Jam menunjukan pukul 11.30 dan mereka semua masih berada di area tengah-tengah hutan belantara. Tapi tak apa, tidak ada panas menyengat yang langsung menyilaukan mata.
Mas zen, diasa, maisa melanjutkan perjalanan ke pos outbound berikutnya. Entahlah, permainan apa yang para panitia adakan. Mereka bertiga hanya berniat untuk melakukan perjalanan.
Diasa menggandeng tangan maisa, sementara mas zen ada di depan mereka berdua.
"Mas, mandek diluk. Aku ambek diasa ate foto" (mas, berhenti sebentar. Aku sama diasa mau foto) maisa menyuruh mas zen berhenti sebentar. Bukan karna apa, tapi pemandangan disini sedang bagus-bagusnya.
"Jalok tolong fotokno" (minta tolong fotoin) maisa menyerahkan handphonenya untuk mas zen potret.
Diasa terpukau, pemandangan indah yang nyata ini hanya ada di mojokerto. Hasil foto dari seorang zenandra pun tak bisa diragukan hasilnya.
"Loh, diasa kok ketok ayu nak rene? Delok en ta rupo ku" (loh, diasa kok kelihatan cantik di sini? Lihat wajahku ta) maisa memperlihatkan hasil fotonya kepada zenandra dan diasa.
Sedangkan diasa mengerutkan alisnya, yang ia lihat normal-normal saja. Tidak ada yang blur, atau foto yang tidak jelas.
"Opo seh mai, ancen ngunu teko pabrik e. Editen gae remini lak yo wes" (apasih mai, emang gitu dari pabriknya. Edit pake remini beres) mas zen mengembalikan handphone maisa.
" Yawes gantian, samean seng tak foto karo dia." (Yaudah Gantian, kamu yang foto sama dia) Saran dari seorang maisa tentunya tak berjalan lancar, zenandra yang kaku dan seorang diasa yang tampak malu-malu.
"Cepetan, ngkok selak siang." (Cepetan, nanti keburu siang) Jadi, mau tak mau zenandra dan diasa bersebelahan.
"Loh lapo?" (Loh ngapain?) Suara yang mereka faham meskipun tidak bertatap muka. Suara mas bilal dan rombongannya.
"Ate nge-foto wong loro iki. Gak gelem mepet-mepet ket mau" (mau nge-foto anak dua ini. Gak mau mepet-mepet dari tadi) maisa menjelaskan kepada mas bilal dan rombongannya. Padahal diasa sudah berada diposisi yang sama sejak tadi. Ini mepet-mepet seperti apa yang dimaksud seorang maisa?
"Bo, mepet dewe opo di mepetno arek-arek?" (Bo, mepet sendiri apa di pepetin anak-anak?) Ide dari mas bilal yang tentu saja mendapatkan respon yang berbeda-beda
"Tak mepet dewe, wes gak usah repot-repot" (tak mepet sendiri, udah gak usah repot-repot) akhirnya seorang zenandra mendekat 3 meteran dari jaraknya seharusnya.
"Kurang bo, ngene loh. Kaku men koyok kanebo kering. Anggep ae gladi kotor lek awakmu rabi ambek dias" (kurang bo, gini loh. Kaku banget kayak kanebo kering. Anggep aja gladi kotor kalau kamu nikah sama dias) mas bilal menggeret lengan zenandra mendekat kembali ke arah diasa, jadi yang semulanya berjarak 10meter kini dipangkas menjadi 3meter. Memang ide dari seorang mas bilal, tidak dapat dicerna oleh akal manusia.
Setelah mas zen dipaksa mendekat ke samping diasa, mereka berdua melihat kamera dengan gaya yang sama. Tersenyum ke kamera, tangan menutup perut ke bawah.
"Gaya bebas" mas bilal mengarahkan kamera. Padahalkan niat awal hanya maisa dan diasa yang berfoto ria. Entah kenapa sekarang malah seorang zenandra dan diasa yang dipaksa.
"Wes alah mas, akeh-akeh yo gae opo" (sudah lah mas, banyak-banyak ya buat apa) karna sejujurnya diasa malu dilihat oleh para peserta yang akan lewat ke pos berikutnya. Meskipun sesi foto berdua bersama seorang zenandra tidak dapat diulang kembali.
Mereka menyingkirkan diri sejenak, mempersilahkan para peserta untuk ke pos beriktunya.
"Yawes lek gak gelem dis, mumpung gak onok udin. Yawes ayo nak pos selanjut e ae. Lumayan zen simpen nak kolong e kasur gae wedi-wediane tikus" (yasudah kalau gak mau dis, mumpung gak ada udin. Yaudah ayo ke pos selanjutnya aja. Lumayan simpen di bawah kolongnya kasur buat nakut-nakutin tikus) kan baru beberapa menit yang lalu mereka, aman damai. Mas bilal yang suka menggoda diasa ini kembali membuat ulah.
Menyuruh zenandra menyimpan fotonya dibawah kolong kasur untuk menakuti-nakuti seekor tikus. Diasa yakin seorang zenandra tidak akan tega melakukannya.
.
.
.Hampir mendekati area sungai, diasa menggandeng tangan maisa disebelah kiri dan zhifa disebelah kanannya. Mbak aisyah dan diana ada di belakang, bersama cak udin dan mas zafran. Zenandra dan mas bilal tentunya ada di depan.
"Mas bil, samean gorong ados kan? Tak jegurno opo ados dewe" (mas bil, kamu belum mandi kan? Tak dorong apa mandi sendiri) diasa bertanya ke mas bilal, tanpa sadar diri. Padahal ia sendiripun belum mandi. Hanya mencuci muka dan gosok gigi tadi pagi.
"Adosno dong dis, ojok wes pinggirku iki moreng-moreng ngkok. Yo kan bo?" (Mandiin dong dis, jangan deh sebelahku ini marah-marah nanti. Ya kan bo?) Mas bilal menepuk pundak zenandra, sedangkan yang ditanya hanya tertawa.
Karna jalan menuju ke area sungai ini agak licin dan terjal. Jadi, mas bilal menyarankan "yaopo seh panitia iki gak onok seng jogo area kene, zen nak buri. Aku seng ndek ngarep ae. Seng wedok cek isok cekelan nak aku. Awakmu jogo buri zen, burine diasa iku. Wedi gelundung arek iki" (ya apa sih panitia ini gak ada yang jaga area sini, zen di belakang. Aku yang di depan aja. Yang cewek biar bisa pegangan ke aku. Kamu jaga belakang zen, belakangnya diasa itu. Takut menggelundung anak ini) meskipun mas bilal ini banyak tingkah, tetap saja rasa menjaganya terhadap diasa dan para wanita layak diacungi jempol.
Jadi posisinya, mas bilal di depan. Maisa di belakang mas bilal, zhifa di belakang maisa. Dan diasa di belakang zhifa. Sedangkan zenandra, di belakang sendiri. Menjaga para perempuan takut tergelincir.
"Sopo seh seng duwe ide melaku totok kene iku?" (Siapa sih yang punya ide jalan sampe sini itu?) Diasa mengomel sepanjang perjalanan turun ke bawah sungai
"Lali arek iki, bien awakdewe yo tau ngene iki. Cekelan di, ojok koyok wong oke. Tibo kene gak lucu" (lali anak ini, dulu kita ya pernah gini. Pegangan di, jangan kayak orang 'oke'. Jatuh di sini gak lucu) diasa menoleh ke belakang, mas zen dengan mimik wajah yang seriusnya menjawab pertanyaan konyol diasa.
Diasa sudah tau, karna ketika angkatannya menjadi peserta dan angkatan zenandra yang menjadi panitia. Di lokasi yang sama, jalan yang sama, tapi dengan perasaan yang berbeda.
Diasa hampir terpleset, untungnya tangan seorang zenandra bergerak dengan gesit. Jatuh mungkin tidak seberapa sakitnya, tapi rasa malunya bisa menembus semua angkasa.
"Loh kan, dikandani ngeyel." (Loh kan, dibilangin ngeyel) omelan dari zenandra, menimbulkan senyuman kecil dibibir diasa. padahal diasa hanya nyaris terpeleset. Bukan pergi menghadap sang ilahi.
"Gapapa kan? Kene ae tak tuntuni" (Gapapa kan? Sini aja tak tuntun) zenandra menggandeng tangan diasa, sedangkan yang lain hanya menatap seksama. Sudah mereka kira, sorang zenandra tak akan diam saja.
Meskipun daritadi zenandra ini diam saja, nyatanya mata dan gerak-geriknya memantau diasa dengan tajam. Meskipun ia daritadi hanya menyimak percakapan, tapi sang pemeran utama tak tinggal diam.
Diasa, mungkin tak menyadari secara perlahan-lahan Diasa sudah ditarik masuk ke dunia zenandra. Meskipun di dalam dunia diasa banyak hiruk-pikuk keadaan, tak lantas membuat zenandra tak ingin mengenal lebih dalam. Cukup diam, ia pasti tau kapan tenaga dan suaranya dibutuhkan seorang diasa.
Mungkin dulunya, mereka memang seorang adik kelas dan kakak kelas saja. Tapi, buku takdir tidak ada satupun yang bisa mengintipnya. Jadi, tolong temani dua insan ini untuk saling memastikan, entah suatu saat cintanya sampai pada tujuan, atau hanya saling menggengam ke-engganan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A glimpse of us
Teen FictionDiantara banyaknya manusia, kenapa harus kita berdua yang terjebak tanpa kata perpisahan? Diantara banyaknya kisah, kenapa harus kisah kita berdua yang tak berakhir dengan semestinya. Pertanyaan "kenapa" selalu menimbulkan tanda tanya yang tak perna...