bab 3

93 48 8
                                    

"ngenteni sopo manek iki?" (Nunggu siapa lagi ini) Obrolan singkat antara diasa, diana dan mas afran terhenti seketika. Kita bertiga sama-sama menatap satu objek yang sama. Pertanyaan dari mas yoga mendapatkan gelengan kepala dari kami bertiga.

"Ngenteni aisyah, arek e sek ndek dalan" (nunggu aisyah, anaknya masih di jalan) sautan dari mas bilal, membuat  kita bertiga kembali melanjutkan obrolan.

"Loh sek talah mas, lek diana ambek samean. Terus aku ambek sopo?"(Tunggu dulu mas, kalau diana sama kamu. Terus aku sama siapa?) Diasa ini memang manusia yang seringkali tidak peduli. Bersama siapapun dia oke-oke saja. Asalkan diasa datang dan pulang dengan selamat.

"Koen iki yaopo seh di, arek kok mesti. Kan aku wes wara nak wa bareng ambek zen, mangkane talah duwe wa iku ojok diwoco tok. Uwong kok unik ngunu" (kamu ini ya apa sih di, anak kok mesti. Kan aku sudah bilang di wa bareng sama zen, makanya punya wa itu jangan dibaca aja. Orang kok unik gini)  menggelengkan kepalanya, mas afran ini jika berhubungan dengan diasa entah kenapa selalu darah tinggi. Tapi jika berurusan dengan diana, berubah menjadi lelaki yang gampang mengumbar tawa dan senyum. Hilih. Memang cinta dapat mengubah segalanya.

"Assalamualikum bro-bro" teriakan itu kontan mendapatkan atensi dari berbagai pihak. Sosok yang ditunggu dari tadi, datang dengan cengiran khasnya. Mbak aisyah, kakak tingkatnya beberapa tahun lalu ini datang dengan ber leyeh-leyeh. Padahal mereka menunggu hampir 30 menitan. Pengumuman berangkatnya pukul 19.00. terlambat hampir 30 menitan.

"Dienteni ketmau, koyok ratu ae suwi men" (ditunggu daritadi, kayak ratu aja lama banget)

"Koen numpak opo seh, ngomong sek nak dalan-nak dalan. Mosok karang tembok-irawati kyok teko suroboyo-meduro syah" (kamu naik apa sih, ngomong masih di jalan. Masa karang tembok-irawati kayak dari surabaya-madura syah)

Dua celetukan itu berasal dari mas bilal dan mas afran. Mereka berdua memang akrab dengan mbak aisyah, sedangkan diasa dan diana hanya sekedar tau. Meskipun kita pernah berada dalam satu organisasi yang sama. Tapi, kakak tingkat tetaplah kakak tingkat yang punya "pembatas" tak kasat mata.

"Wes ayo ndang budal, aku dewean. Yoga ambek aisyah. Diana ambek afran. Diasa karo zen. Mencaro wes gakpopo, pokok e ngkok ketemu nak gubeng"(sudah ayo cepet berangkat, aku sendirian. Yoga sama aisyah. Diana sama afran. Diasa sama zen. Mencar ya gakpapa, pokoknya nanti ketemu di gubeng) mas bilal, selaku kakak tingkat yang paling "sepuh" dari semuanya. Membagikan tim yang akan berboncengan.

"Mateng"-batinnya.  Hati siapa yang tidak berdentum jika berboncengan dengan seorang "crush". Diasa menahan senyum daritadi, berharap dag-dig-dug hatinya tak terdengar. Apakah ini sudah saatnya menentukan mau memakai adat mana, apakah ini sudah saatnya menentukan tanggal berapa mereka akan melangsungkan pernikahan.

Sumpah diasa, ini hanya tentang naik motor berdua. So stop, memikirkan hal-hal remeh dikepala mu yang tak seberapa itu. Harusnya saat ini, diasa mengabari sang ibunda tercinta. Tapi tak apa, bisa nanti. Sedangkan, momen berdua diatas motor tidak bisa dinikmati dua kali.

"Sak gorong e awakdewe budal, monggo berdoa menurut kepercayaan masing-masing. Mandar perjalanan iki lancar. Budal moleh selamet" (sebelum kita semua berangkat, silahkan berdoa menurut kepercayaan masing-masing. Semoga perjalanan ini lancar. Berangkat pulang selamat) ucap mas bilal, menundukan kepala. Takdim kepada tuhan yang maha esa, semoga perjalanan malam ini benar-benar lancar tanpa hambatan.

Setelah berdoa, mereka kembali ke tim mereka masing-masing. Menaiki motor kesayangan. Mengecek semua perlengkapan sebelum berangkat.

"Tasmu dele ngarep kene di"(tasmu taruh depan sini di) suara mas zen mengagetkan diasa yang daritadi hanya termenung menatap sang objek yang entah melakukan apa.

Sedangkan diasa yang tak enak hati hanya menyahuti "gausah wes mas tak gendongi ae, iki abot." (gausah mas, aku gendong aja, ini berat) bukan apa motor mas zen ini cuman motor jadul yang entah apa sebutannya, berarti kan tasnya harus dipangku. Apalagi tas diasa ini lumayan berat isinya.

"Loh gapopo, wes talah deleken rene" (loh gapapa, sudah taruh di sini).

Dengan tak enak hati diasa memberikan tasnya "ngene kok diwara abot"(gini kok dibilang berat)

"Mas, kirane samean kesel, engkok gantian yo." (Mas, kalau kamu capek nanti gantian ya) diasa sungguh tak enak hati, perjalanan dari surabaya-mojokerto ini lumayan lama. Apalagi kita ber-9 rombongan. Tentu akan memakan waktu, untuk saling menunggu satu dengan yang lainnya.

Klakson tim yang satu dan lainnya sudah dibunyikan, pertanda mereka akan memulai perjalanan.

Sedangkan diasa tak tenang, tasnya dipangkuan sang pujaan. Tapi hatinya yang meleleh tak karuan. Dasar, jatuh cinta membuat seorang tidak realistis ternyata.

...

Keheningan menyelimuti perjalanan mereka, penentu arah dari kak bilal memperlancar semuanya. Diana dan mas afran sedang berbincang entah apa.

"Saiki kerjo neng ndi?"(Sekarang kerja dimana?) Pertanyaan itu mengehentikan kesunyian diantara mereka berdua. Suara mas zen yang berat, menghentikan kepala diasa yang penuh akan suara lainnya.

"Ndek jne seh" (di jne sih)

"Gaopo dijalani ae, aku gak nguruk i seh cuman berbagi pengalaman ae. Sebagai mas"(gapapa dijalani aja, aku gak menggurui sih cuman berbagi pengalaman aja. Sebagai mas) padahal kan diasa berharap lebih, bukan sekedar kakak tingkat dan adik tingkat.

Percakapan mereka berdua berlanjut sampai dimana mereka berempat (diasa -mas zen, mas yoga-mbak aisyah) berhenti di sebuah pasar sederhana.

"Kok mrene mas zen?"(Kok kesini mas zen?) Karna setau diasa stasiun gubeng masih jauh.

"Iyo, atene tumbas ikiloh sop-sopan gae arek-arek. Koen gak atene mangan iwak ta?" (Iya, mau beli sop buat anak-anak. Kamu gak mau makan ikan ta?) Mereka berdua berhenti di kios kosong yang tertutup. Tak berselang lama, mbak aisyah dan mas yoga menyusul.

"Melok gak?" (Ikut gak?) Ajak, mas zen.
Diasa menggeleng. Bukan karna apa, kalau diasa ikut, siapa yang akan menjaga sepeda motor mereka berdua?

"Syah, jogoen. Yawes karo aisyah ae. Ayo ga" (syah, jagain. Yasudah sama aisyah aja. Ayo ga) akhirnya mas zen, hanya berdua dengan mas yoga membeli lauk pauk sederhana.

Mereka perempuan berdua ngapain? Pastinya hanya menjaga barang-barang. *Syah, jagain. Ucapan mas zen beberapa detik yang lalu meninggalkan pertanyaan di hati diasa, jadi dia ini dititipkan ke mbak aisyah? Atau mas zen ini menitipkan barang-barangnya. Tapi kan, diasa tidak mau merasa percaya diri. Bisa jadi kan mas zen, menyuruh mbak aisyah menjaga barang-barangnya hanya karna takut hilang? Bukan karna disuruh menjaga diasa kan? Iya kan?

Memangnya diasa seberharga itu? Sepertinya tidak. Diasa hanya remehan rengginang yang diberikan nyawa secara percuma oleh tuhan. Itupun sering diasa sia-siakan. Jadi tuhan, bisakah diasa meminta malam ini berjalan agak lama? Supaya kenangan ini membekas selamanya. Meskipun tidak bisa diulang, tapi kisahnya melekat sampai beberapa tahun kedepan. Meskipun nantinya tak menjadi apa-apa, tapi diasa sudah merasakan bagaimana rasanya mendapatkan "cinta-kasih" walau hanya sementara. Atau bahkan beberapa hari ini saja.

A glimpse of usTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang