Bab 6

74 50 4
                                    

Setelah beberapa menit menunggu di persimpangan tanjakan ini. Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Jas hujan yang dipakai, mas zen dan diasa tadi dilepaskannya. Toh, hujan sudah tidak ber-gemericik lagi. Diasa tadinya ingin melepaskan jaket yang mas zen berikan tadi, menggantinya dengan hoodie miliknya sendiri. Tapi ternyata, sang empunya berkata "wes gawien, lek jekek nak tasmu kudu dibongkar lakan. Opo o seh lek gae enggonanku? Dicomblangi arek-arek ta? Wong kok umek"(Udah pake aja, kalau ngambil dari tasmu harus dibongkar lagi. Dicomblangi arek-arek ta? Orang kok banyak tingkah)

Kan jadinya diasa sungkan sendiri, dikembalikan mas zen tersinggung. Sedangkan kalau ia yang memakainya, tidak enak dengan tatapan para kakak tingkatnya. Jadi yasudahlah, toh sekitaran 10 menit lagi mereka akan sampai di tempat acara.

.
.
.

Setelah memakan waktu sekian jam, akhirnya diasa bernafas lega. Melihat jam tangannya, diasa menganga. Perasaan mereka tadi berangkat jam 20.00 tapi sampai di sini sudah jam 00.00. lumayan lama ya, bukan tanpa alasan karna bokongnya agak sakit ternyata sudah selama ini.

Diasa turun dari motor, ingin membuka helm-tapi ternyata helmnya susah dibuka.

"Isok gak buka e?" (Bisa gak bukanya?) Diasa ini, memang suka sekali membuat kericuhan.

"Isok-isok" (bisa-bisa) masih berusaha, ia yakin helmnya akan terbuka dengan sendirinya.

"Rene o tak ewangi" (kesini, aku bantu) diasa menggeleng, menolak. Mau ditaruh dimana mukanya nanti? Ia yang memakai jaket seorang zen saja sudah menjadi buah bibir, apalagi ini.

"Gausah mas, tak jalok tolong nak mbak aisyah ae"( gak usah mas, aku minta tolong ke mbak aisyah aja)

"Mbak aisyah, tolong bukakno helm ku" (mbak aisyah, tolong bukain helm ku) dengan sedikit berteriak, diasa berlari ke arah mbak aisyah yang baru saja turun dari motor.

"Dangak o seh di" (angkat kepalanya di)
Diasa mengadah kepalanya, mengikuti saran dari mbak aisyah.

Di otak-atik beberapa menit pun, helm ini tetap tidak bisa terbuka "gak isok di, mbok apakno iki mau" (gak bisa di, kamu apain ini tadi)

"Gak tak apak-apakno, wes koyok biasane gae helm mbak. Terus yaopo ndasku iki. Mosok gae helm tok. Samean seh mbak. (Gak diapa-apain. Ya kayak biasanya kalau pake helm mbak. Terus ya apa ini kepalaku. Masa harus pake helm terus. Kamu sih mbak)

Diasa ini malu tadinya, karna ia memakai jaket yang diberikan mas zen. Tapi, mbak aisyah ini dengan asbunnya malah menyarankan "lek isin gae helm ae di" (kalau malu, pake helm aja di) nah kan, helmnya macet gak bisa dibuka sampe sekarang.

"Minggir o syah, ketmau gak mari-mari. Mangkane talah ojok angger ngomong" (minggir syah, dari tadi gak selesai-selesai. Makanya jangan asal ngomong)  diasa niatnya ingin menolak, tapi setelah mendengar lanjutan dari ucapan mas zen diasa terkejut mendengarnya. Padahal, ia tau mbak aisyah hanya bercanda. Dan mbak aisyah juga tidak menduga, jika asal bicaranya tadi menjadi kenyataan.

Tapi kan, mereka berdua(mbak aisyah-diasa) memang dari tadi hanya bercanda. Dan mereka, tidak ada yang terluka. Diasa bingung bagaimana menjelaskannya. Jadi, diasa hanya diam mengadahkan kepalanya-sambil melirik mbak aisyah yang komat-kamit.

"Dealah mas-mas, wong arek e mau tak guyoni ae loh gak ngamok. Kok samean seng duduk sopo-sopone porek. Diasa guya-guyu, samean tibakno e seng mecucu" (dealah masa-mas, orang anaknya tadi tak bercandain loh gak marah. Kok kamu yang bukan siapa-siapanya marah. Diasa ketawa-ketiwi, kamu ternyata yang manyun) celetukan dari mbak aisyah, hanya mendapatkan keheningan diantara mereka bertiga. (Mas zen-diasa, dan mas yoga)

A glimpse of usTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang