Kata orang, cinta pertama tidak akan pernah tergantikan. Dan Aresa setuju. Baginya, cinta pertamanya datang saat dirinya masih bocah ingusan yang duduk di bangku SD. Terdengar seperti bualan cinta monyet remaja tapi begitulah kenyataannya. Aresa jat...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[Jakarta, 2005]
HARI Senin lagi.
Rasa-rasanya kok hari Minggu berjalan cepat sekali ya? Ganesh belum puas bermain di akhir pekan, tapi mau bagaimana lagi kalau hari telah berganti dan mau tidak mau Ganesh harus berangkat ke sekolah atau Bunda Ira akan mengomelinya tujuh hari tujuh malam.
"Nesh, udah buat PR mengarang?"
Belum juga Ganesh meletakkan tasnya, ia sudah disambut oleh Nawang yang hari ini berpenampilan berbeda dari biasanya. Kening Ganesh berkerut saat melihat rambut Nawang yang biasanya rapi dibelah tengah, kini tertata jabrik seperti habis tersetrum.
"Rambut kamu kenapa?" tanya Ganesh salah fokus.
Sedangkan Nawang reflek menyentuh rambutnya. "Hah? Kenapa memangnya? Rambutku nggak kenapa-napa kok. Tadi Tanteku yang nyisirin. Katanya aku jadi ganteng kayak artis di TV."
Kening Ganesh mengerut. Ia tidak percaya dengan bualan Nawang. Menurutnya, rambut Nawang malah mirip Arnold yang ada di serial kartun Hey Arnold! di televisi yang sering ditontonnya bersama kakaknya.
Namun Ganesh memilih tidak terlalu memikirkannya. Ia kembali bergerak, meletakkan tasnya di atas bangku, tepatnya di sebelah Nawang yang sudah menguasai kursi pojok dekat jendela.
"Kamu udah ngerjain PR mengarang belum, Nesh?" Nawang kembali bertanya saat tidak ada tanda-tanda Ganesh akan menjawab pertanyaannya tadi.
Dengan senyum bangga, Nawang mengeluarkan buku tulisnya. "Udah juga dong! Dibantu Mami semalem."
Ganesh hanya berdecak saat melirik buku tulis Nawang. Tulisannya sangat rapi. Siapapun bisa tahu kalau itu bukan tulisan Nawang yang seperti ceker ayam. Pasti dibuatkan Mami Yuni.
Namun lagi-lagi Ganesh tak mau ambil pusing. Biar itu jadi urusan Nawang dengan gurunya nanti.
Tidak sampai sepuluh menit, bel sekolah berbunyi nyaring. Anak-anak kelas empat SD tersebut segera berbondong memasuki kelas. Kebetulan hari ini upacara ditiadakan, entah apa alasannya, Ganesh tidak tahu dan tidak peduli.
Guru belum masuk dan layaknya anak-anak pada umumnya, kelas tersebut sangatlah ramai. Ada yang mengobrol, ada yang bermain, ada yang menyanyi, meskipun ada pula yang tidur di pojokan.
Suasana gaduh masih memenuhi ruang kelas, hingga saat pintu terbuka, tiba-tiba hening menyergap. Murid-murid tersebut bergegas memposisikan diri di tempat duduknya masing-masing—menyambut guru wali kelas mereka yang baru saja masuk.
"Selamat pagi, Anak-anak!" sapa guru muda yang akrab disapa Bu Susi tersebut.
Kelas yang tadi hening, seketika kembali gaduh oleh suara bisik-bisik, saat mereka menyadari ada sosok mungil mengikuti di belakang Bu Susi.