8. Kepingan Memori

3.6K 507 0
                                    

Rafa menghirup udara segar pagi hari. Dia
memakai celana training, sepatu putih, kaos hitam se lengan juga bandana putih melingkar pas di kepala menghalau rambut agar tidak jatuh.

Hari minggu yang cerah. Rafa memutuskan untuk olahraga lari pagi di dekat mansion menuju taman. Sedikit jauh, tetapi Rafa tidak mempermasalahkannya.

Walau dia harus banyak mengelus dada ketika dia beradu bacot dengan kedua pawangnya agar diperbolehkan. Rafa merasa jika dia butuh olahraga. Jadi tanpa rencana, ia meminta lari pagi.

"Lega rasanya," Ujar Rafa setelah menghabiskan setengah botol air putih.

Dia duduk selonjoran di atas rumput samping taman. Sembari memijat-mijat kaki, Rafa menatap sekitar. Dia menangkap beberapa orang yang diutus untuk menjaga dirinya dari kejauhan.

"Ayah dan abang selalu berlebihan." Dia menggeleng pelan.

Tanpa disadari Rafa, dua orang berjalan menuju kearahnya. Carlos yang melihat Rafa langsung meminta pada Abi untuk mendorong kursi rodanya menuju Rafa.

"Joe."

Rafa mendongak ketika ada yang memanggil namanya. Nafasnya pun terdekat, jantung nya berdetak lebih cepat. "Ya bang?" Jawab Rafa ragu. Dia kesusahan mengontrol detak jantungnya.

Untungnya, dia memang sedang berkeringat. Jadi, meski tubuhnya perlahan mengeluarkan keringat dingin tidak terlalu kentara.

"Kau sudah sembuh?" Tanya Carlos.

Rafa mengangguk kaku. "Iya."

"Apa tidak apa-apa kau lari pagi setelah keluar dari rumah sakit?" Ujar Abi. Sedikit banyaknya, Abi tau anak di depannya. Dia berjalan dan duduk disebelah Rafa.

Rafa tersenyum simpul. "Iya, soalnya aku sudah keluar dari dua hari lalu." Terima kasih pada Abi. Setidaknya, dia tidak terlu canggung.

"Dilihat-lihat, kau mirip seseorang," ujar Abi. Dia menatap lamat wajah Rafa 'Joe'.

Deg!

"Mirip seseorang?"

Abi terkekeh, kemudian mengalihkan pandangannya dari wajah Rafa. "Entahlah, kupikir aku salah. Kau sama sekali tidak mirip dengannya." Menidurkan diri di atas rumput berbantalkan kedua lengan. Memandang hamparan langit biru.

"Aku pikir dia mirip." Carlos berceletuk tiba-tiba.

Rafa menelan ludah gugup. "Mirip siapa sih?" Dia berlagak penasaran.

"Seseorang yang berarti di hidupku." Carlos berucap bersama senyuman diwajah. Akan tetapi, senyuman itu menunjukkan sarat akan penyesalan.

"Kemana orang itu?"

"Dia sudah pergi, menjauh. Tak akan pernah kembali lagi. "

Rafa menangkap ekspresi sendu Carlos. Tentu dia mengerti siapa yang dimaksud 'seseorang' itu.

"Oh maafkan aku. Aku menciptakan suasana mellow dipagi hari," Kata Carlos tak enak. Dia menggaruk leher belakangnya yang tak gatal.

"Ngomong-ngomong Joe, rumahmu dekat dari sini?" Carlos mencoba mengalihkan topik.

"Y-ya." Suara Rafa gugup. Bukan, lebih tepatnya dia menahan getaran tubuhnya. Suaranya menjadi tidak stabil karena sepercik rasa gundah menghampiri.

"Aku baru tau, karena tempat tinggal kami juga dekat dari sini."

Dia, Rafa... Mengingat kenangan buruk masa lalu. Kepingan memori yang menyatu bak kaset rusak. Kepalanya seakan terhantam batu.

"Jangan melakukan trik murahan di depan kami. "

"Joe, sepertinya kau belum sepenuhnya sembuh. Wajahmu kembali pucat."

"Fakta karena hadirmu, adikku tiada!"

Rafa mengepalkan tangan kuat. Perbuatan buruk serta perkataan Carlos dahulu berbisik keras di indra pendengarnya. Rafa menutupi telinga."ENGGAK! ITU BOHONG!" teriak Rafa histeris. Dia terkena panic attack.

Carlos dan Abi terkejut karena teriakan Rafa yang tiba-tiba.

Pipi Rafa berderai air mata. Pandangannya meliar, dia mencoba untuk tidak terlihat di depan Carlos. "PERGI! MENJAUH DARIKU!"

Para pengunjung taman yang melihat kondisi Rafa berbisik mencemooh. Pengawal yang ditugaskan oleh Albert segera mengosongkan taman dan memberitahukan keadaan Rafa 'Joe' pada atasan mereka.

"Hey Joe. " Carlos ingin menyentuh Rafa, meski susah payah. Namun tangannya segera ditepis oleh empunya.

"Dasar tidak tau diri!"

"JANGAN SENTUH!" Rafa menangis histeris. Kenapa ini terjadi pada hidupnya. Padahal dia sudah nyaman dengan keluarganya sekarang. Tetapi mengapa orang-orang masa lalunya harus datang.

"Berhenti, menyusahkan kami!"

"BERHENTI!!" Rafa menjambak rambutnya sendiri. Menariknya kuat berharap mengurangi rasa sakit di kepalanya.

Abi mencoba menghalau Rafa, tetapi seakan Rafa memiliki kekuatan lebih dari dirinya. "Joe, kau kenapa?!" Tentu dia panik. Dia ingin jalan-jalan pagi karena dia diajak Carlos. Lalu, sekarang apa? Mengapa dia harus menghadapi situasi seperti ini.

Carlos hanya bisa menutup mulutnya. Air matanya juga mengalir entah untuk alasan apa. Pekikan 'Joe' mengingatkan dirinya akan mendiang adiknya yang telah meninggal karena bunuh diri.

Carlos merupakan pria dewasa, dia tau.. Ketakutan 'Joe' ada pada dirinya. Tapi, kenapa? Dari awal 'Joe' membeli bakpaonya, anak lelaki itu enggan mendekati nya secara langsung.

Anak lelaki pemilik wajah manis itu sering bersama seseorang disebelahnya.

"Stop menjadi benalu di kehidupan orang lain."

"CUKUP! AKU TIDAK MAU DENGAR!"

Mata Rafa bergerak liar. Ketika tatapannya bertemu dengan mata Carlos. Rafa kembali terpekik.

"Kau hanya akan menjadi beban bagi kami."

"Ya Tuhan putraku!" Jonathan berlari kearah putra bungsunya. Segera memeluk erat sang anak dan melontarkan kata penenang.

"Rafa, bahkan jika disuruh memilih, aku lebih suka tidak memiliki adik jika adikku itu seperti kau."

Rafa menangis kencang di pelukan Jonathan. Dia membalas pelukan ayahnya tak kalah erat. Bian juga datang mendekati keduanya. Disertai Runa yang shock melihat keadaan anak keduanya.

"Joe sayang, ini ibu. Tenang nak?" Runa memeluk Rafa dari belakang. Sepasang suami istri itu memeluk putranya. Menenangkan dan mencoba untuk menetralkan emosi meluap Rafa.

"Aku harap kau cepat pergi, agar kehidupan kami menjadi lebih baik."

Bian tak bisa berkata-kata. Menyadari kehadiran orang lain, Dia mengusir Carlos dan Abi.

Abi pun terpaksa membawa Carlos yang enggan pergi. "Kita pergi Carlos."

Carlos tidak bisa menjawab, tatapannya terpaku pada sosok Joe 'Rafa'  dalam hati dia berdoa semoga agar anak itu lekas membaik.

Setelah kepergian keduanya, Rafa sedikit tenang. Meski dia mendengar bisikan kenangan masa lalu tentang ucapan Carlos, dengan dekapan hangat kedua orang tuanya, Rafa sedikit tenang.

Bian menyadarinya. Dia menyimpulkan dan mengingat perihal adiknya sebelum masuk rumah sakit sesuai perkataan David. Menyambung satu persatu kejadian, dimana sudah dua kali adiknya terkena panic attack setelah bertemu dengan beberapa orang asing, terutama pada pria yang menggunakan kursi roda.

Tubuh Rafa melemas, pandangan memburam. Pelukannya pada Jonathan terlepas karena dia sudah tak sadarkan diri.

Ketiga orang itu segera membawa Rafa ke rumah sakit. Tak lupa, Runa memerintahkan pihak rumah sakit menyiapkan dokter psikolog terbaik.

Jonathan juga harus menyelidiki tentang bagaimana bisa putra yang dia sayangi bisa berada pada situasi seperti ini.






To be continued...

Happy End? - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang