Mereka masih sama, berada di pinggir jalan. Menunggu para peserta untuk beristirahat sementara. Jalanan ini lumayan lebar, karna bukan hanya kendaraan roda dua yang berlalu-lalang. Para panitia hanya beberapa yang berjaga, sisanya kebanyakan para alumni yang berkeliaran menyebar untuk saling menjaga.
Diasa menatap langit yang tertutup awan mendung "koyok e ate udan" (kayaknya mau hujan)
"Halah, koyok mbak rara ae. Sok-sok an ngerti cuaca" (Halah, kayak mbak rara aja. Sok-sok ngerti cuaca) cak udin, langsung menyerobot ucapan diasa. Padahalkan diasa hanya menebak.
Posisi mereka bertiga pun sama, bahkan tidak ada yang bergeser se-sentipun.
"Lapo wedi udan? Gowo kelambi manek toh?" (Ngapain takut hujan? Bawa baju lagi toh?) Kali ini zenandra yang bertanya, bukan takut hujannya. Tapi, takut petir dan angin. Apalagi, sekarang mereka dekat dengan gunung. Pastinya petir dan angin lebih dari yang biasa ia lihat di surabaya.
"Mendung tanpo udan, ketemu lan kelangan" (mendung tanpa hujan, ketemu dan kehilangan) suara sumbang dari cak udin mengalihkan pandangan diasa dan zenandra.
Cak udin ini dulunya vokalis hadroh, meskipun suaranya tidak se enak mas afran, tapi suaranya lumayan enak didengar. Tidak seperti diasa, yang selalu buta nada.
"Mandek hop. Engkok tambah onok badai cak. Duduk kelingan mantan, malah tambah ambyar diguyur teko dukur." (Berhenti hop. Nanti tambah ada badai cak. Bukan keinget mantan, malah tambah ambyar diguyur dari atas) Diasa berniat menghentikan nyanyian cak udin, tidak ada maksud jahat cuman daripada diam-diam saja. Lebih menggoda cak udin yang jika berurusan dengan diasa, darahnya akan tinggi.
"Dealah di, suara iki jektasan keluar loh aku. Dimandekno tok ae. Mencolot loh aku iki-tak mencolot loh." (Dealah di, suara ini barusan keluar loh aku. Diberhentiin aja. Loncat loh aku ini-mau loncat loh.) Cak udin sudah bersiap-siap pegangan ke pagar, yang memang langsung bersebrangan dengan jurang.
"Loh-loh din.- (Loh-loh din)
Mas bilal menoleh kepada diasa "Mbok apakno di?- (kamu apain di?)
"ya allah din. Seng sabar din, ancen diasa iki senengane ngelarani uwong-uwong kok mesti" (ya allah din. Yang sabar din, emang diasa ini kegemarannya nyakitin orang-orang kok mesti) mas bilal yang dari tadi berada di sebrang jalan, menyimak dari kejauhan kini ikut serta meramaikan situasi.
"Astagfirullah. Takok o mas zen gak tak apak-apakno kok. Wong nyanyi suarane gak enak diterusno. Aku kan meneng tok." (Astagfirullah. Tanyain ke mas zen gak tak apa-apain kok. Orang nyanyi suaranya gak enak diterusin. Aku kan diem tok) Diasa mengelus dada, padahal hal-hal drama seperti ini sudah biasa.
"Mbok tolak seh dis, gara-gara saiki seneng nak zen." (Kamu tolak seh di, gara gara sekarang suka ke zen) Mas bilal ini memang agak lain, orang kemana dia kemana.
Diasa memelototkan matanya ke mas bilal, insan satu ini suka sekali membuat diasa mencak-mencak. Untungnya, sekarang mereka dikelilingi para peserta dan panitia. Diasa mengurungkan niatnya yang ingin menjambak mulut lemes mas bilal.
"Ayo balik, perasaan aku mau ambek zhifa. Saiki neng ndi arek e yo? Samean gak ate balik ta mas?" (Ayo balik, perasaan aku tadii sama zhifa. Sekarang ke mana orangnya ya? Kamu gak mau balik ta mas) Diasa baru sadar kemana para teman-temannya pergi, kalau diana ada di seberang jalan bersama mas afran. Maisa dan zhifa yang hilang jejak. Malah sekarang dirinya yang dikeliling para pria. Sedangkan para peserta hanya menyimak dari tadi lelucon yang mereka lontarkan. Memang dasarnya para 2 pria ini badut wanita. Kecuali mas zen, yang merupakan manusia beku.
"Adek-adek, beginilah pentingnya makan sayur-sayuran. Jangan seperti kakak diasa ya. Temannya beberapa menit yang lalu balik, kakak diasanya gak sadar.Kalau ada temen yang kayak kakak diasa ini, halal banget buat ditinggal emang" mas bilal dengan mulut licinnya kembali berujar, menyuruh para peserta untuk makan-makanan sehat. Tak sadar ia sendiri badannya sudah sekurus sapu lidi.
Diasa ber-istigfar sekali lagi, berkumpul bersama mereka rasanya semakin dekat dengan tuhan. Karna rasa memakinya sudah merongrong dikepala.
"Ayo balik dis, tapi mlaku ae gapopo yo?" (Ayo balik dis, tapi jalan aja gapapa ya?) Diasa mengalihkan pandangannya ke mas zen, beginilah seharusnya. Memang diantara setan-setan yang berkeliaran, pasti ada satu malaikat yang menenangkan.
Diasa menganggukan kepalanya, daripada lontang lantung. Apalagi jika bersama dua mahluk astral, kesabaran diasa yang setipis tisu dibagi dua tak akan bertahan lama.
"Balik bo, wes jogoen iki arek-arek" (balik bo, udah jagain anak-anak ini) mas zen menepuk bahu cak udin dan mas bilal, melambaikan tangan ke mas afran yang berada di sebrang jalan.
Diasa dan mas zen hanya berjalan berdua menuju villa. Sisanya berjaga menunggu aba-aba panitia.
.
.
."Mas, aku gelem seh duwe bojo wong kene" (mas, aku mau sih punya suami orang sini) tanpa aba-aba diasa langsung memberikan pernyataan, padahal mas zen tidak membuka suara dari awal tadi.
"Loh wong suroboyo wes gak payu ta?" (Loh orang surabaya udah gak laku ta?) Mas zen jika tak ada yang lebih dulu membuka suara, maka sampai kapanpun tidak ada suara yang keluar.
"Enggak seh, cuman koyok e enak. Meneng ndek suroboyo terus balik kampung nak rene" (enggak sih, cuman kayaknya enak. Diem di surabaya terus balik kampung ke sini) diasa menjelaskan rencananya, padahal ia baru menginjak kepala dua.
"Dis? Koen ae jektasan lulus. Kok yo mateng nemen rencana e. Lek jodohmu duduk wong rene yaopo? Ekspetasi tak sesuai realita dis." (Dis? Kamu aja barusan lulus. Kok ya mateng banget rencananya. Kalau jodohmu bukan orang sini ya apa? Ekspetasi tak sesuai realita dis) Mas zen memaparkan segala realistis kehidupan, padahalkan diasa hanya memaparkan rencananya.
"Lek jodohku duduk wong rene yo gapopo seh, kan sek onok samean" (kalau jodouku bukan orang sini ya gapapa sih, kan masih ada samean) diasa menutup mulutnya kecoplosan, biasanya ia tak sebar-bar ini dalam berucap.
Mas zen tersenyum simpul "gelem? Gas ayo. Gae adat opo?" (Mau? Gas ayo. Mau adat apa?)
Ditanya begitu ya diasa teruskan saja, toh sudah kecebur jadi mandi sekalian. "Adat jowo lah, wong jowo loh kih" (adat jawa lah, orang jawa loh nih)
"Enteni aku yo di, 2 tahun ngkas. Sabar. Dungkano aku sisan" (tunggu aku ya di, 2 tahun lagi. Sabar. Doain aku juga) diasa menoleh, mungkin mas zen mengucapkan ini hanya sekedar bercanda tapi tak ada mimik muka bercanda yang diasa tangkap diwajahnya.
"Masio 5 tahun ngkas, selama aku tujuan e tetep tak tunggoi mas." (Meskipun 5 tahun lagi, selama aku tujuannya tetep aku tungguin mas) diasa tak berani menatap wajah mas zen, ia hanya berucap melihat pemandangan di depan matanya.
Jalanan setapak menuju villa ini menjadi saksi antara dua insan yang sama-sama bingung tentang perasaanya. Mungkin yang tadinya bercanda, tiba-tiba menjadi kaku bagaikan batu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A glimpse of us
Teen FictionDiantara banyaknya manusia, kenapa harus kita berdua yang terjebak tanpa kata perpisahan? Diantara banyaknya kisah, kenapa harus kisah kita berdua yang tak berakhir dengan semestinya. Pertanyaan "kenapa" selalu menimbulkan tanda tanya yang tak perna...