[Jakarta, 2005]
SEPEDA, sepeda, sepeda.
Bagi Ganesha Putra Dananjaya yang masih berusia 9 tahun, sepeda roda dua berwarna biru yang dibelikan ayahnya saat dirinya berulang tahun yang ke 8 merupakan benda paling berharga yang ia punya. Setiap hari bocah itu akan mengeluarkan sepeda kesayangannya untuk berkeliling komplek. Terkadang ia mengajak Pramana—kakaknya yang akrab disapa Mana, kadang ia mengajak sahabat karibnya yang tinggal di perumahan sebelah yaitu Nawang, tak jarang pula Ganesh memilih bersepeda sendirian.
Dan hari ini, Ganesh memilih untuk merecoki Nawang yang sebenarnya baru pulang memancing bersama Papinya. Alasan Ganesh, Nawang sudah berjanji akan menemaninya bersepeda di hari Minggu ini. Makanya ia bertandang ke rumah sang sahabat untuk menagih janji.
Nawang pun tak punya pilihan lain selain menurutinya.
Maminya Nawang, Mami Yuni hanya berpesan, "Jangan lama-lama ya main sepedanya! Nana kan baru pulang, nanti kecapekan." Begitu katanya saat berpesan pada Nana—sapaan akrab Nawang saat di rumah.
Jadilah sore itu, Ganesh kembali ke rumah lebih cepat daripada biasanya. Ia tidak mau dimarahi Mami Yuni kalau terlambat mengembalikan putranya.
Kayuhan sepeda Ganesh melambat begitu ia berbelok pada gang tempat rumahnya berada. Kedua matanya bisa menangkap rumah berwarna biru yang menjadi tempat berlindungnya sedari dalam kandungan.
Namun pandangan Ganesh teralih, saat melihat seorang anak kecil—yang sepertinya lebih muda darinya—tengah berdiri lesu di depan rumahnya. Kepalanya menunduk, entah menatap apa.
Ganesh menghentikan kayuhannya, membuat sepeda biru itu berhenti tepat di depan rumahnya. Tatapan Ganesh masih melekat pada si bocah kecil. Hingga tiba-tiba anak itu mengangkat pandangannya, menatap tepat ke arah Ganesh.
Mata bulat itu menatap Ganesh dengan sendu. Dan mulut mungilnya membentuk lengkungan ke bawah.
Gemas.
Ganesh masih berada di atas sepedanya, saat bocah kecil itu berjalan mendekatinya.
"Kamu lihat yang jual es tung tung nggak?" tanya bocah itu. Ganesh melirik tangan sosok mungil di depannya. Ia bisa melihat uang kertas yang menjadi tak berbentuk akibat rematan kecilnya.
Ganesh menaikkan pandangan. Ia menggelengkan kepala. Es tung tung? Ganesh tidak melihat bapak penjual es tung tung yang memang biasa lewat di depan rumahnya. Ia tadi kan bersepeda di area rumah Nawang, jadi tidak melihat si bapak penjual es tung tung.
Bocah lelaki yang Ganesh tidak ketahui namanya itu, tampak semakin melengkungkan bibirnya. Kali ini sedikit cemberut, dengan mata yang semakin berkaca-kaca. Mungkin saja air matanya bisa tumpah jika saja Ganesh tidak segera membuka suara.
"Kamu mau beli es tung tung?" tanya Ganesh.
Anak itu menganggukkan kepalanya pelan sambil mengangkat uang seribu rupiah yang sedaritadi dirematnya. "Aku mau beli, tapi udah hilang."
KAMU SEDANG MEMBACA
✅️ FIRST AND LAST | NOREN (REPUBLISH)
FanfictionKata orang, cinta pertama tidak akan pernah tergantikan. Dan Aresa setuju. Baginya, cinta pertamanya datang saat dirinya masih bocah ingusan yang duduk di bangku SD. Terdengar seperti bualan cinta monyet remaja tapi begitulah kenyataannya. Aresa jat...