswari gadis pengangguran yang hobinya rebahan. Tiba-tiba masuk ke dalam novel yang dibacanya semalam? Bahkan Rhea masuk ke dalam tubuh istri dari pahlawan perang, yang ditakdirkan akan mati dengan tr...