5. Abang Yang Baik

4.6K 606 24
                                    




Sabian, abang satu-satunya Joe itu posesif dan protectif, itu menurut Rafa. Bian lebih sering dimansion dari pada berkumpul bersama teman-temannya. Juga lebih ekpresif ketika dia ada disampingnya.

Bian juga sering memerhatikan dia dalam hal apapun. Contohnya ketika tali sepatu miliknya tanpa sadar terlepas...

"Joe berhenti." Bian langsung menghentikan langkahnya Membungkuk dan melupakan tittle untuk membenarkan tali sepatu.

"Tali sepatumu terlepas."

Rafa menatap kebawah. "Loh iya, kok aku tidak sadar ya."

Bian menepuk kepala adiknya yang ceroboh. "Lain kali hati-hati. Jangan sampai terjatuh apalagi terluka.

Atau detail samar seperti berat badannya meningkat atau menurun.

"Abang aku kenyang." Rafa menutup mulutnya dengan tangan. Menolak suapan Bian.

"Kamu harus banyak makan. Berat badanmu turun," ujar Bian.

Rafa kadang heran, bagaimana bisa Bian tau jika berat badannya turun. Rafa saja jarang menimbang berat tubuhnya

Bian yang pada mulanya tidak dekat menjadi sangat menempel. Sikap manis adiknya menuai banyak sekali kupu-kupu dalam perutnya. Kegemasannya yang bersikap posesif hingga tidak ingin sang adik dekat dengan siapapun kecuali orang yang dia ketahui.

Seperti waktu itu, ketika Rafa mengatakan bahwa dia ingin memiliki teman. Bian menolak dengan tegas. Berkata jika dia saja cukup untuk sang adik.

"Kamu tidak butuh teman Joe. Ada abang dan teman-teman abang."

"Tapi aku butuh yang semuran bang."

"Umur tidak masalah. Abang hanya tidak mau kamu memiliki pertemanan buruk atau dimanfaatkan oleh temanmu nantinya."

Padahal aslinya, Bian tidak rela jika dia di duakan kembali oleh adiknya. Perhatian adiknya akan kembali terpecah saat mendapatkan teman baru.

Kadang juga, Bian akan melarang dia pergi sendirian. Pernah sekali Rafa izin pergi kerja kelompok dirumah teman sekelasnya dan pergi sendiri. Tentu tolakan dia dapat dari Bian.

"Tidak boleh."

"Nilaiku akan kurang bang. Aku hanya kerja kelompok. Setelah itu aku akan langsung pulang."

"Tetap tidak boleh."

"Tapi aku tidak ingin mendapatkan nilai kosong, ketika aku bisa hadir kapan saja."

"Oke, abang antar."

"Aku sendirian. kalau sama abang, temanku akan ketakutan."

"Bersama abang atau tidak sama sekali."

Kekeras kepalaan Jonathan menurun pada Bian. Padahal yang Rafa tau, Bian memiliki kepribadian tenang dan jarang berbicara panjang.

Saat dia terluka, Bian langsung panik meski itu hanya sobekan kecil. Bahkan Bian sampai heboh dan menangis seperti halnya Jonathan.

Dia akan langsung di gotong kerumah sakit walau Rafa bersikeras jika itu hanya luka kecil.

"Demi Tuhan ini hanya luka kecil bang!"

"Tidak bisa! kamu harus kerumah sakit. Takutnya luka itu membahayakan atau bahkan infeksi."

"Ya ampun ... cukup diolesi salep dan diperban. Tidak usah pergi kesana bang."

"Kita tetap kesana. Abang tidak bisa tenang jika hanya diobati seadanya."

Sampai terkadang Rafa merasa jengah. Tetapi ia buang perasaan itu jauh-jauh. Karena mungkin, semua perlakuan keluarganya adalah bentuk rasa sayang padanya.

Perhatian yang tidak pernah dia dapat dikehidupan sebelumnya. Saat ini, Rafa mendapatkan limpahan perhatian dan kasih sayang.

"Joe, mau ikut abang?" Bian datang, mengusak rambutnya dan membuka pintu mobil.

"Tanpa abang ajak pun, abang akan membawaku."

Rafa mendengar kekehan Bian. Dia masuk kedalam diikuti Bian yang memutar untuk masuk dan duduk di kemudi. "Abang mau menunjukkan tempat yang indah padamu."

Hanya ketika berdua saja, Bian bisa berbicara panjang lebar padanya. Karena jika ada teman atau keluarga, Bian akan membungkam mulutnya dan seolah enggan bericara.

"Dimana itu?"

"Kamu akan mengetahuinya nanti."

Bian pun melajukan mobilnya keluar dari sekolah. Sembari sesekali mengobrol ringan dengan Rafa. Mobil itu berjalan melewati pepohonan rindang, desa yang damai serta laut biru dengan pemandangan indah.

Butuh waktu 2 jam untuk sampai ketempat yang di maksud Bian. Bahkan dia harus turun dari mobil untuk ketempat pastinya.

"Huft."

"Lelah?"

"Sedikit."

"Mau abang gendong?"

Rafa menggeleng. "Masih jauh?"

"5 menit lagi sampai."

Mereka berdua melanjutkan langkahnya. 5 menit kemudian keduanya sampai ditempat. "Nah kita sampai."

Rafa membulatkan kedua matanya. Langit biru membentang memperlihatkan keindahannnya. Gedung tinggi, Laut yang tadi sempat ia lihat, perumahan bahkan pedesaan yang tadi dia lewati pun terlihat.

Pemandangan indah dengan angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya. Dedaunan berjatuhan menambah kesan indah pemandangan yang ia lihat.

"Indah."

"Kamu suka?"

"Iya, suka sekali. Abang tau dari mana tempat ini?"

Bian juga menghadap pemandangan depan. "Beberapa bulan lalu ketika abang salah jalan."

"Wah, waktu itu ya?"

"Pemandangan ini jauh lebih indah ketika malam hari."

"Tapi kita tidak bisa menunggunya. Jadi, ini sudah cukup bagiku."

"Abang akan kesini kalau lagi dalam mood buruk."

"Hoo, itu sebabnya abang menghilang setelah menampilkan wajah menyeramkan," ujar Rafa meniru wajah yang diperlihatkan Bian ketika marah..

Bian tertawa kecil. Dimanapun dan kapanpun, adiknya tak pernah absen untuk bertingkah manis.

"Terima kasih ya bang. Sudah membawaku kesini."

Bian tersenyum kecil. "Terus seperti ini ya. Jangan berubah, abang suka kamu yang terbuka."

Keduanya menikmati pemandangan sampai sore hari. Sehingga mau tak mau Rafa mengajak Bian untuk pulang. Perjalanan panjang pun harus dilewati dan membutuhkan waktu lama.

"Bang, mampir keminimartet atau dimanapun. Aku kebelet nih," ujar Rafa. Dia gelisah karena menahan gejolak kebelet buang air kecil.

Bian pun menepikan mobil berhenti disebuah toilet umum di taman. Rafa segera keluar dan berlari untuk menuntaskan hasratnya.

Beberapa saat kemudian Rafa kembali dan berjalan menuju mobil. Tetapi tanpa sengaja dia melihat siluet seseorang yang terasa familier baginya.

Orang yang menggunakan kursi roda, menawari seseorang bakpao yang orang itu bawa. Karena tempat ini merupakan taman dan masih belum terlalu malam, masih banyak orang berlalu lalang.

Tanpa sadar Rafa melangkah mendekati orang itu. Entah apa yang membawanya kesana, dia mendekatinya.

Langkahnya tiba-tiba terhenti, wajahnya memucat bahkan bibirnya bergetar, matanya berembun dan sedetik kemudian mengalir tanpda dia sadari.

Orang itu, dia...














To be continued...

Happy End? - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang