9. Rasa Iba

3.3K 462 10
                                    

Carlos memakan nasi tak minat. Tatapan kosongnya menatap pepohonan. Daun berterbangan karena terlepas dari tangkai. Jatuh ke tanah dan perlahan menjadi kering.

Dia duduk di samping jendela yang terarah langsung pada halaman rumahnya. Dipojok sana, terdapat pohon yang dia tanam. Juga pohon-pohon kesukaan adiknya, Rafa. Meski dia terlambat tau, Carlos tetap merawatnya.

Agar dia selalu ingat bagaimana perlakuan buruk dia pada adik bungsunya begitu buruk. Dia mendoktrin dirinya harus hidup dalam penyesalan. Tak ada kata dia bangkit dari keterpurukan, nyatanya... Dia sama sekali tidak bisa.

Perasaan bersalah menghantui dirinya. Setelah dia mendengar kabar kematian adiknya, Carlos bahkan selalu bermimpi buruk. Ayahnya telah lama meninggal. Oliver terkena serangan jantung saat dia mendengar kabar duka itu.

Carlos mencoba baik-baik saja di depan temannya. Tetapi, mereka tidak tau, bahwa Carlos harus hidup menanggung perasaan bersalah yang menggerogoti hatinya serta penyesalan yang harus dia pikul di pundaknya sampai hembusan nafas terakhirnya kelak.

Bagaimana bisa dia hidup tenang, bangkit untuk hidup lebih baik ketika orang yang biasa dia sakiti tidak pernah bahagia semasa bersama dirinya.

Setiap malam, Carlos menangis pedih. Dia tidak pernah telat makan agar dia tidak sakit dan terus sehat supaya dia bisa meratapi rasa bersalahnya. Kembali ceria supaya dia tidak bisa dimaafkan oleh adiknya di atas.

Pernah sekali dia berkeinginan bunuh diri. Tetapi seolah hatinya mengatakan jika dia tidak pantas dan bahkan tidak diizinkan mati dengan mudah.

Dia juga selalu menyalahkan takdir karena membuatnya tersiksa. Harus menanggung sendirian penyesalan yang sigap mencekik dirinya setiap saat.

"Rafa, maafkan abang. Kamu mau kan maafin abang?" Tanya Carlos entah pada siapa. Dia tetap memandang daun yang berguguran.

Carlos lelah, dia harus memakai topeng baik-baik saja setiap  hari. "Rafa, hari ini abang ketemu sama dia lagi. Anak itu histeris melihat abang. Apakah kamu tau alasannya?"

Carlos menggapai pecahan piring yang sejak tadi dia jatuhkan. Menyingkap lengannya yang terbalut kain hangat. Mengiris sendiri pergelangan tangan miliknya. Disana juga terdapat bekas luka lainnya.

Tanpa sepengetahuan teman-temannya, Carlos sering melakukan self injury.

"Dia takut sama abang. Tatapannya seperti tatapan kamu." Carlos tidak merasakan sakit meski tetes demi tetes darah keluar dari lengan yang telah dia lukai. Karena seringnya ia melakukannya.

"Abang bahkan dengan lancang menyamakan dia dengan kamu." Carlos terkekeh. Air matanya pun meluruh tanpa di suruh.

"Melihat dia seperti itu, mengingat abang ketika kamu berteriak kesal. Menyalahkan abang yang bahkan abang sendiri tidak sadar kesalahan abang." Carlos kembali melakukan hal sama dilengan satunya.

"Abang tidak pantas hidup bahagia setelah apa yang abang lakukan padamu."

"Jika abang bahagia barang sedetikpun. Kamu selalu muncul di mimpi abang. Tubuh berlumuran darah milikmu menangis menanyakan mengapa abang bahagia setelah membuatmu begitu menderita." Tatapan Carlos berubah lelah. Pemuda itu membuang asal pecahan piring tersebut.

Baju tanpa nodanya pun basah karena cairan kental merah miliknya. Bibirnya pucat, namun Carlos tidak ada niatan beranjak. Dia hanya menggapai p3k yang berada di setiap sudut rumahnya.

Mulai mengobati luka di tangan. Dengan ini, Carlos sedikit tenang. Tangis tanpa isak yang ia lakukan sebelumnya pun sekarang sudah bersuara. Carlos berusaha menahan dengan menggigit bibirnya.

Tetapi dia kalah, Carlos terisak. Menutup wajahnya dan menangis histeris. Dia tidak boleh mengeluh, karena dia memang salah. Carlos tidak diperkenankan berhenti untuk tidak menyesal.

"Tidak apa-apa aku kuat!" Menyemangati diri, menepuk-nepuk dadanya supaya rasa sakit di dadanya sedikit berkurang.

"Anak daddy kuat hikss."

"Abang, kenapa abang harus ninggalin Carlos."

"Kenzie, abang mohon. Maafkan abang hiks. Abang salah dek."

"Mommy, mom dimana. Kenapa mommy ninggalin Carlos. Mom, maafkan Carlos karena tidak becus menjaga putra kesayangan mommy."

"Tuhan aku lelah."

Carlos memeluk dirinya sendiri. Dia sudah tidak kuasa dengan tekanan batin yang dia terima. Carlos sendirian tanpa keluarga dan sanak saudara.

Dibalik tembok, Xavier menggigit bibirnya kuat. Dia menangis atas ketidakberdayaan sahabatnya. Xavier juga saksi betapa menyesal Carlos karena perbuatannya.

Xavier juga saksi betapa berjuang sahabatnya menerima perasaan bersalah dan menyesalnya. Hingga Xavier berpikiran tega, jika lebih baik dia melihat Carlos mati dari pada hidup untuk menyiksa diri.

"Tuhan, sudah cukup 10 tahun bagi dia tersiksa."

***

Rafa berdiri disamping pembatas balkon menyandar pada pembatas. Matanya tak pernah lepas dari sekumpulan burung merpati yang terbang. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya dan anak rambutnya.

Memegang rambutnya sendiri, Rafa berkata. "Rambutku mulai panjang."

Rafa sudah melewati rentetan pemeriksaan dari dokter. Kata dokter Rainy, dokter psikolog yang menanganinya. Dia tidak perlu memaksa melupakan masa lalu ataupun kenangan buruk. Rafa hanya diminta untuk berdamai secara perlahan.

Layaknya pohon yang telah ditebang, meski hanya tinggal akar, pohon akan tetap tumbuh perlahan-lahan namun pasti akan menjadi pohon baru indah yang tak kalah rimbun dari sebelumnya.

Walau begitu, ketika ada angin menerpa, sekuat apapun pohon menahan daun, yang menjadi rambutnya itu akan terjatuh karena tiupan angin.

Dokter Rainy juga berkata jika dia harus mencontoh pohon. Ketika melewati proses kembangnya yang tak mudah. Pohon akan tetap bertahan dan tumbuh. Juga berusaha ikhlas dan tabah untuk sesuatu yang akan terjadi nantinya.

Seperti, ibu pohon yang kehilangan anak daunnya.

Fyi : Gue ngarang ni kata dokter Rainy.

"Joe, kenapa disini sayang?" Runa datang. Menutupi tubuh Rafa dengan selimut lembut namun tipis. Memungkinkan dirinya membawa karena tidak riweh.

"Aku sedang bosan ibu. Setelah mendengarkan perkataan dokter Rainy yang amat panjang. Aku jadi ingin melihat pohon," ujar Rafa tersenyum pada Runa.

Runa tersenyum tipis. "Sayang, jika ada masalah. Jangan kamu tutupi. Kamu harus bercerita pada kami. Melihat kondisi lemah mu untuk yang kedua kali, memberikan pukulan telak bagi ayahmu, abangmu bahkan ibu." Ia menatap sendu Rafa.

Sebagai ibu, tentu dia sangat terkejut. Putranya memiliki sesuatu yang tak pernah dia ketahui. Panic attack bukan sesuatu yang bisa diperoleh dengan mudah dan gampang. Memangnya, hal menakutkan apa yang telah dilewati oleh sang putra.

Runa tak bisa untuk tak khawatir. Tetapi, ia tak bisa memaksa. Mental putranya jauh lebih penting daripada keinginan egoisnya.

Biarkan putranya bercerita, kelak.. Ketika Joe 'Rafa' sudah siap.

"Maafkan aku ibu. Aku janji akan selalu mengadu pada ayah, ibu, dan abang tentang rasa sakitku." Rafa menggapai Runa. Memeluk erat sosok yang telah menjadi orang tua wanitanya.

Bukan maksud dia ingin melupakan sang mommy. Namun, delapan Runa sama hangatnya dengan dekapan Mommynya.







To be continued...

Happy End? - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang