Angin berhembus pelan, menambah kebingungan diantara dua insan. Yang satu penuh tanya, sedangkan manusia yang satu penuh bising di kepalanya. Ada sebuah tanya, yang tak pernah mereka berdua temukan jawabannya.
Apakah kisah ini akan terjalin lama, atau hanya rangkaian takdir semesta yang berlangsung sekejap mata. beriringan berdua, tapi sama-sama tak mengeluarkan suara.
Jalan setapak menuju villa ini masih jauh, sedangkan sunyi menerpa mereka berdua yang sama-sama tak kunjung bersuara.
.
.
.
.Setibanya mereka berdua di villa, diasa langsung menuju tenda zhifa. Sedangkan zenandra, memilih berdiam diri di musholla. Entahlah mungkin ia sedang merenungi tentang perasannya, atau bisa saja karna panas melanda.
Diasa membuka resleting tenda zhifa dan maisa, meskipun tak tidur dengan mereka berdua. Tapi, diasa sudah me-wa zhifa bahwa ia akan ke tendanya.
"Ambek sopo koen nyo?" (Sama siapa kamu nyo?) Pertanyaan dari maisa membuat diasa menolehkan kepalanya, sedangkan ia sedang menutup kembali resleting tendanya.
"Ambek mas zen" (sama mas zen) duduk di samping zhifa, diasa menjawab sambil membuka hijab dan kemeja flanelnya.
"Hah? Terus diana karo sopo? Ngawor kok" (hah? Terus diana sama siapa? Ngawur kok) kali ini zhifa yang mengeluarkan suara
"Ambek mas afran karo mbak aisyah, aku dijak mas zen mau. Panas-mendung, iki lek duduk gaweane gusti allah wes tak otak-atik dewe" (sama mas afran dan mbak aisyah, aku diajak mas zen tadi. Panas-mendung, kalau bukan ciptaannya gusti allah udah aku otak-atik sendiri) menyisir rambutnya, diasa mengipasi mukanya yang penuh dengan keringat.
Jangan salah diasa ini memiliki kulit yang lebih cerah daripada teman sebayanya. Jadi, ketika panas melanda, mukanya bisa memerah seperti kepiting rebus.
"Koen ero gak seh nyo?" (Kamu tau gak sih nyo?) Pertanyaan dari seorang maisa menimbulkan wajah penasaran dari dua orang di sana.
Diasa menatap zhifa yang juga sedang kebingungan, entah pergibahan apalagi yang maisa ini bawakan.
"Aku mau kan ambek mas bilal kan mlakune, dekne iku bolak balik wara 'diasa iki ancen moto e gak buka kok, zen wes se bar-bar iku sek dianggep guyon ae' " (aku kan tadi sama mas bilal kan jalannya, dia itu bolak-balik bilang 'diasa ini emang matanya gak buka kok, zen udah se bar-bar itu masih dianggep bercanda aja) maisa menjelaskan secara detail apa yang tadi dibicarakan berdua dengan mas bilal.
"Koen ikuloh di, kapan maneh mas zen koyok ngono? Mangkane talah ndang move on. Lanangan akeh seng didelok mung mantane tok ae" (kamu loh di, kapan lagi mas zen kayak gitu? Makanya talah cepet move on. Cowok banyak yang diliat cuman mantannya aja) kali ini zhifa yang berusaha menyadarkan diasa.
"Rek, masalahne iku duduk ngunu tok. Mas zen iku wes biasa koyok ngono iku lek ndaki. Jancok, mantanku digowo-gowo" (gays, masalahnya bukan cuman itu aja. Mas zen itu udah biasa kayak gitu kalau ndaki, jancok mantanku dibawa-bawa) membenarkan letak tas zhifa yang dijadikan bantalan diasa untuk merebahkan kepala, meskipun diasa akui ia memang masih agak berat membuka hati untuk seorang zenandra.
"Ngene iki, mantan e selingkuh sek dibelo ae" (gini ini, mantannya selingkuh masih dibela aja) meskipun maisa berada di sebelah kanan, sedangkan diasa di pojok samping pintu tenda. Ia tak segan memelototkan matanya, sambil membuat gerakan seakan-akan ingin mencekik diasa.
"Yaopo mi, koyokane koncomu iki kenek guna-guna. Mantan koyok asu sek dibelo ae cok" (ya apa mi, kayaknya temenmu ini kena guna-guna. Mantan kayak anjing masih dibela aja cok) zhifa memberikan saran kepada maisa, sedangkan diasa hanya mendecih meneruskan scroll tiktoknya.
"Di, koen iki ayu. Entok lanangan pasti cepet. Buktine mas zen kecantol, arek koyok ngono kok mbok sio-sio di. Aku lek dadi awakmu yo tak kejar balik. Kapan manek entok wong lanang ijo neon?" (Di, kamu ini cantik. Dapet cowok pasti cepet. Buktinya mas zen kecantol, anak kayak gitu kok kamu sia-siain di. Aku kalau jadi kamu ya tak kejar balik. Kapan lagi dapet cowok ijo neon?) Lagi-lagi maisa kembali menyadarkan diasa dengan rasa sabarnya yang tingkat dewa, menyuruh diasa agar segera membuka hati pada seorang zenandra.
"Mi, tak kandani yo. Aku bukan e nolak zenandra enggak. Awakmu yo ero kan ket awakdewe masuk sekolah, aku wes kecantol ambek zenandra seng gak keakean umek. Mas-mas darbuka seng ngebuat hati seorang diasa langsung terpana. Tapi mi, zenandra gatau cidek ambek arek, bien sekali cidek ambek arek malah wong e dadi dokter saiki. Aku iku mikir mi, zenandra iki temanan seneng opo cuman karna kesepian? Moh aku mi, lek digae pelampiasan. Wes diselingkuhi, sek digae pelampiasan sisan, opo lorone gak double lek ngunu?" (Mi, aku kasih tau ya. Aku bukannya nolak zenandra enggak. Kamu ya tau kan dari awal kita masuk sekolah, aku udah kecantol sama zenandra yang gak banyak gaya. Mas-mas darbuka yang ngebuat hati seorang diasa langsung terpana. Tapi mi, zenandra gak pernah deket sama anak, dulu sekali deket sama cewek malah orangnya jadi dokter sekarang. Aku ini mikir mi, zenandra ini benaran seneng apa cuman karna kesepian? Gak mau aku mi, kalau dibuat pelampiasa. Udah diselingkuhi, masih dijadiiin pelampisan juga, apa sakitnya gak double kalau gitu?)
Pertanyaan panjang lebar dari diasa, tak mendapatkan sama sekali dari mereka. Mereka berdua merenung mendengarkan uneg-uneg seorang diasa. Sedangkan diasa, hanya berdecak menunggu sebuah pertannyannya yang tak mereka jawab sama sekali itu.
Tidak ada yang membuka suara, karna mereka bertiga tidak bisa tau hati seorang pria. Mereka hanya menebak, menduga-duga, apa benar seorang zenandra yang diam tanpa suara menyukai diasa yang terlalu banyak isi kepalanya?
Tak berselang lama, ada suara yang memanggil diasa dari luar tenda. Mereka semua kompak bangun dan menatap satu sama lain. Kalau diana sudah jelas bukan, karna ia masih berada di tempat outdoor bersama mas bilal dan kawan-kawan. Satu suara ini diasa sudah pasti yakin milik seseorang yang barusan saja mereka bicarakan.
Zhifa dan maisa mendorong diasa agar cepat keluar, sedangkan diasa buru-buru memakai hijab dan kemeja flanelnya.
"Sek mas, uwong e gae kudung" (bentar mas, orangnya pake kerudung) sautan dari maisa hanya mendapatkan deheman seorang zenandra
Setelah hijab instan dan kemeja flanelnya terpasang, diasa buru-buru keluar.
"Lapo mas? Tak pikir wes turu" (ngapain mas? Aku kira udah tidur) diasa mengerutkan alisnya, udara tak sepanas itu tapi karna diasa dan zenandra di bawah matahari, jadi ia menyipitkan mata karna silau.
"Ayo jare tumbas bakso, mumpung gaonok arek-arek" (ayo katanya beli bakso, mumpung gak ada anak-anak) ajakan dari zenandra yang membuat diasa mengembangkan senyum gembira.
Ini yang daritadi ia tunggu-tunggu. Ia kira, mas zenandra ini lupa. Ternyata hanya menunggu waktu yang tepat.
Entah memakai sendal siapa yang penting muat dikakinya, diasa berpamitan kepada dua temannya yang tentu saja mendapatkan tajam dari maisa dan zhifa.
Orang gila mana yang katanya masih kebingungan tentang perasaanya, tapi malah pergi berdua dengan sang pemeran utama? Jadi diasa, mau disadarkan lewat jalur apalagi? Kalau ia sendiri sering denial, dan sering acuh tentang perasaanya yang kini tanpa disadarinya bermekaran tanpa bisa ia cegah.
KAMU SEDANG MEMBACA
A glimpse of us
Teen FictionDiantara banyaknya manusia, kenapa harus kita berdua yang terjebak tanpa kata perpisahan? Diantara banyaknya kisah, kenapa harus kisah kita berdua yang tak berakhir dengan semestinya. Pertanyaan "kenapa" selalu menimbulkan tanda tanya yang tak perna...