Rafa membuka kelopak matanya. Dia merasa pusing luar biasa hanya karena menggerakkan sedikit kepalanya. Kenangan masa lalunya memberikan efek berlebihan hingga dia langsung demam hanya karena sedikit ingatan.
Rafa menatap plafon putih. Ia bisa menebak jika dirinya berada di rumah sakit. Setelah sekian lama dia tidak pernah masuk, akhirnya dia kembali. Pasi David membawanya kemari.
Sedikit bergerak menoleh ke samping, Rafa berniat melihat keberadaan David. Pandangannya kembali membulat, bibirnya kembali bergetar. Ia meremat selimut rumah sakit hingga rasa sakit akibat tusukan jarum infus terasa.
'Kenapa orang itu ada disini.' batinnya. Namun Rafa berhasil mengontrol dirinya. Rafa harus bisa dan berusaha.
David yang menyadari jika Rafa sudah bangun pun segera beranjak dari sofa mendekati bangsal Rafa. Hal itu mengundang Carlos dan juga Xavier ikut menoleh.
"Joe, bagian mana yang sakit?" Tanya David begitu santai. Dia mengelus punggung tangan Rafa.
"Kepalaku pusing bang," Keluh Rafa. Dia tidak akan pernah menyembunyikan rasa sakitnya. Meski sakitnya berupa hal kecil.
"Sabar ya adik kecil. Nanti sakitnya menjauh. Kamu harus rutin minum obat." David berwajah sendu. Melihat wajah pucat Rafa, mengingatkan dirinya pada mendiang adiknya.
"Uhm."
Sementara dibelakang, Carlos menghela nafas lega. Carlos tidak mengerti, kenapa dia begitu khawatir terhadap pelanggannya yang satu itu.
Xavier menepuk bahu Carlos. Mereka harus pergi, karena tidak ada lagi urusan. "Carlos kita pergi." Carlos pun mengangguk meski sedikit tak rela.
"Makasih bantuannya bang." David tiba-tiba berceletuk. Tentu walau tidak suka dia harus tetap berterima kasih.
Keduanya mengangguk mendengar celetukan David. Namun ketika akan pergi. Pintu rumah sakit dibuka. Pelakunya sedang menetralkan nafas memburunya. "C-carlos hah- bagaimana keadaannya?" Pria dewasa lainnya masuk.
Tristan dan Abi teman Carlos dan Xavier masuk. Setelah mendapatkan pesan dari Xavier jika keduanya berada di rumah sakit. Tanpa aba-aba meninggalkan pekerjaan mereka, Tristan dan Abi langsung saja beranjak ke rumah sakit.
Xavier memandang keduanya datar. "Kalian sedang apa disini?" ujarnya.
"Kami ingin menjenguk Carlos," jawab Tristan. Dia merapikan topinya. Tristan menjadi abdi negara sesuai cita-citanya. Meski pada awalnya keluarganya menolak karena tak ingin Tristan terluka, namun dia berhasil meyakinkan mereka dengan kegigihannya.
"Dimana Carlos- loh?!" sahut Abi dengan keterkejutannya. Dia menunjuk Carlos yang baik-baik saja. Beda halnya dengan Tristan, Abi mejadi guru olahraga sekaligus coach klub volly.
Keduanya segera mendekati Carlos. Abi melihat dari atas sampai bawah. "Sialan Xavier. Carlos sehat walafiat gini kau bilang sakit?!" Abi kan kesal. Sia-sia dia terobos lampu merah kalo yang dia khawatirkan baik-baik saja.
"Tau si Xavier. Waktu tau kalian di rumah sakit. Aku ninggalin kantor karena kau! Aku pikir terjadi sesuatu pada Carlos." Tambah Tristan.
Keduanya memang kesal, tetapi tidak bisa dipungkiri jika mereka lega. Yah, banyak kejadian diantara mereka. Tetapi Tristan dan Abi memilih damai saat Carlos meminta maaf pada mereka.
"Memang kapan aku bilang Carlos yang sakit?" Xavier tidak mau disalahkan. Dia menatap keduanya datar. "Kami hanya mengantarkan kedua pemuda itu." Xavier menunjuk David dan Rafa yang sejak tadi menonton.
David menampilkan wajah malas. Sementara Rafa tertawa simpul. Dia jadi ingat kenangan konyol Tristan dan Abi. Rupanya, mereka juga ada disekitarnya. Sekarang, bolehkah dia berharap jika 'Dia' juga ada disini.
"Loh, kalian apakan mereka?"
"Yang sakit Joe, dia adalah pelanggan ku. Kebetulan dia pingsan dihadapan kami. Jadi kita menolongnya." Carlos menjelaskan sebelum kedua temannya itu bercercos ini itu dan menanyakan banyak hal. Dia juga tau nama Joe karena tadi sempat bertanya pada David.
Rafa menatap lamat orang-orang masa lalunya. Wajah mereka semua sudah lebih dewasa. Mereka juga terlihat sudah menggapai cita-citanya masing-masing. Dia menunduk, ia juga ingin tau. Bagaimana kabar 'Dia'.
Rafa dan luka merupakan sesuatu yang bersama sejak lama. Ketika kata 'Luka' perlahan berubah bahagia. Orang-orang masa lalunya kembali datang. Tetapi Rafa seolah mengerti, jika takdir ingin melihatnya, Tuhan ingin menyaksikan sampai mana dia bisa bersabar dan sampai mana dia berdamai dengan masa lalunya.
Jadi, Rafa ingin berjuang dan berusaha, melawan traumanya. Juga sebagai bentuk, jika dia bisa, dia kuat walau badai undur datang.
Gerombolan langkah kaki terdengar menggema. Seseorang sepertinya akan datang. Rafa pun menghela nafas, sepertinya akan ada drama kembali. Dia bisa melihat, abang dan ketiga temannya datang berwajah panik.
"Joe!" Bian datang dan langsung memeluk Rafa. "Joe!" Dia sungguh panik. Memeriksa dahi Rafa dengan punggung tangannya. Melihat jatuh infus tertancap di tangan adiknya, dan memandang wajah lemas serta pucat Rafa.
"Kenapa bisa demam? Kenapa bisa sakit? Tadi pagi baik-baik saja. Kamu okay sebelum meninggalkan abang tadi siang," tanya Bian dramatis. Dia kembali melupakan image dinginnya.
Bian tidak bisa melihat adik satu-satunya ini sakit. Terbukti ketika wajahnya sudah basah karena air mata. "Jangan sakit Joe, abang tidak suka." Dia duduk, mengambil tangan Rafa untuk menyembunyikan wajah basahnya.
"Aku baik abang." Rafa mencoba menghibur. Tetapi itu tidak berhasil. Bibir pucatnya tidak bisa membuat kekhawatiran Bian berkurang.
"Maafkan abang tidak becus menjagamu. Jika saja abang tidak sibuk, abang bisa menemanimu." Bian sungguh terluka. Ketika dia dihubungi oleh David, dia hampir kelepasan menghajar wakil osis.
Padahal Rafa hanya demam biasa. Namun efeknya luar biasa pada Bian.
Ini Bian, belum lagi ayahnya, Jonathan. Itu sebabnya, sebisa mungkin Rafa tidak ingin sakit maupun terluka. Keluarganya begitu protectif padanya.
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Happy End? - END
Teen FictionDi kehidupan ketiganya ... Rafa mulai tenang. Secercah harapan hadir ketika keharmonisan keluarga memeluk erat tubuh dinginnya. Kali ini ... Rafa memilih sedikit egois. Rafa suka kehidupan ketiganya. Bersama keluarga Caesar yang amat menyayanginya...