Ternyata, yang dulu diasa tunggu dengan lama. Menghitung jari agar cepat terencana. Kini, malah hitungan jam mereka kembali ke tempat semula. Padahal, ia kira ini akan bertahan lama. Bertemu-bercengkrama dengan suka cita. Lalu, pergi dengan beribu-ribu kenangan sederhana.
Meskipun mereka masih berada di satu kota, belum tentu mereka bisa kembali bersua dengan mudahnya. Satunya sibuk bekerja, satunya lagi sibuk dengan dunianya. Dulu waktu SMA, mereka kira pertemuan di luar sekolah akan dengan mudah terlaksana. Tinggal menentukan mau bertemu dimana mereka semua langsung datang tiba-tiba. Sekarang? Menunggu siapa yang bisa datang, sedangkan sisanya hanya proses mengikhlaskan.
"Di, teko endi ae? Metu ambek mas zen? Tak wa gak dibales. Takok nak mai karo zhifa jare metu karo calon pacar. Wih, mangan opo? Ngono aku yo gak dibungkusi" (di, darimana aja? Keluar sama mas zen? Aku wa gak dibales. Tanya ke mai sama zhifa katanya keluar sama calon pacar. Wih, makan apa? Gitu ya aku gak dibungkusin ) setelah membuka kemeja flanelnya serta hijab instannya. Diasa merebahkan badan sedangkan yang menjadi bantalannya adalah tas yang mas zenandra gendong waktu itu. Ah pertanyaan itu lagi, sebenarnya diana ini sudah tau pastinya . Tapi malah melontarkan perkataan basa-basi yang membuat diasa malas menanggapi.
"Engkok ae din, kesel aku sumpah. Koen gak ate turu ta? Lek gak turu tangikno aku." (Nanti aja din, capek aku sumpah. Kamu gak mau tidur ta? Kalau gak tidur nanti bangunin aku) Kan, diasa dengan sifat tidak tau dirinya keluar. Padahal diana hanya bertanya tentang apa saja zenandra dan diasa lakukan di luar sana. Tapi ya tetap saja, diasa kalau sudah mengantuk susah untuk diajak bicara.
Diana hanya menganggukkan kepala, ia sudah maklum dengan sifat diasa yang memang begitu adanya. Toh, mereka sudah berteman hampir 4 tahunan. Asam-garam pertemanan mereka satu sama lain, bahkan yang pernah diguncang prahara rumit yang mereka jalani, yang justru membuat mereka semakin dekat tanpa perekat. Ada tali penghubung diantara dua manusia yang sekarang ini satu tenda.
.
.
."Di, di. Tangio! udan ikiloh." (Di, di. Bangun! hujan iniloh. ) Diana mengguncangkan bahu diasa yang susah sekali dibangunkan, padahal air hujan sudah mengguyur dengan deras.
Titisan air hujan sudah memercik dimuka diasa, membangunkannya di mimpi yang indah. Dengan mata yang susah dibuka, diasa langsung bangun seketika. Jika tenda ini bocor lumayan bahaya. Barang-barangnya bisa basah terkena terpaan hujan yang membasahi bumi tanpa jeda.
Diana membuka pintu tenda, melihat sekelilingnya yang nampak tenang tanpa suara. Padahal, hujan sedang deras-derasnya. Apa mereka tidak merasakan tenda bocor dari sisi yang lainnya?
"Di, gawe en kelambi joboan mu ambek kudungmu cepetan. Lek aku ngomong mbelayu, mbelayu o! gowoen sak tasmu" (di, pake baju luaranmu sama kerudungmu cepetan. Kalau aku bilang lari, lari! Bawa sama tasmu) aba-aba dari diana membuat diasa tercengang seketika. Ia yang baru saja bangun beberapa menit yang lalu dari tidur nyenyak nya, malah mendapatkan sebuah perintah.
Diasa memakai kemeja flanelnya dan hijab instannya dengan cepat, tak lupa kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. Menggendong tas yang sebesar harapan orang tuanya. Meletakan hp di kantung celana.
Petir menyambar dengan menggelegar "ayo di mbelayu cepetan!" (Ayo di lari cepetan) Bersamaan dengan suara diana yang tak kalah nyaringnya.
Diasa yang masih cengo, melarikan diri mengikuti diana yang jejeritan. Menyuruh para semua penghuni tenda untuk segera ke musholla. Diasa menebak-nebak apa yang terjadi rupanya, sampai membuat seorang diana kelimpungan.
Sampai di musholla, mereka berdua mendapat tatapan dari angkatan adik kelasnya. Bahkan teman sekelasnya dulu menatap mereka berdua dengan suara tawa yang menghiasi mulutnya.
"Opo o din kok mbelayu? Bocor yo tendamu? Dulat" (kenapa din kok lari? Bocor ya tendamu? Rasain) alif menertawakan tingkah mereka berdua yang kebasahan, tanpa membantu membawakan barang-barang yang diasa dan diana emban dengan berat.
"Matamu picek ta lif? Gak ketok a lek gluduk e nyentrong nak moto. Lek tenda gak bocor gak ngara nak rene aku ambek diasa. Mendingan turu nak tenda. (Matamu gak keliatan ta lif? Gak keliatan ta kalau petirnya nyerang ke mata. Kalau tenda gak bocor gak mungkin aku di sini sama diasa. Mendingan tidur di tenda)meskipun diana mengucapakan hal ini sambil tertawa, sedangkan manusia di sebelahnya sudah menampakan tanduknya. Diana ini memang tidak bisa untuk mengeluarkan nada marah. Perempuan berhati lemah, sedangkan diasa perempuan yang selalu bertingkah. Anehnya, mereka berdua bisa satu frekuensi.
Diasa berada di dekat jendela, sedangkan diana berada di sebelah kanannya. Diasa kembali merebahkan badannya, beralaskan bantal yang sama. Sedangkan mukanya ditutupi dengan hoodie yang ia bawa dari surabaya. Biarkan saja. Toh, masih beberapa jam lagi untuk kembali ke surabaya. Biarkan diasa memejamkan matanya sebentar, sebelum menghadapi kota metropolitan kembali.
"Din, aku tak turu mannek. Gugahi lek wes ate ados ae" (din, aku tak tidur lagi. Bangunin kalau udah mau mandi aja) sebelum membalikan badannya menghadap tembok, diasa kembali memberi pesan kepada diana yang hanya mendapatkan gelengan kepala.
.
.
.
."Iku sopo seng turu din?" (Itu siapa yang tidur din?) Pertanyaan dari mas bilal mendapatkan atensi dari mas yoga, mas zafran, cak udin, dan seorang zenandra tentu saja.
"Calonnya mas zen ikuloh" (calonnya mas zen ituloh) untungnya diasa tidur dengan lelap, kalau diasa bangun sudah pasti ia tutup mulut diana dengan kedua tangannya.
"Arek iki gak turu ta din teko ketmau?" (Anak ini gak tidur ta din dari tadi?) Kali ini yang bertanya seorang cak udin, meskipun sering diasa jahili, cak udin tetap saja peduli.
"Yo turu cak, cuman dilut. Mau tak tangeni koyokane linglung arek e. Moto e abang kok sek an." (Ya tidur cak, cuman sebentar. Tadi aku bangunin kayaknya linglung anaknya. Matanya merah masih an) lagi-lagi diana menjawab dengan sabar.
"Ojok digugahi bo, sakno. Wong e ngelu ndas ngkok." (Jangan dibangunin bo, kasian. Orangnya sakit kepala nanti) Padahal cak udin hanya ingin melihat wajah diasa ketika tertidur, tapi mas zen ini sudah mencegah langkahnya.
Mas zen, duduk tepat di depan kaki diasa yang sedang tertidur lelap, bersandar ditembok dengan nyaman. Sedangkan mas bilal, mas yoga, mas zhafran dan cak udin berada tepat dihadapan seorang zenandra.
"Ngene iki koncomu, wes metu gak ngomong-ngomong. Mbok tikung sisan. Padahal, aku seng berjuang mati-matian. Kok isok e awakmu seng diterimo. Loro ati aku zen. Wes gak bolo koen maneh" (gini ini temenmu, udah keluar gak bilang-bilang. Kamu tikung juga. Padahal, aku yang berjuang mati-matian. Kok bisa kamu yang diterima. Sakit hati aku zen. Udah gak temenan sama kamu lagi) cak udin dengan dramanya, berlalu dari hadapan zenandra. Ia berada di sebelah alif yang tidak tau menahu apa-apa.
"Aku ae gorong diterimo"(aku aja belum diterima)ucapan reflek dari zenandra, menimbulkan perhatian dari banyak mata.
"Hah?" Mas bilal yang bingung dengan kondisinya
"Yaopo mas?" (Gimana mas?)-diana
"Genna bo? Gak jelas iki" (serius bo? Gak jelas ini)-mas zhafran
"Mas?mampus" cak udin yang tersenyum bahagia
Sedangkan zenandra tersenyum simpul menolehkan kepala kepada sang pemeran utama yang tertidur lelap setelah menolaknya. Meskipun ia tadi bilang tak apa, nyatanya ada rasa yang tidak terima di dalam dirinya. Penolakan bagi laki-laki adalah hal yang tak bisa diterima, tapi ini seorang zenandra yang selalu berlapang dada. Penolakan diasa memang menyakitinya, jadi bolehkah ia memberi waktu diasa agar menerima perasaannya untuk waktu yang lama? Zenandra bersedia membujuk sang ratu, agar perasaanya dapat berlabuh.
Meskipun beribu luka yang diasa terima, tapi zenandra dapat mengobatinya. Kecuali, jika diasa bilang kalau bukan zenandra orangnya. Tapi percakapan tadi, diasa tak menampik jika itu seorang zenandra. Yang diasa bilang hanya ia butuh waktu yang tak sebentar untuk mengobati perihnya.
Jadi, kita tunggu saja. Entah ketika pulang kembali ke surabaya, atau bahkan 3 bulan setelahnya. Sebab, tidak ada satupun orang yang bisa memberikan jawabannya. Meskipun yang lain sibuk menerka-nerka.
KAMU SEDANG MEMBACA
A glimpse of us
Teen FictionDiantara banyaknya manusia, kenapa harus kita berdua yang terjebak tanpa kata perpisahan? Diantara banyaknya kisah, kenapa harus kisah kita berdua yang tak berakhir dengan semestinya. Pertanyaan "kenapa" selalu menimbulkan tanda tanya yang tak perna...