Setelah terhenti beberapa saat karena menunggu mas zafran dengan yang lain. Diasa dan mas zenandra kembali melanjutkan perjalananya. Meskipun, masih ada hawa-hawa negatif di sekelilingnya.
Padahalkan, Diasa tidak salah. Tetap saja ini salah zenandra. Terserah! Meskipun sampai di surabaya mereka berdua tidak ada yang membuka suara. Tenang saja, Diasa ini juara jika melakukan silent treatment. Mau tidak menyapanya satu tahun? 5 tahun? Duh, Diasa bahkan bisa melakukan hal itu secara suka rela.
.
.
.Diasa mengernyitkan mata, ternyata mereka berhenti di pom bensin.
"Mudun disek" (turun dulu) suara dari seorang zenandra yang akhirnya keluar juga. Menyuruhnya untuk turun dari motor setelah beberapa menit diam dalam keheningan tak bersuara.
Diasa mendecih. Menunggu di depan bersama Diana dan yang lain. Sedangkan Diana tertawa karna mimik wajah Diasa yang dengan mudah ia tebak. Diana dan Diasa sudah berteman sejak lama. Bertahun-tahun mereka duduk di bangku yang sama. Jadi, siapa yang tidak tau masing-masing karakter diantara dua manusia ini? Saling paham. Saling merangkul. Bahkan, saling menghina.
"Tuker deh Din, bareng ambek zenandra akeh-akeh istighfar aku" (tuker deh Din, bareng sama zenandra banyak-banyak istigfar aku) keluh Diasa. Duduk di depan Diana yang tersedia sebuah kursi kosong. Sambil menukikan alis dengan tajam. Meminta Diana untuk menukar posisinya. Diana sih mau saja pastinya, toh mereka berdua tetangga. Yang menolak? Sudah pasti Mas Zafran. Mana mau dia.
"Harus e Mas Zen seng akeh-akeh istighfar Di. Menungso kek awakmu iki, lek gak disabari, yo ngene iki." (Harusnya Mas Zen yang ngebanyakin istighfar Dis. Manusia kayak kamu ini, kalau gak disabarin, ya gini ini) Ucap Diana. Ya bagaimana, temannya ini memang suka sekali membuat ulah. Membuat teman yang lainnya bahkan murka. Sedangkan Diasa? Mana pernah perduli.
Diasa mendengus, memang tidak pernah ada yang mengerti dirinya.
"Lek gak ngunu bareng o cak udin ae Di. Dekne gak ngara nolak lek ambek awakmu." (Kalau gak gitu bareng sama Cak Udin aja Di. Dia gak bakalan nolak kalau sama kamu) Celetukan dari Diana membuat Diasa tertawa seketika. Masalahnya, motor yang Cak Udin gunakan sekarang adalah motor antik yang hanya bisa digunakan satu orang.
Nah, kalau Diasa ikut Cak udin. Diasa ditaruh disebelah mana? Di ban motor? Mendingan kembali bersama Zenandra. Meskipun, sepanjang perjalanan dihiasi kebisuan.
"Wes balik o di, maringene yo wes totok suroboyo. Belum tentu ketemu Mas Zen manek loh" (Udah balik aja di, setelah ini ya udah nyampe Surabaya. Belum tentu ketemu Mas Zen lagi loh) Ejekan dari Diana tak mempan sama sekali di diri Diasa sekarang. Diana ini lupa kah? Rumah Diana dengan Rumah Mas Zen saja hanya beda beberapa meter. Nantinya, mereka berdua pasti bertemu kembali. Apalagi, Diasa sering mengunjungi rumah Diana ketika Diasa libur kerja.
Mas Zen menghampiri mereka berdua setelah mengisi bensin beberapa menit setelahnya.
Diasa melirik ke arah Zenandra, sedangkan yang dilirik mendudukan kepalanya. Enggan menatap ke arah yang sama. Duh, Diasa jadi bingung.
"Ayo mungga, ngenteni opo?" (Ayo naik, nungguin apa?) Kan, suara Zenandra yang meninggi ini yang Diasa tidak suka.
Di atas motor, Diasa memaki dalam hatinya. Andai saja, yang lain kosong. Mungkin Diasa bersama mereka. Sebenarnya ada, cuman Diasa sungkan sendiri. Mas bilal sendiri, tapi arah rumahnya tak sama dengan Diasa.
Mereka berada di samping trotoar, menunggu yang lain sedang antri. Sedangkan, Zenandra dan Diasa tidak ada yang bersuara sama sekali.
Tapi, untungnya telfon dari sang ayah mencairkan suasana.
Mengangkat telfon, ternyata sang Ayah melakukan Vidio call.
"Halo mbak, Udah nyampe mana?" Suara sang Ayah yang pertama kali menyapanya. Nampaknya, sang Ayah sedang berada di Rumah. Menunggu sang putri pertama tiba.
"Masih di jalan Ayah, ini lagi berhenti di pom bensin." Diasa menjelaskan, mengarahkan kamera ke arah belakang. Memperlihatkan keadaannya.
"Sama siapa Mbak? Gak sama diana ta?" Lagi-lagi Ayahnya bertanya. Memang, ketika ia pergi ke Mojokerto kemarin, Ia hanya izin pergi berdua dengan Diana. Ayahnya, tidak akan mungkin kenal dengan para kakak-kakak kelasnya.
"Enggak ayah, Diana sama Mas Zafran. Ini Mbak, Sama Mas Zen-Temennya Mas Zafran kok." Tadi, ia mengerahkan kamera ke arah belakang. Sekarang? Ia sungkan menunjukan sosok Zenandra dihadapan cinta pertamanya.
"Kok mukanya gak keliatan mbak? Orangnya ada? Ayah mau lihat orangnya" pertanyaan dari Ayahnya yang tidak Diasa duga.
Diasa menggarukan kepalanya, Sepertinya Zenandra mendengarkan pembicaraan mereka berdua. Tapi kan, tak mungkin juga ia memperlihatkan sosok Zenandra yang bukan siapa-siapanya.
"Ish, Ayah! Ada kok mukanya. Ngapain juga mau liat mukanya? Nanti aja kapan-kapan. Kepo amat deh Ayah" Diasa bertanya-tanya, kenapa Ayahnya ini malah ingin melihat wajah seorang Zenandra. Kenapa tak menanyakan kabarnya? Mau makan apa setelah pulang? Malah mempertanyakan hal-hal yang tidak seharusnya.
Semuanya selesai mengisi bensin, mereka menyapa Zenandra dan Diasa yang sedang ada di pinggi trotoar untuk segera melanjutkan perjalanan.
"Udah dulu ya Ayah, Mbak mau jalan lagi ini. Tungguin Mbak di rumah, tolong baksonya pak rosi di siapin ya Ayah. Mbak tutup dulu. Dadah Ayah" Diasa menutup telfon, mengucapkan segala hal manis yang membuat terenyuh siapapun yang mendengarnya. Tak lupa, memesan makanan yang ia suka.
.
.
.
."Lapo, diantara panganan liane awakmu malah seneng nak Bakso?" (Kenapa, diantara makanan lainnya kamu malah suka sama Bakso?) Kenapa, setelah perjalanan sudah setengah. Zenandra kembali membuka suara.
Diasa mendengus, caci makinya yang ia simpan dalam hati ingin sekali ia lontarkan kali ini. "Wes gak porek maneh ta? Kok wes ngomong manek." (Udah gak marah lagi ta?kok udah ngomong lagi)
Zenandra tertawa. "Salahmu, muji Zainal nak ngarepku. Sedangkan aku gak tau mbok apresiasi" (Salahmu, muji Zainal di depanku. Sedangkan aku gak pernah kamu apresiasi) Pernyataan dari Zenandra yang membuat Diasa terpana.
"Oh, arep tak apresiasi ta? Tapi, kayak e aku pernah apresiasi samean seh. Gak ndek ngarep e samean langsung emang. Ngkok samean GR" (oh, mau aku apresiasi ta? Tapi, kayaknya aku pernah apresiasi kamu deh. Gak di depannya kamu langsung emang. Nanti kamu ke-pedean) lobang hidung Diasa sudah kembang kempis, tau-taunya zenandra diam sejak tadi hanya ingin diapresiasi.
Zenandra, bisa-bisanya silent treatment sepanjang pertengahan jalan. Bisa-bisanya Diasa disuruh menebak hal-hal yang ada di kepala seorang Zenandra. Kan, padahal sebentar lagi sudah sampai di Surabaya. Sebentar lagi mereka sudah sibuk dengan Dunia mereka berdua.
Kalau tuhan merestukan, mungkin kisah kasih mereka akan panjang. Mungkin jika tuhan merestukan, mereka akan kembali menjadi sepasang manusia yang saling peduli. Mungkin jika tuhan merestukan, mereka akan kembali bertemu dengan cara sederhana yang sudah tuhan rancang sedemikian rupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
A glimpse of us
Teen FictionDiantara banyaknya manusia, kenapa harus kita berdua yang terjebak tanpa kata perpisahan? Diantara banyaknya kisah, kenapa harus kisah kita berdua yang tak berakhir dengan semestinya. Pertanyaan "kenapa" selalu menimbulkan tanda tanya yang tak perna...