Jevian tidak tahu harus bereaksi seperti apa saat mendapatkan pesan dari Aji bahwa Harel bertemu dengan Chandra dan Jinnie,yang anehnya Harel tidak menolak namun justru menerima ajakan kedua orang tuanya untuk mengobrol di kamar lelaki kecil itu.
"Ji..." Nafasnya terengah,Jevian bahkan menopang tangannya pada lutut untuk menetralkan nafas
"Harel... Dimana?" Aji menunjuk pintu kamar Harel
"Kenapa ga lo cegah sih,kenapa ga lo bawa keluar Harel nya"
"Jev mungkin ini emang waktunya buat mereka ngobrol"
"Sial,kalo Harel kenapa-napa gimana"
"Tenang dulu coba Jev,gue yakin Harel udah cukup kuat buat ngobrol sama mereka"
Percuma,mau di beri kata penenang atau di katai dengan kalimat paling kasar pun Jevian tidak akan pernah bisa tenang membayangkan apa yang kedua orangtuanya lakukan di dalam sana.
Di tengah kegelisahan Jevian juga Aji pintu kamar terbuka,Chandra dan Jinnie keluar dengan raut yang tidak bisa di katakan baik,bahkan Jinnie sudah berkali-kali mengusap airmata nya.
Melihat itu Jevian segera menerobos masuk, tangannya dengan segera menggapai tubuh Harel,mengusap punggung itu lembut.
"Harel ga apa?"
Yang ditanyai mengangguk dengan senyuman,namun itu justru membuat dada Jevian sedikit tercubit, adiknya terlalu baik jika sudah memaafkan Chandra dan Jinnie.
"Aku mau ketemu kak Aji boleh?"
Jevian mengangguk,tangannya masih sibuk menepuk punggung Harel yang terduduk di kursi belajar sedangkan Jevian sendiri menjadikan lutut sebagai topangan tubuhnya.
"Nginep sama Aji ya?"
"Abang ikut?" Gelengan yang menjadi jawaban atas pertanyaan Harel
"Abang tidur disini aja"
Melihat Harel yang mencebik Jevian terkekeh,sulung Reynolds itu berdiri dan mengusap rambut Harel.
"Sana,Aji udah nunggu di depan,kabarin kalo ada apa-apa ya?"
"Ok abang,dadah"
Jevian mengikuti langkah Harel,lelaki itu sudah tidak menemukan kedua orang tuanya,mungkin juga segera pergi untuk menyibukkan diri dengan dokumen kantor menyesakkan itu.
"Jev,Harel kalo ga gue bawa balik lagi gue bakal di apain?"
"Gue jual lo ke mafia Jepang"
Aji terkekeh,tangannya segera menggapai pintu saat Harel tak lagi ada di tengah-tengah mereka.
"Ga usah terlalu khawatir,Harel aman sama gue"
Iya,semoga. Karena Jevian tidak bisa atau mungkin tidak akan pernah bisa menjadi tempat teraman untuk Harel.
.
.
.
.
Aji tidak langsung membawa Harel ke apartemennya,lelaki Erlangga itu mengajak Harel untuk mengelilingi kota,dalam kegiatan itupun Harel masih diam,kepalanya bersandar pada jendela,netra itu bahkan tak pernah lepas dari gedung juga orang-orang yang mereka lewati.
"Harel ga apa?"
Pertanyaan serupa yang Jevian lontarkan, namun kali ini Harel tidak menjawab dengan anggukan juga senyum merekah,lelaki kecil itu justru menoleh dengan netra yang berkaca- kaca.
"Kak...."
Merasa Harel tidak baik-baik saja Aji menghentikan laju mobilnya yang kebetulan tepat berhenti di tanah luas dengan pemandangan sungai di depan mereka.
Aji memutar tubuh agar lebih leluasa menatap Harel
"Sini coba di tatap dulu aku nya Ayel"
Pun Harel menurut,kepala yang sebelumnya menunduk itu turut memutar tubuh,menatap Aji dengan keadaan menyedihkan.
"Aku ga baik-baik aja....aku- aku masih ga baik- baik aja...orang bilang...orang bilang waktu bakal nyembuhin semuanya,tapi itu engga...aku,aku masih terjebak di momen menyakitkan itu,ga peduli seberapa lama waktu yang udah aku lewatin...aku masih...."
Harel sudah sesenggukan, bicaranya pun sudah terdengar berantakan,membuat Aji melepas seatbelt yang dikenakan Harel,dengan mudah mengangkat tubuh itu untuk duduk di pangkuannya,bahkan tangan besarnya juga tak tinggal diam untuk mengelus kepala bagian belakang Harel,hal yang selalu Aji sukai.
"Keluarin sayang,keluarin semua hal yang mengganjal di hati kamu,ada ayah Aji disini,ayah Aji dengerin semua ceritanya bayi Ayel"
"Aku engga bisa maafin mami papi gitu aja...Aku,aku juga sakit hati sama yang mereka lakuin...Tapi...Tapi nanti aku bakal dicap anak kurang ajar...Jadi anak juga engga gampang kak,jadi anak...."
Tangan Aji yang semula mengusap kepala bagian belakang Harel turun ke punggung,juga tangan satunya yang melingkar pada pinggang Harel untuk berikan rasa nyaman.
"Aku boleh marah kan? Aku boleh buat mereka juga ngerasain sakitnya jadi aku?...Kak...kenapa anak harus selalu tanggung jawab atas keinginan yang orangtuanya gagal lakuin di masa lalu...kenapa anak harus selalu tanggung jawab atas apa yang bahkan ga mereka lakuin,kenapa harus anak yang selalu membanggakan...kenapa harus anak yang punya banyak tuntutan atas balas budi nya karena dilahirkan....
"Padahal aku...Aku ga pernah minta buat terlahir. Mereka bahkan ga nanya apa aku mau dilahirkan....Mereka ga bisa seenaknya ke aku setelah melahirkan aku...Mereka harusnya ada di sisi aku,mereka yang harusnya disalahkan karena melahirkan aku...mereka...harusnya ga melahirkan kalau...kalau belum bisa tanggung jawab..."
Kepalanya menabrak dada bidang Aji,Harel terpejam,nafas yang semula memburu karena rasa sakit itu perlahan mulai bisa bernafas dengan pelan. Aji semakin merapatkan tubuh Harel,memeluknya dengan erat seolah Harel akan terluka jika pelukan mereka terlepas.
Di balik itu juga Aji menangis,air matanya turut membasahi pipi sampai mengenai baju Harel
Kepalanya terus memikirkan rasa sakit yang Harel lalui di masa kecilnya dulu. Memang,di dunia ini ada banyak karakter orangtua juga pandangan anak-anaknya terhadap mereka,namun apapun pandangan kalian,semoga tidak menghasilkan penyesalan nantinya.
Chapter ini agak aneh?
Tapi yaudah...Happy weekend semuanya,selamat istirahat dan habisin waktu bareng keluarga,temen,pacar atau siapapun itu...
YOU ARE READING
So,This Is The Love? [Hoonsuk]
FanfictionPercayalah pada sesuatu dan tidak hidup dengan kebohongan-Gandhi- Satu kutipan itu seolah mengingatkan Aji bahwa ia harus percaya pada sesuatu.Hatinya, yang mengatakan bahwa ia tertarik pada lelaki kecil dengan nama Harel Reynolds. Maka mungkin,kegi...