Bab 8

68 49 7
                                    

Diasa tidur dengan nyenyak, berbantal tas yang dipangku mas zen dengan berat 2kg-an itu. Ya, bagaimana lagi ini kan diasa sedang berada di alam. Jadi mau tidak mau, suka tidak suka, tidur harus seadanya. Meskipun menggigil setengah badan, tapi suasana begini tak dapat ditemukan di tengah kota surabaya yang setiap harinya panas membara.

Padahal, diasa sudah mengganti kaos kaki yang kebasahan gara-gara terjebak hujan. Sudah memakai jaket mas zen yang setebal buku panduan. Masih saja, diasa menggigil kedinginan. Ya meskipun ia tidur disebelah kiri sendirian.

"Di, koen keademan ta? Ra enek selimut di. Tahan sek, bar ngene subuh" (di, kamu kedinginan ta? Gak ada selimut di. Tahan dulu, habis ini subuh) diana memegang bahu diasa yang kedinginan.

Sedangkan yang menggigil, hanya mengelak tak menghiraukan. Masih memejamkan mata, meskipun dingin sudah menggerogoti tubuhnya.

Beberapa menit tak ada suara, diasa sudah melanglang buana ke alam mimpi. Diana? Mbak aisyah? Sejujurnya diasa takut, tapikan? Siang nanti ia harus bangun untuk membantu panitia outbound. Samar-samar diasa mendengar percakapan mereka yang beranjak untuk sholat subuh, haid melanda diasa sejak 5 hari yang lalu.

"Di, tak tinggal yo. Aku ambek mbak aisyah ate sholat." (Di, tak tinggal ya. Aku sama mbak aisyah mau sholat) Diasa pamit, itupun hanya mendapat anggukan dari diasa yang matanya sudah 5 watt.

.
.
.

Krusak-krusuk, suara itu terdengar. Sepertinya mereka berdua sudah kembali dari melaksanakan sholat subuh berjamaah. Diasa? Wah sudah pasti ia tidur tanpa menghiraukan dunia.

Eh tapi, diasa sudah tidak merasakan kedinginan lagi. Bahkan badannya sudah tidak menggigil lagi. Membuka mata sebelah kanan, diasa terkejut dengan selimut yang dibentangkan ke tubuhnya ini.

"Loh kok? Entok teko ndi selimut iki? Ojok ngomong nyolong teko peserta?" (Loh kok? Dapet dari mana selimut ini? Jangan ngomong ngambil dari peserta) Meskipun matanya berat sebelah, diasa masih bisa menuduh panjang lebar

"Ngawor ae, dikei mas zen iku mau. Wong e kan takok neng ndi diasa, trus tak jawab gak onok wong haid gak isok sholat. Trus aku ngomong, awakmu keademan gak isok tangi. Mboh iki moro-moro dikei selimut jektasan." (Sembarangan aja, dikasih mas zen tadi. Orangnya kan tanya dimana diasa, terus aku jawab gak ada orangnya haid gak bisa sholat. Trus aku ngomong, kamu kedinginan gak bisa bangun. Gak tau ini tiba-tiba dikasih selimut barusan) Diana menjelaskan panjang lebar, sedangkan diasa ternganga.

"Loh din, wong e iki entok teko ndi e? Balikno wes din, wong maringene awakdewe melok panitia kok. Arek e ngkok mikir e macem-macem din. Balikno wes, timbangane resiko" (loh din, orangnya ini dapet darimana? Balikin aja din, orang habis ini kita ikut panitia kok. Anaknya ini nanti mikirnya macem-macem din. Balikin aja, daripada resiko)  meskipun diasa kedinginan setengah mati, tapi tetap saja gengsinya melekat di sanubari.

"Opo seh di, atasane selimut ae. Koyok e zen iku dikei bu endang deh di. Soal e mau arek e ditawari selimut, tapi kan jeneng e arek sabendino muncak gak butuh ngenean. Nah iki, ketepakan awakmu kedamean, jadilah iki dikekno nak awakdewe. Timbangane mati keademan, yaopo lek digae ae? Zen iku ra duwe pikiran, wong e ae lempeng kek ngunu. Dis-dis onok ae bahan overthinking mu" (apa sih di, cuman selimut aja. Kayaknya zen itu dikasih bu endang deh di. Soalnya tadi anaknya ditawari selimut, tapi kan namanya orang yang tiap hari muncak gak butuh ginian. Nah ini, ketepatan kamu kedinginan, jadilah ini dikasih ke kita. Daripada mati kedinginan, ya apa kalau dipake aja? Zen itu gak ada pikiran, orangnya aja lempeng kayak gitu. Dis-dis ada aja bahan overthinking mu) Mbak aisyah menjelaskan dengan rinci, tapi diasa tetap saja sangsi.

Menimang, antara mau dia kembalikan. Atau ia pakai. Ya memang tidak ada ruginya, tapikan kacamata seseorang berbeda-beda. Toh, selimut ini juga lebar bisa dipakai untuk 3 orang. Yasudalah, diasa pakai. Dikembalikan takut seorang zenandra tersinggung, yasudalah. Sebentar lagi kan, matahari akan mengedarkan cahayanya.

"Ngkok siang, ate mangan opo yo?" (Nanti siang, mau makan apa ya?) Diasa menoleh kearah teman setendanya (mbak aisyah-diana) mempertanyakan nanti siang, ia akan makan apa. Kalau di rumah kan, sudah ada mama yang tinggal menyiapkan.

Pertanyaan diasa, sontak mendapatkan tatapan tajam dari mereka berdua "gusti, panganan tok seng dipikiri" (Tuhan, makanan aja yang dipikirin)

Diasa menatap sangsi mereka berdua, padahal diasa hanya ditinggal beberapa menit yang lalu, tapi kompaknya ucapan mereka berdua sudah seperti bertahun-tahun saling bersama. 

"Tapikan weteng ku luwe, masio ra onok sego. Pokok e onok bakso gapopo sumpah. (Tapikan perutku laper, meskipun gak ada nasi. Yang penting ada bakso gakpapa sumpah) Dengan muka memelas, diasa mengiba. Ya bagaimana ya, diasa juga tau diri. Tapikan, bakso dan diasa sudah sehidup semati.

"Golek engkok siang, saiki turu. Timbangane tak pisui" (nyari nanti siang, sekarang tidur. Daripada tak maki) mbak aisyah menegur, diana tertawa. Diasa tau mbak aisyah bercanda, jadi ia hanya menggelembungkan pipinya. Menghadap sebelah kiri, dengan selimut pemberian mas zen yang menutupi kaki.

.
.
.

"Ndut, tangio hpmu munyi" (ndut, bangun hpmu bunyi) diana menggoncangkan badan diasa dengan susah payah.

Dengan mata yang dibuka sebelah, diasa duduk dengan keadaan setengah sadar. Menerima handphone dari diana, yang berbunyi terus menerus tanpa henti.

"Halo yah, assalamualaikum" ternyata, sang cinta pertamanya menelfon. Diasa kira, bunyi alarm handphonenya.

Menjauh dari teman-temannya yang sedang terlelap, diasa keluar dari tenda. Menghadap langsung kearah pemandangan yang ada. Matanya kian tertuju pada semburat jingga kesukaannya.

"Mbak, maaf ayah ganggu. Mbak udah bangun? Ini udah jam 7 soalnya." Toleransi dikeluarganya, bangun maximal jam 7 setelah sholat subuh. Jadi anak-anaknya, diberikan toleransi bangun paling telat jam 7. Asalkan sudah melaksanakan sholat subuh.

"Ini kebangun gara-gara ayah telfon. Diasa baru tidur jam 4 tadi ayah, sekarang kepala diasa pusing. Kayaknya, karna kurang tidur ini." Diasa menjelaskan, sambil menatap pemandangan yang tak bisa ia temukan ketika di surabaya.

"Oalah maaf ya nduk, ayah kira diasa tidur jam 12an. Yasudah diasa lanjutkan tidurnya, ayah mau berangkat kerja. Diasa pulang jam berapa nanti nyampe surabaya nya?" Cinta pertama yang tak pernah meninggalkan luka dan duka terhadap diasa dan adiknya, cinta pertama yang selalu mengasihi walau banyak kekurangan di kehidupannya.

"Kayaknya sore ayah, yasudah diasa tutup ya telfonnya. Ayah hati-hati kerjanya. Dadah ayah, i love you to the moon and back. See you soon" diasa menutup telfon setelah mendapatkan jawaban dari sang ayah.

Setelah memotret keindahan senja yang ada di depan matanya, diasa beranjak masuk ke dalam tenda untuk melanjutkan tidurnya.

"Di" panggilan itu membuat diasa mengurungkan niatannya. Menolehkan kepala, ternyata sosok zenandra menghampiri.

"Loh lapo mas? Gak turu ta samean iki?" (Loh kenapa mas? Gak tidur ta kamu ini?) Diasa kaget tentunya, diantara kumpulan teman seangkatannya sedang berlomba-lomba menggapai alam mimpi, seorang zenandra malah duduk termenung sendiri.

"Mari, wong wes awan ngene kok dikon turu" (sudah, orang sudah siang gini kok disuruh tidur) meskipun tanpa disuruh duduk, zenandra malah duduk di sampingnya. 

"Samean entok teko ndi selimut iku? Isok-isok e ngei selimut nak arek-arek" (samean dapet darimana selimut itu? Bisa-bisanya ngasih selimut ke anak-anak) diasa ini memang perempuan tidak tau diri, sudah dibantu bukannya berterimakasih, malah mempertanyakan asal-usul kebaikan seorang zenandra

"Opo o? Aku jalok nak bu endang iku mau. Jarene arek-arek awakmu keademan. Yawes tak selangi nak bu endang." (Kenapa? Aku minta ke bu endang itu tadi. Katanya anak-anak kamu kedinginan. Yasudah aku pinjem ke bu endang) Jawaban seorang zenandra memang tidak bisa ditebak oleh kepala diasa yang mungil.

Zenandra ini, tipe mas-mas jawa yang gak kebanyakan omong. Tipe mas-mas jawa yang act of service parah. Si bisa ngelakuin semua hal tanpa diminta. Diasa bingung, mau menjawab apa. Soalnya sekarang yang ada di kepalanya hanya umpatan terhadap seorang zenandra.

A glimpse of usTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang