16

156 24 27
                                    

Pagi hari yang mendung seolah ikut muram dengan kepergian Debbi, rombongan orang-orang yang berpakaian serba hitam berjalan menuju gundukan tanah yang baru saja selesai digali. Wajah mereka begitu murung, terutama gadis yang saat ini memeluk sebuah foto dan ukiran kayu yang bertuliskan Debbi Mayangsari, lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal wafat tersebut masih menangis tersedu-sedu.

Sesekali ia terdiam dengan tatapan kosong, kemudian menangis meraung-raung hingga harus ditenangkan oleh beberapa orang.

Angin pagi ini berembus dengan dingin, membawa beberapa dedaunan kering yang berguguran dan hilang tersapu angin. Beberapa pepohonan bergerak kaku, tidak ada keceriaan di tempat itu. Seluruh nisan berdiri dengan angkuh, memberikan aura begitu dingin dan mencekam di sana.

"Bi, ayo taburkan bunga di makam Mamamu." Ilham, sang ayah bersuara.

Gundukan tanah yang berwarna kemerahan itu begitu menyakitkan bagi Binar. Di dalam sana, mungkin saja Mamanya kedinginan, bukan?

Binar masih menangis, matanya sudah membengkak karena gadis itu tidak berhenti menangis sejak kemarin.

"Bi," kali ini Dirga yang memanggil.

Dengan gerakan yang pelan, Binar berjongkok tepat di samping gundukan tanah Mamanya, gadis itu meletakan sebuah foto yang membuat beberapa orang yang turut berduka atas kehilangan Debbi, ikut merasa sedih.

Binar mengusap ukiran kayu yang kini menancap di tanah tersebut, kemudian tangannya meraup keresek berisikan kelopak bunga mawar berwarna merah, dan menaburkannya.

"Ma, Bibi sayang Mama."

Tepat setelah mengatakan hal itu, beberapa orang mulai beranjak pergi. Meninggalkan segelintir orang yang masih ingin berada di sana.

Dirga menghampiri adik perempuannya, berjongkok dan membawa Binar ke dalam pelukannya. Setidaknya, hanya ini yang bisa Dirga lakukan sebagai seorang kakak.

"Masih ada gue, lo nggak bakalan ngerasa sendirian lagi," bisik Dirga.

"We only have each other now, Bi. Mas harap kamu seperti sedia kala ya," ujar Dirga seraya mengecup puncak kepala Binar.

Di sana ada Aidan, Natasha, dan Mahesa juga yang berdiri terhalang beberapa nisan, seolah memberikan ruang privasi untuk Binar dan Dirga.

"Mama Mira akan tinggal di Rumah bersama kita, setidaknya sampai adik kalian lahir, Papa harap kalian bisa akrab dan bersikap baik pada Mama Mira," ujar Ilham, Dirga langsung naik pitam begitu mendengar apa yang baru saja diucapkan Papanya.

"PA! NGGAK DI SINI JUGA!"

"Sejak Papanya Binar nikah siri sama tante Mira, keluarga mereka emang jadi berantakan," ujar Natasha, berusaha menuntaskan rasa penasaran yang jelas tergambar pada Mahesa.

Aidan menoleh kaget, "Sejak kapan?"

Natasha mengendikan bahunya, "Gue nggak tau jelas, Bibi baru cerita kemarin-kemarin soalnya."

"Itu lo bisa nyimpulin keluarga mereka jadi berantakan gimana? Kan lo baru dikasih tau?" tanya Mahesa kebingungan.

"Natasha lebih tau Binar daripada lo, santai." sambung Aidan.

Tak ingin membuat kekacauan, Natasha segera menghentikan Mahesa yang sepertinya sangat ingin membalas ucapan Aidan barusan.

"Oke, cukup. Kita di sini mau nengokin Binar kan? Mau ngucapin bela sungkawa sama dia kan? Jadi yaudah, udahan. Jangan kayak bocah SMP lo berdua," ujar Natasha.

Aidan dan Mahesa hanya diam, tidak berniat untuk membela diri mereka masing-masing, walau bagaimanapun memang mereka berdua tidak sepantasnya bersiteru pada keadaan seperti saat ini.

Natasha segera menghampiri Binar saat melihat gadis itu bangkit dan hendak berjalan meninggalkan area pemakaman.

Kehilangan memang pahit, namun bukankah sudah seharusnya kita berkawan baik dengan itu semua?

Tuhan tidak pernah meninggalkan kita, selalu ada maksud dan tujuan baik dibalik semua cobaannya, ia hanya ingin kita mengerti walau harus kita pahami dengan air mata.

Berita duka perihal kematian Mama Binar dengan cepat berembus seperti angin, kini terlihat beberapa rombongan teman sekelas Binar sudah berada di kediaman Binar.

"Bi," sambut mereka saat melihat Binar dan keluarganya pulang dari pemakaman.

Binar berusaha tersenyum ceria seperti biasanya, ia tidak ingin hanya karena kesedihan dan masalahnya sendiri, membuat teman-temannya harus merasakan hal yang sama.

"Loh, nggak pada makan di Kantin? Malah pada ke sini yaampun, makan dulu ya? Ntar gue suruh orang buat siapin makanan buat kalian," ujar Binar begitu gadis itu sampai di teras Rumahnya.

"Bi, we're so sorry for your lost." Karina, mengawali pembicaraan hari ini.

"Thank you, guys. Doain aja gue biar baik-baik aja setelah Mama nggak ada," ujar Binar lirih, kemudian memaksakan untuk menarik senyumnya.

Beberapa siswi perempuan yang ada di sana tampak berkaca-kaca, merasa iba dengan apa yang Binar alami. Kehilangan Ibu memanglah sebuah mimpi buruk bagi siapapun.

Karena dunia akan baik-baik saja selama Ibu masih ada, jadi apakah sudah terbayang bagaimana dunia seseorang yang ditinggalkan oleh Ibu, semestanya?

***

Mahesa bergerak gelisah, malam ini rasanya ia ingin sekali menemani dan memeluk Binar dalam kesedihan gadis itu.

"Kalau masih kepikiran, ya samperin aja dong Mas. Masa cowok kalah sama gengsi," Bunda yang kali ini bersuara.

Mahesa mengerjap, kemudian bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, gengsinya terlalu besar.

"Kepikiran apaan Bu? Mas nggak lagi mikirin Binar kok," ujar Mahesa membela diri, sementara Mia hanya terkikik geli setelah mendengar jawaban dari Anak sulungnya itu.

"Padahal Ibu nggak bilang kamu mikirin Binar lho, Mas. Binar siapa nih? Kok nggak kamu bawa ketemu sama Ibu?" Tanya Mia, menggoda Mahesa.

"Bu, apa rasanya kehilangan seorang Ibu?" tanya Mahesa tiba-tiba, menyadari topik pembicaraan ini pasti akan memakan waktu yang cukup panjang, Mia duduk di samping Mahesa.

"Hancur, Ibu bahkan masih butuh mendiang nenek kamu sampai sekarang. Seorang Ibu masih membutuhkan Ibu, memangnya kenapa?" tanya Mia.

"Binar baru aja kehilangan Mamanya, Bu." ujar Mahesa, Mia menatap sendu anak laki-lakinya, kemudian menariknya dalam rangkulan.

"Tugas Mas Esa ya itu, hibur Binarnya. Nggak gampang lho Mas kehilangan orang tua itu,"

Mahesa mengangguk pelan, "Maunya gitu, tapi saingan Mas banyak." 

"Oh, jadi ceritanya sekarang Mas lagi insecure?" tanya Mia seraya tersenyum geli. Mahesa kehabisan kata-kata, mati kutu.

 "Enggak, Ibu ngawur ah." Mahesa bangkit, hendak pindah ke kamarnya yang berada dekat dengan ruang keluarga.

"Walaupun saingan Mas Esa banyak, kalau Binar maunya sama Mas, mereka semua bisa apa? Semangat Mas, cinta masa SMA itu indah tau," ujar Mia.

Saat meraih kenop pintu kamarnya, Mahesa berhenti sejenak. Iya juga?

Bagaimana kalau seandainya Binar juga menyukainya? Bagaimana bila Binar hanya ingin Mahesa, bukan Aidan atau Genta? Tapi, bagaimana juga bila semua itu hanya khayalan Mahesa?

"Selagi kamu mau, kejarlah. Tapi ingat, jangan sampai kamu nyakitin hati anak perempuan ya, Mas." Mia kembali menyambung ucapannya, sedetik kemudian Mahesa langsung masuk ke dalam kamarnya, dengan kepala yang berisik.

Tanpa menunggu lama, Mahesa meraih ponselnya yang sejak tadi sedang mengisi ulang daya. Membuka roomchat dengan Binar.

Mahesa: Binar, bagaimana keadaan kamu sekarang?

Sebelum pria itu menekan ikon 'send', ia menghapus kembali pesan tersebut, menurutnya terlalu kaku.

Mahesa: Kamu nggak apa-apa?

Mahesa kembali menghapus pesan tersebut, pertanyaan klise. Berkali-kali pria itu mengetik pesan dan menghapusnya, tanpa sempat dikirimkan pada Binar.

Binar: Kenapa Sa? Daritadi typing terus?

Sial, Binar mengetahui bahwa Mahesa sedang mengetik.

Mahesa: Kamu nggak apa-apa?

Pesan klise itu akhirnya Mahesa kirimkan saja, daripada tidak sama sekali. Ya kan? 

Binar: Better than yesterday, gue udah nyoba ikhlas sama kepergian Mama. 

Satu pesan kembali muncul, Mahesa buru-buru membuka roomchat tersebut, kemudian menghembuskan napas lega. See? benar dugaan Mahesa. Binar pasti akan bangkit dengan cepat, Mahesa tau itu. Binarnya memang hebat.

Mahesa: Mau jalan-jalan? Mumpung masih jam 7.

Mahesa menggigit bibirnya resah, seraya menunggu jawaban, ia bergegas mengganti pakaian santainya.

Binar: Jajan mie instan lagi ya Sa! tapi pengen di puncak.



EuphoriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang