12. Jendela yang Terbuka

474 55 3
                                    

Kicau burung gereja pagi itu terdengar seperti nyanyian sang dewi yang mengantar Asa kembali ke dunia sesungguhnya.

Mata ravennya yang tertutup sejak malam kini terbuka perlahan bak kelopak lily putih yang mekar di musim semi. Pun hangat mentari yang mengecup pipinya yang kembali merona membuatnya mengernyit.

"Anda sudah bangun, Tuan?"

Asa tersentak kecil dan menatap sosok Terence yang telah duduk di sebuah kursi di sisi ranjangnya. Ada meja berkaki tiga di sebelahnya, dengan nampan yang di atasnya terdapat mangkuk yang mengepul juga secangkir teh chamomile yang sedap di hidung.

"Terence?" Asa seperti bermimpi melihat Terence. Pemuda itu baik-baik saja, kecuali beberapa memar yang terdapat pada sudut mata dan pelipisnya.

"Saya di sini, Tuan. Apa anda membutuhkan sesuatu?" Terence sedikit menggeser kursinya mendekat hingga menimbulkan derit pelan yang menyatu dengan ubin kayu di bawahnya.

Asa diam sejenak, menggerakkan kedua tangannya untuk memastikan tak ada belenggu di sana. Dirinya bebas, pun kedua kakinya dapat bergerak tanpa ikatan. Bekas yang ada pada kulitnya pun telah diobati dengan ramuan herbal entah dari mana. Meski masih perih, namun Asa merasa jauh lebih baik.

"Anda pasti lapar," Terence kembali berujar ketika tuannya masih tenggelam dalam keheranan. "Saya membawakan sup iga sapi."

Asa duduk dengan dibantu oleh Terence. Punggungnya terasa kaku bukan main ketika Asa bersandar pada kepala ranjang yang terbuat dari kayu.

Terence mengaduk sup iga di tangannya, menyendok kuahnya dan menyuapkannya pada Asa yang diterima anak itu tanpa banyak bicara.

Asa menelan kuah hangat yang membasahi tenggorokannya. Merasakan rasa sedap yang mencecap lidahnya sembari memerhatikan Terence yang dengan telaten memisahkan daging iga dari tulangnya.

"Maafkan aku," Asa berujar dengan suara pelan usai memikirkan matang-matang kesalahannya yang bisa berakibat fatal pada pemuda di depannya.

Terence tersenyum tipis, "Tidak apa. Aku mengerti bagaimana perasaan anda, Tuan."

Tidak, Terence tidak akan bisa mengerti perasaannya. Perasaan seorang anak yang terpisah dari orang tuanya. Perasaan seorang omega yang mendapatkan alpha yang tidak mencintainya. Perasaan seorang omega yang dipaksa memiliki anak dari seorang yang tak disukainya.

Terence tak akan paham.

"Anda ingin pergi keluar untuk berjalan-jalan?" tawar Terence ketika melihat kelam yang menyeliputi sang rupawan.

"Ini murni dari ajakan saya, Tuan. Yang Mulia pun mengijinkan saya untuk menemani anda kemana pun dan kapan pun anda inginkan."

"Termasuk pulang ke rumah dan menemui kedua orang tuaku?"

Untuk sesaat Terence kehilangan kata-kata untuk menjawab. Permintaan tidak terduga itu di luar dugaannya.

"Maaf Tuan, hanya di sekitar istana. Tidak sampai keluar dari gerbang utama."

Asa tersenyum getir. Namun meski begitu, ia sedikit lega karena itu artinya raja bengis itu sudah sedikit memberikan kebebasan untuknya.

Solomon benar, jika ia bersikap patuh sedikit lebih lama, pasti raja tak akan segan untuk memberikannya banyak kebebasan. Dan di saat itu tiba, ia akan mencari cara untuk keluar dari jerat milik raja.

"Aku ingin membaca," ujar Asa kemudian setelah memikirkan hal apa yang ingin ia lakukan hari ini.

Seberkas senyuman pun muncul di wajah Terence. Dengan penuh semangat, pemuda itu pun mengiyakan ajakannya.

Little Lily (Heejay)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang