Bab 25

18 3 0
                                    

Awan mendung menghiasi kota Surabaya. Angin berdesir, membawa hawa kesejukan yang membuat seorang perempuan enggan beranjak dari kasurnya.

Alarmnya berbunyi nyaring, pertanda bahwa ia harus bangun dari mimpi yang ia susun. Badannya linu, sepertinya akibat tak tidur semaleman waktu di Mojokerto.

Profesionalitas ketika menginjak dewasa adalah pura-pura sehat. Duh, Diasa rasanya ingin menutup mata lagi. Kantuknya, masih menyerangnya hingga dini.

Berlari ke arah kamar mandi, mengguyur badan meskipun hawa dingin menyerang dan menusuk tulang.

.
.
.

"Ma, motorku wingi wes di tumbasno bensin ta?" (Ma, motorku kemarin udah dibeliin bensin ta?) Menggeret kursi, Diasa duduk di meja makan sederhananya.

Mamanya berada di dapur, menyempatkan memasak walaupun nanti jam 9 ia harus pergi bekerja.

"Uwes, gak atene gowo bekel ta?" (Udah, gak mau bawa bekal kah?) Suara sang mama menggelegar di rumah yang senantiasa sepi ini. Kecuali, jika ada sang Adik perempuan satu-satunya itu.

Menelan makanan yang masih ia cerna, Diasa menolehkan kepalanya ke kanan-kiri. Melihat sekeliling rumah yang masih tak berwarna ini. Kini, ia menjadi anak perempuan satu-satunya. Dulu, Diasa selalu berdoa agar tidak usah memiliki Adik. Nyatanya, setelah 3 tahun ia lahir ke dunia-Mamanya, malah memberikan kejutan tak terduga.

"Gawakno tolong. Aku uwes Ma." (Bawain tolong. Aku udah Ma) Porsi makannya memang sedikit jika stress. Diasa kembali memperbaiki letak kursi makannya ke tempat semula. Membersihkan sisa makanan yang berantakan di meja makan.

Pergi ke Dapur sambil mencuci piring bekas ia makan. Diasa bersyukur, Mamanya tidak pernah mendidik  Diasa menjadi perempuan yang pemalas. Jadi, tumbulah Diasa menjadi anak perempuan yang selalu mempunyai inisiatif tanpa disuruh.

Mamanya, memberikan tempat bekal yang akan Diasa makan nanti sore. Jam kerjanya 11 jam. Tapi, ketika hari Sabtu ia pulang lebih cepat. Dan seperti kebanyakan tempat kerja lainnya, Diasa libur ketika hari minggu.

"Kemarin, dianter pulang siapa mbak?" Membereskan Dapur yang berantakan, meng-ngelap Dapur yang kotor karna percikan minyak dan segala bumbu yang sempat tumpah. Mamanya, masih bisa bertanya tentang hal semalem.

Diasa mengernyitkan dahi, meskipun ia orang yang terbuka tapi tak biasanya mamanya penasaran sebegitunya. "Oh, Mas Zen. Kakak kelasnya Diasa dulu" Diasa menjawab, sambil mencomot pisang goreng yang Mamanya buat.

Mamanya berdecih "Kok, ngobrolnya lama?"

Diasa memelotokan matanya, mendegus sambil berlalu ke arah ruang keluarga. "Ya, kalau mau cepet mah ngobrol sama customer service Ma. Lagian Mbak juga udah dijaga baik sama dia. Ya masak langsung aku tingggal masuk ke dalem rumah ma."

Ternyata Mamanya mengikutinya dari belakang. Memukul lengan Diasa pelan. Sambil mengomel khas-khas ibu-ibu jaman sekarang. "maksudnya Mama, kenapa gak diajak masuk kedalam. Terus kenapa malah ngobrol lama di luar? Kamu iniloh suka banget nyimpulin semuanya sendiri."

"Loh, kalau Mbak ajak masuk ke dalem rumah. Nanti Ayah mikirnya macem-macem. Lagian, Mas Zen juga capek kali Ma." Diasa melihat ke arah jam dinding yang masih menunjukan pukul 07.15, masih ada banyak waktu untuk berleyeh-leyeh sebelum menerjang dunia.

"Itu, Zenandra yang dulu kamu ceritain ke Mama kan Mbak? Yang katanya, satu-satunya kakak kelasmu yang gak banyak omong itu kan?" Mamanya menjentikan jari tepat di depan wajah Diasa. Seakan mendapatkan sebuah ide cemerlang.

Diasa memang orang yang terbuka, hal sekecil apapun ia ceritakan pada orang tuanya. Dan kedua orang tuanya pun, selalu mendengarkan dan membuka telinga meskipun anak perempuannya sering bercerita meskipun tanpa ada ujungnya.

Diasa menganggukan kepalanya. Memberikan jawaban atas rasa penasaran mamanya. Beberapa tahun yang lalu, ketika Masa Orientasi Siswa,  diantara para osis lainnya-seorang Zenandra berbeda dengan teman sebayanya. Satu-satunya kakak pembina yang tak banyak bicara dan bersuara.

"Gitu itu karna apa ya mbak?" Tanya, mamanya penasaran.

Sedangkan Diasa mengernyit keheranan "gitu itu apa ma?"

"Ya, itu Zenandra itu kenapa bisa-bisanya jadi orang yang gak pernah ngomong?" Mimik wajah mamanya seperti anak kecil yang selalu ingin tau urusan orang dewasa. Tapi, Mamanya ini memang selalu mempunyai pertanyaan-pertanyaan kecil di kepala.

"Ya gak tau lah Ma. Males ngomong. Males membuka suara. Satu-satunya alesan biar tenaga gak terkuras banyak. Gak tau deh Ma. Coba Mama tanya langsung sama orangnya." Ucap Diasa sambil mengecek barang yang akan ia bawa ketika bekerja nanti.

"Loh ya apa, kamu aja tanyain sana. Apa karena gak pernah ngomong di keluarganya ya Mbak? Atau, mungkin keluarganya itu gak pernah nanyain hari-harinya Mas ini. Kalau gak gitu ya, mungkin tipe keluarga kaku gitu kali ya." Mamanya menyimpulkan sendiri, padahal jam sudah menunjukan pukul 07.45

Biasanya, Diasa berangkat ketika pukul 07.30 tapi untuk hari ini ia diberikan kelonggaran karena akan bertukar Tempat dengan anak baru yang baru saja di training satu bulan ini.

"Gak tau ma, Mbak gak bakalan tau kalau Mbak gak nanya langsung. Lagian, Mama kenapa suka banget nyimpulin sendiri? Aku juga sama Mas Zen gak sedeket itu loh ma. Tapi, kalau nanti dia cerita kayaknya aku tau. Atau, aku yang harus cari tau?-eh tapi, kalau aku tau penyebabnya, aku mau ngapain? Itukan bukan urusanku Ma?" Tas ransel kecil yang berisi barang-barang perlengkapannya sudah ia gendong.

Memakai hoodie kesukaannya, Serta Helm bogo kesayangannya-masker dan kacamata yang melengkapi penampilannya. Diasa memanasi motornya.

Sedangkan Mamanya kembali menyusul ke depan. "Ya jadi temen buat nampung semua ceritanya. Siapa tau, dia butuh temen cerita. Itukan gunanya manusia Dis. Setidaknya kalau gak bisa menjadi manusia yang taat-Jadilah manusia yang baik ke sesama. Habbluminallah dan habbliminannasnya harus seimbang." Mamanya, kembali menasehati Diasa.

Sedangkan Diasa menggerutu tak terima. "Ada psikolog Ma. Lagian, kita baik ke orang belum tentu juga orang baik ke kita ya kan?"

Pertanyaan dari Diasa membuat mamanya menggelengkan kepala. Dengan sabar Mamanya menjawab "kalau kita udah baik sama orang itu-tapi orang itu gak baik ke kita, yaudah gakpapa. Asalkan, jangan kita yang jahat ke orang. Paham Diasa?"

Diasa hanya menganggukan kepalanya, Mamanya memang suka sekali memberi kultum di pagi buta. Bahkan, yang dibahas keluar dari topik yang semula.

Diasa mencium punggung tangan mamanya, dan berpamitan seperti biasa. Meskipun, mereka sekeluarga hidup sederhana tapi Diasa suka dengan dunianya.

Mungkin, jika ada kehidupan kedua ia akan meminta untuk kembali di lahirkan di rahim sang Mama. Cinta pertama yang selalu mengajarkan Diasa tentang kebaikan. Cinta pertama yang tak membuatnya patah harapan.

Semoga, Mamanya ini selalu berbahagia dan tuhan panjangkan umurnya. Diasa belum menjadi apa-apa, dan ia harap mamanya masih mau dan mampu untuk menemani bercerita sepanjang waktu.

A glimpse of usTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang